Jumat, 17 Februari 2012






Tulisan ini sedikit jawaban dari per

tanyaan mangcek Karim (klik sini) yang gundah tentang sejarah negerinya.... Untuk itu saya ingin berkongsi dengan anda semua, dan ada baiknya untuk lebih memperkaya khazanah sejarah Palembang Darussalam baca juga buku ini (klik sini).

Pernahkah kita bertanya-tanya, apa saja yang terjadi diantara ‘missing link’ 8 abad (800 tahun) antara Empayar Melayu Kuno Sri Wijaya (Shri Vijaya) dengan Kesultanan Palembang Darussalam?

Sri Wijaya adalah kerajaan yang mengalami puncaknya di Abad 7 Masehi saat rantau ini masih dominan beragama Budha/Hindu. Manakala Kesultanan Palembang Darussalam wujud di Abad 15 saat Islam mulai menyebar di Nusantara. Kedua-duanya berada di Kota Palembang, Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel).

800 tahun bukan kurun yang sebentar, malah boleh dibilang terlalu lama untuk bisa mengais kemungkinan adanya susur galur keduanya.

Jadi? Ya...Sri Wijaya adalah Sri Wijaya. Palembang Darussalam mempunyai kisah dan sejarah tersendiri. Dan ia sangat unik. Karena hanya disinilah 2 suku bangsa sekaligus magnet besar budaya Nusantara berpadu dan bercampur. Yaitu Melayu dan Jawa.

Bagaimana sih ceritanya?

Banyak ahli sejarah yang angkat tangan jikalau ditanya apa saja yang terjadi di masa kegelapan di bekas empayar maritim pertama Nusantara itu. Yang jelas, di awal abad ke-15, datanglah sekelompok panglima dan pangeran dari Kesultanan Demak, yang kalah berperang dengan Mataram Islam (mengenai mengapa 2 kesultanan Islam ini saling berperang, ceritanya agak panjang, lain masa daku kisahkan) ke Palembang. Mereka dipimpin oleh ‘Ki Gede Ing Suro’ (Ki=panggilan singkat dari Kiai; Gede=Besar; Ing=Di; Suro=Muharram atau Ikan Hiu) dan sejumlah panglima seperti Bodrowongso.

Di pinggiran Palembang, saat itu terdapat puluhan kerajaan kecil puak Melayu (ingat.. Melayu di Sumatra Selatan juga berpuak-puak/sub etnis yang ragamnya sangat banyak dengan bahasa tempatan yang juga beragam tetapi mungkin masih satu rumpun,misal Ogan, Komering, Lahat, Sekayu, Enim ataupun Melayu dan masih banyak lagi). Kumpulan puak-puak ini membentuk Batin dan biasanya pemimpinnya disebut ‘Pati’. Rombongan "Wong Jowo” (wong=orang) ini lantas mengadakan pertemuan dengan para pemimpin dari penjuru "Batang Hari Sembilan" (nama gelaran wilayah Sumatra Selatan yang dialiri 9 sungai). Tidak ada catatan berdarah dalam proses konsensus "Jawa dan Melayu" ini. Kemudian lahirlah kerajaan Palembang (belum dengan tambahan Darussalam lho...) dengan pemimpinnya Ki Gede Ing Suro sebagai konsensus politik pertama.

Bahasa Jawa saat itu tentu saja masih dikekalkan, tetapi hanya dilingkungan kraton. Dengan berjalannya waktu, maka bahasa Melayu dan Jawa ini membentuk ‘Bahaso Plembang’ yang sebagaimana di Jawa dibedakan atas Halus (Krama/Kromo) dan Umum (Ngoko) maka jenis Bahaso Palembang pun dikenal jenis Baso Alus/Kramo (Halus/Krama) dan Baso Sari-sari (Sehari-hari/umum/Ngoko). Termasuk sejumlah suku kata dan susunan bahasa yang menggabungkan 2 budaya.

Keturunan Jawa dan Palembang dari fihak Kraton/ningrat bergelar ‘Ki Emas’ atau ‘Kiemas/Kemas’ dan ‘Ki Agus’ (agus=bagus). Tetapi keturunan dari garis perempuan yang dinikahi para bangsawan kerajaan Palembang – memakai gelar baru yaitu ‘Raden’- mereka ini mendeklarasikan Kesultanan Palembang Darussalam. Inilah konsensus politik kedua di Palembang.



Sayang, tidak semuanya sepakat dengan deklarasi tersebut. Mereka yang tidak sepakat, tetap menggunakan gelar lama yakni Kimas atau Kiagus. Sikap ini diambil oleh turunan Bodrowongso atau Panglima Bawah Manggis. Yang tidak sepakat ini lari ke pedalaman. Mereka beranak-pinak di sejumlah daerah di Pagaralam, Curup, Rawas, Sekayu, Pedamaran, atau Kayuagung.

Lihatlah senarai nama sultan2nya…hmm…bergaya Melayu campur Jawa :

- Pangeran Ario Kusumo Abdurrochim/Ki Mas Endi bergelar Sultan Abdurrachman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman, sultan I

- Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago, sultan II

- Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Sultan Mahmud Badaruddin I), sultan III

- Sultan Ahmad Najamuddin Adikusumo, sultan IV

- Sultan Muhammad Bahauddin, sultan V

- Sultan Mahmud Badaruddin II (Raden Hasan Bahauddin), sultan VI

Barulah pada masa Sultan Mahmud Badaruddin II terjadi rekonsiliasi antara para Raden dengan Kimas/Kiagus. Ini diwujudkan dalam pembangunan Benteng Kuto Besak, dan Masjid Agung. Bahan baku seperti telur, dikirim dari keluarga lama yang berada di pedalaman. Bahkan, masjid Agung pun dikelola oleh para ulama dari gelar apa pun, termasuk para ulama dari Arab, dan Tiongkok.

Sesudah Sultan Mahmud Badaruddin II diasingkan Belanda ke Ternate/Maluku maka Kesultanan Palembang Darussalam diperintah oleh Sultan Najamuddin Pangeran Ratu (1819), dua tahun kemudian ia diganti Sultan Najamuddin Prabu Anom (Prabu=Sultan; Anom=Muda). Dan lagi-lagi dua tahun kemudian, pada 1823 Masehi, giliran Kramo Jayo (Jawa=Kromo Joyo) menjadi Sultan Palembang. Tampaknya politik pecah belah Belanda sangat mujarab mencerai berai zuriat Kesultanan ini untuk saling berperang satu sama lain, berebut kuasa.

Demikianlah, akibat terus berpecah-belahnya kalangan bangsawan Palembang, Belanda kemudian tidak sanggup lagi mengelolanya sehingga Kesultanan Palembang Darussalam secara paksa ditiadakan pada 1823.

Kamis, 16 Februari 2012

Kesultanan Palembang Darussalam

(1550 – 1823)

oleh mutawalli

Sejarah mengenai Kesultanan Palembang dapat dimulai pada pertengahan abad ke-15 pada masa hidupnya seorang tokoh bernama Ario Dillah atau Ario Damar. Beliau adalah seorang putera dari raja Majapahit yang terakhir, yang mewakili kerajaan Majapahit bergelar Adipati Ario Damar yang berkuasa antara tahun 1455-1486 di Palembang Lamo, yang sekarang ini letaknya di kawasan 1 ilir. Pada saat kedatangan Ario Damar ke Palembang, penduduk dan rakyat Palembang sudah banyak yang memeluk agama Islam dan Adipati Ario Damar pun mungkin kemudian memeluk agama Islam, konon namanya berubah menjadi Ario Abdillah atau Ario Dillah (Dalam bahasa Jawa damar = dillah = lampu).

Ario Dillah mendapat hadiah dari Raja Majapahit terakhir Prabu Kertabumi Brawijaya V salah seorang isterinya keturunan Cina (kadang-kadang disebut juga Puteri Champa) yang telah memeluk Islam dan dibuatkan istana untuk Puteri. Pada saat putri ini diboyong ke Palembang ia sedang mengandung, kemudian lahir anaknya yang bernama Raden Fatah. Menurut cerita tutur yang ada di Palembang, Raden Fatah ini lahir di istana Ario Dillah di kawasan Palembang lama (1 ilir), tempat itu dahulu dinamakan Candi ing Laras, yaitu sekarang terletak di antara PUSRI I dan PUSRI II. Raden Fatah dipelihara dan dididik oleh Ario Dillah menurut agama Islam dan menjadi seorang ulama Islam. Sementara itu hasil perkawinan Ario Dillah dengan putri Cina tersebut, lahir Raden Kusen yaitu adik Raden Fatah lain bapak.

Setelah kerajaan Majapahit bubar karena desakan kerajaan-kerajaan Islam, Sunan Ngampel, sebagai wakil Walisongo, mengangkat Raden Fatah menjadi penguasa seluruh Jawa, menggantikan ayahnya. Pusat kerajaan Jawa dipindahkan ke Demak. Atas bantuan dari daerah-daerah lainnya yang sudah lepas dari Majapahit seperti Jepara, Tuban, Gresik, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam dengan Demak sebagai pusatnya (kira-kira tahun 1481). Raden Fatah memperoleh gelar Senapati Jimbun Ngabdu’r-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata’Gama.

Hubungan Palembang dengan Demak

Raja Kerajaan Demak Raden Fatah wafat tahun 1518 dan digantikan puteranya Pati-Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang wafat tahun 1521, kemudian digantikan saudara Pati-Unus yaitu Pangeran Trenggono yang wafat pada tahun 1546 (makam-makam mereka ada di halaman Mesjid Demak). Setelah Pangeran Trenggono wafat terjadi perebutan kekuasaan antara saudaranya (Pangeran Seda ing Lepen) dan anaknya (Pangeran Prawata). Pangeran Seda ing Lepen akhirnya dibunuh oleh Pangeran Prawata. Kemudian Pangeran Prawata beserta keluarganya dibunuh pada tahun 1549 oleh anak Pangeran Seda ing Lepen yang bernama Arya Penangsang atau Arya Jipang. Demikian juga menantu Raden Trenggono yang bernama Pangeran Kalinyamat dari Jepara juga dibunuh. Arya Penangsang sendiri dibunuh oleh Adiwijaya juga seorang menantu Pangeran Trenggono atau terkenal dengan sebutan Jaka Tingkir yang menjabat Adipati penguasa Pajang. Akhirnya Keraton Demak dipindah oleh Jaka Tingkir ke Pajang dan habislah riwayat Kerajaan Demak. Kerajaan Demak hanya berumur 65 tahun yaitu dari tahun 1481 sampai 1546.

Dalam kemelut yang terjadi atas penyerangan Demak oleh Pajang ini, berpindahlah 24 orang keturunan Pangeran Trenggono (atau Keturunan Raden Fatah) dari kerajaan Demak ke Palembang, dipimpin oleh Ki Gede Sedo ing Lautan yang datang melalui Surabaya ke Palembang dan membuat kekuatan baru dengan mendirikan Kerajaan Palembang, yang kemudian menurunkan raja-raja, atau sultan-sultan Palembang. Keraton pertamanya di Kuto Gawang, pada saat ini situsnya tepat berada di kompleks PT. Pusri, Palembang. Dari bentuk keraton Jawa di tepi sungai Musi, para penguasanya beradaptasi dengan lingkungan melayu di sekitarnya. Terjadilah suatu akulturasi dan asimilasi kebudayaan jawa dan melayu, yang dikenal sebagai kebudayaan Palembang.

Hubungan Palembang dengan Mataram

Pindahnya pusat kerajaan Jawa dari Demak ke Pajang menimbulkan pergolakan baru setelah wafatnya Jaka Tingkir. Pajang yang diperintah Arya Pangiri diserang oleh gabungan dua kekuatan, dari Pangeran Benowo (putra Jaka Tingkir yang tersingkir) dan kekuatan Mataram (dipimpin Panembahan Senapati atau Senapati Mataram, putra Kyai Ageng Pemanahan atau Kyai Gede Mataram). Akhirnya Arya Pangiri menyerah kepada Senapati Mataram dan Kraton Pajang dipindahkan ke Mataram (1587) dan mulailah sejarah Kerajaan Jawa Mataram. Senapati Mataram sendiri merupakan keturunan Raden Fatah dan Raden Trenggono yang masih meneruskan dinastinya di Jawa, sehingga dapat dipahami eratnya pertalian antara Palembang dan Mataram pada masa itu, yang terus berlanjut hingga masa pemerintahan Raja Amangkurat I (silsilah raja yang keempat). Sampai akhir 1677 Palembang masih setia kepada Mataram yang dianggap sebagai pelindungnya, terutama dari serangan kerajaan Banten. Sultan Muhammad (1580 – 1596) dari Kesultanan Banten pada tahun 1596 pernah menyerbu Palembang (diperintah Pangeran Madi Angsoko) dengan membawa 990 armada perahu, yang berakhir dengan kekalahan Banten dan wafatnya Sultan Muhammad. Penyerbuan ini dilakukan atas anjuran Pangeran Mas, putra Arya Pangiri dari Demak.

Tetapi tidak lama kemudian terdapat golongan yang ingin memisahkan diri dari ikatan dengan Jawa khususnya generasi mudanya. Sementara itu kekuasaan raja-raja Mataram juga berangsur berkurang karena makin bertambahnya ikut campur kekuasaan VOC Belanda di Mataram, sehingga dengan demikian kekuasaan dan hubungan dengan daerah-daerah seberang termasuk Palembang juga merenggang.

Hubungan Palembang dengan VOC

Palembang yang semula merupakan bagian dari kekuasaan Mataram mulai mengadakan hubungan dengan VOC, dengan demikian timbul kecurigaan dari penguasa Mataram dan dampaknya adalah makin renggangnya hubungan Palembang dengan Mataram. Kontak pertama Palembang dengan VOC pada tahun 1610. Pada awalnya VOC tidak banyak berhubungan dengan penguasa Palembang, selain saingan dari Inggris dan Portugis serta Cina, juga sikap penguasa Palembang yang tidak memberikan kesempatan banyak kepada VOC. VOC menganggap penguasa Palembang terlalu sombong; dan menurut VOC hanya dengan kekerasan senjatalah kesombongan Palembang dapat dikurangi, sebaliknya Palembang tidak mudah digertak begitu saja.

Semasa pemerintahan Pangeran Sideng Kenayan yang didampingi istrinya Ratu Sinuhun di Palembang dan Gubernur Jendral di Batavia Jacob Specx (1629-1632) telah dibuka Kantor perwakilan Dagang VOC (Factorij) di Palembang. Kontrak ditanda tangani tahun 1642, tetapi pelaksanaanya baru pada tahun 1662. Anthonij Boeij sejak tahun 1655 ditunjuk sebagai wakil pedagang VOC di Palembang dan sementara tetap tinggal di kapal karena belum punya tempat (loji) di darat. VOC sendiri telah sejak tahun 1619 ingin mendirikan loji (kantor) dan gudang di Palembang. Pembangunan loji dari batu mengalami kesulitan karena pada saat yang sama didirikan bangunan-bangunan antara lain kraton di Beringin Janggut, Masjid Agung dan lain lainnya. Mula-mula loji didirikan di atas rakit, kemudian bangunan dari kayu yang letaknya di 10 Ulu sekarang diatas sebuah pulau yang dikelilingi sungai Musi, sungai Aur, sungai Lumpur serta sambungan dari sungai Tembok. Bangunan permanen dari batu baru dibuat pada tahun 1742. Tindak-tanduk mereka ini tidak menyenangkan orang Palembang karena antara lain ia menyita sebuah jung Cina bermuatan lada.

Kemudian VOC menggantikannya dengan Cornelis Ockerz (dijuluki — si Kapitein Panjang) yang tadinya dicadangkan untuk jadi perwakilan di Jambi. Ockerz datang dua kali di bulan Juni 1658 ke Palembang yang terakhir ia menahan beberapa kapal diantaranya milik putra mahkota Mataram. Terjadi bentrokan yang kemudian dapat didamaikan. Pada tanggal 22 Agustus 1658 beberapa bangsawan Palembang (a.l. Putri Ratu Emas, Tumenggung Bagus Kuning Pangkulu, Pangeran Mangkubumi Nembing Kapal, Kiai Demang Kecek) naik ke atas kapal yacht Belanda, yang bernama Jacatra dan de Wachter, dan membunuh Ockerz beserta 42 orang Belanda lainnya serta menawan 28 orang Belanda. Peristiwa ini disebabkan karena kecurangan-kecurangan serta kelicikan orang-orang Belanda termasuk Ockerz. Kemudian untuk membalas tindakan orang Palembang ini Belanda mengirimkan armadanya yang dipimpin Laksamana Johan Van der Laen dan pada tanggal 24 November 1659 membakar habis kota dan istana Sultan di Kota Gawang (1 llir). Pangeran Mangkurat Seda ing Rajek akhirnya menyingkir ke Indralaya (makamnya di Saka Tiga).

Sketsa yang tertua mengenai Kraton Palembang, dibuat pada tahun 1659, sesaat sebelum Kraton dan Kota Palembang Lama ini dibakar habis oleh Kompeni

Suasana Perang Palembang – VOC tahun 1659

Perang Palembang — Kompeni yang pertama dimulai 4 November 1659, akibat perlawanan Palembang atas kekurangajaran hasil wakil VOC di Palembang, dengan armada terbesar di bawah pimpinan Laksamana Joan van der Laen. Palembang akhirnya dapat direbut Belanda pada tanggal 23 November 1659. Keraton Kuto Gawang dan permukiman penduduk, dan tempat orang-orang Cina, Portugis, Arab, dan bangsa-bangsa lain yang ada di seberang Kuta tersebut dibakar habis selama 3 hari dan 3 malam. Sultan Abdurrahman memindahkan keratonnya ke Beringin Janggut (sekarang sebagai pusat perdangangan). [triyono-infokito]

Wallahua’lam

Lahirnya Kesultanan Palembang Darussalam?

oleh mutawalli

12960031771523206156

Tulisan ini sedikit banyak akan memperkaya khazanah sejarah Palembang Darussalam Pernahkah kita bertanya-tanya, apa saja yang terjadi diantara ‘missing link’ 8 abad (800 tahun) antara Empayar Melayu Kuno Sri Wijaya (Shri Vijaya) dengan Kesultanan Palembang Darussalam?

Sri Wijaya adalah kerajaan yang mengalami puncaknya di Abad 7 Masehi saat rantau ini masih dominan beragama Budha/Hindu. Manakala Kesultanan Palembang Darussalam wujud di Abad 15 saat Islam mulai menyebar di Nusantara. Kedua-duanya berada di Kota Palembang, Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel).

800 tahun bukan kurun yang sebentar, malah boleh dibilang terlalu lama untuk bisa mengais kemungkinan adanya susur galur keduanya.

Jadi? Ya…Sri Wijaya adalah Sri Wijaya. Palembang Darussalam mempunyai kisah dan sejarah tersendiri. Dan ia sangat unik. Karena hanya disinilah 2 suku bangsa sekaligus magnet besar budaya Nusantara berpadu dan bercampur. Yaitu Melayu dan Jawa.

12960029061998596186

Bagaimana sih ceritanya?

Banyak ahli sejarah yang angkat tangan jikalau ditanya apa saja yang terjadi di masa kegelapan di bekas empayar maritim pertama Nusantara itu. Yang jelas, di awal abad ke-15, datanglah sekelompok panglima dan pangeran dari Kesultanan Demak, yang kalah berperang dengan Mataram Islam (mengenai mengapa 2 kesultanan Islam ini saling berperang, ceritanya agak panjang, lain masa daku kisahkan) ke Palembang. Mereka dipimpin oleh ‘Ki Gede Ing Suro’ (Ki=panggilan singkat dari Kiai; Gede=Besar; Ing=Di; Suro=Muharram atau Ikan Hiu) dan sejumlah panglima seperti Bodrowongso.

Di pinggiran Palembang, saat itu terdapat puluhan kerajaan kecil puak Melayu (ingat.. Melayu di Sumatra Selatan juga berpuak-puak/sub etnis yang ragamnya sangat banyak dengan bahasa tempatan yang juga beragam tetapi mungkin masih satu rumpun,misal Ogan, Komering, Lahat, Sekayu, Enim ataupun Melayu dan masih banyak lagi). Kumpulan puak-puak ini membentuk Batin dan biasanya pemimpinnya disebut ‘Pati’. Rombongan “Wong Jowo” (wong=orang) ini lantas mengadakan pertemuan dengan para pemimpin dari penjuru “Batang Hari Sembilan” (nama gelaran wilayah Sumatra Selatan yang dialiri 9 sungai). Tidak ada catatan berdarah dalam proses konsensus “Jawa dan Melayu” ini. Kemudian lahirlah kerajaan Palembang (belum dengan tambahan Darussalam lho…) dengan pemimpinnya Ki Gede Ing Suro sebagai konsensus politik pertama.

1296003309710749707

Bahasa Jawa saat itu tentu saja masih dikekalkan, tetapi hanya dilingkungan kraton. Dengan berjalannya waktu, maka bahasa Melayu dan Jawa ini membentuk ‘Bahaso Plembang’ yang sebagaimana di Jawa dibedakan atas Halus (Krama/Kromo) dan Umum (Ngoko) maka jenis Bahaso Palembang pun dikenal jenis Baso Alus/Kramo (Halus/Krama) dan Baso Sari-sari (Sehari-hari/umum/Ngoko). Termasuk sejumlah suku kata dan susunan bahasa yang menggabungkan 2 budaya.

Keturunan Jawa dan Palembang dari fihak Kraton/ningrat bergelar ‘Ki Emas’ atau ‘Kiemas/Kemas’ dan ‘Ki Agus’ (agus=bagus). Tetapi keturunan dari garis perempuan yang dinikahi para bangsawan kerajaan Palembang - memakai gelar baru yaitu ‘Raden’- mereka ini mendeklarasikan Kesultanan Palembang Darussalam. Inilah konsensus politik kedua di Palembang.

Sayang, tidak semuanya sepakat dengan deklarasi tersebut. Mereka yang tidak sepakat, tetap menggunakan gelar lama yakni Kimas atau Kiagus. Sikap ini diambil oleh turunan Bodrowongso atau Panglima Bawah Manggis. Yang tidak sepakat ini lari ke pedalaman. Mereka beranak-pinak di sejumlah daerah di Pagaralam, Curup, Rawas, Sekayu, Pedamaran, atau Kayuagung.

Lihatlah senarai nama sultan2nya…hmm…bergaya Melayu campur Jawa :

- Pangeran Ario Kusumo Abdurrochim/Ki Mas Endi bergelar Sultan Abdurrachman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman, sultan I

- Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago, sultan II

- Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Sultan Mahmud Badaruddin I), sultan III

- Sultan Ahmad Najamuddin Adikusumo, sultan IV

- Sultan Muhammad Bahauddin, sultan V

- Sultan Mahmud Badaruddin II (Raden Hasan Bahauddin), sultan VI

Barulah pada masa Sultan Mahmud Badaruddin II terjadi rekonsiliasi antara para Raden dengan Kimas/Kiagus. Ini diwujudkan dalam pembangunan Benteng Kuto Besak, dan Masjid Agung. Bahan baku seperti telur, dikirim dari keluarga lama yang berada di pedalaman. Bahkan, masjid Agung pun dikelola oleh para ulama dari gelar apa pun, termasuk para ulama dari Arab, dan Tiongkok.

Sesudah Sultan Mahmud Badaruddin II diasingkan Belanda ke Ternate/Maluku maka Kesultanan Palembang Darussalam diperintah oleh Sultan Najamuddin Pangeran Ratu (1819), dua tahun kemudian ia diganti Sultan Najamuddin Prabu Anom (Prabu=Sultan; Anom=Muda). Dan lagi-lagi dua tahun kemudian, pada 1823 Masehi, giliran Kramo Jayo (Jawa=Kromo Joyo) menjadi Sultan Palembang. Tampaknya politik pecah belah Belanda sangat mujarab mencerai berai zuriat Kesultanan ini untuk saling berperang satu sama lain, berebut kuasa.

Demikianlah, akibat terus berpecah-belahnya kalangan bangsawan Palembang, Belanda kemudian tidak sanggup lagi mengelolanya sehingga Kesultanan Palembang Darussalam secara paksa ditiadakan pada 1823.


Sultan Mahmud Badaruddin II
(Kesultanan Palembang Darussalam)

Sultan Mahmud Badaruddin adalah nama gelar dari Kesultanan Palembang Darussalam yang ke VII. Sedangkan nama aslinya adalah Raden Hasan. Lahir di Palembang 1 Rajab 1181H (1767M).

Tanggal 14 September 1811-empat hari sebelum terjadi penyerahan di Tuntang, ia telah mengakhiri pengaruh kekuasaan Belanda di Palembang. Dalam peristiwa ini, ia telah membuktikan bahwa dirinya sebagai seorang pemimpin yang mempunyai pandangan jauh ke depan dan dapat mempergunakan kesempatan yang tepat untuk membebaskan kesultanan dan rakyat Palembang dari pengaruh kekuasaan asing.

Berdasarkan perjanjian Tuntang 18 September 1811 Belanda menyerahkan Palembang pada Inggris karena Palembang oleh Belanda dihitung sebagai daerah takluk P.Jawa. Ketika utusan Inggris datang, dengan tegas ditolak. Rafles memaksakan kehendaknya dengan mengirim expedisi militer pada tanggal 26 Maret 1812. Meski dengan segala kekuatan melakukan perlawanan, akhirnya Sultan menyingkir ke daerah pedalaman untuk mengatur perang gerilya bersama rakyat. Akhirnya perlawanannya ini mampu memaksa Inggris untuk mengakui kedaulatan sebagai Raja.

Berdasarkan perjanjian Inggris-Belanda 13 Agustus 1814, dibenarkan mengambil kembali daerah-daerah yang pernah didudukinya dari Inggris. Perlawanan Belanda yang ketiga yang baru berhasil dengan mengerahkan angkatan perangnya yang dipimpin Jenderal Baron de Kock.

Dengan tipu dayanya, Jenderal de Kock menembus garis pertahanan Sultan Mahmud Badaruddin II. Tanggal 24 Juni 1821, dini hari, Angkatan Perang Belanda bergerak lagi dengan dahsyatnya hingga menduduki benteng pertahanan Sultan Mahmud. Sebenarnya Sultan tidak kalah perang namun diperdaya oleh Jenderal de Kock. Ia tak pernah menyerah dan tidak pernah membuat suatu perjanjian.

Tanggal 24 Juni 1821 Keraton Kuto Besak diduduki oleh angkatan perang Jenderl de Kock, ia dan Pangeran Ratu serta keluarga yang lainnya diberangkatkan ke Betawi 3 Juli 1821, kemudian diasingkan ke Ternate. Kurang lebih 32 tahun hidup dalam pengasingan, ia senantiasa menunjukkan sifat keagungannya yang antara lain dinyatakan oleh Gubernur Jenderal Barron van der Capelen dalam buku hariannya, "Sama sekali tidak biadab, dalam peperangan ia tahu mempertahankan kedudukannya, orang ini betul-betul memperlihatkan sifat-sifat sebagai Raja".

Meski dipisahkan dari rakyatnya, namun semangat perjuangan yang diwariskan pada rakyatnya tidak dapat dikekang. Ini dirasakan Belanda di Palembang dengan adanya pemberontakan Prabu Anom tahun 1824, perlawanan dilakukan secara terus menerus dan secara diam-diam oleh Pangeran Kramo Jaya sampai tahun 1851, perlawanan rakyat di Komering Ulu tahun 1854, perlawanan rakyat di dusun Jati tahun 1856, disusul perlawanan rakyat Pasemah, Empat Lawang dan Empat Petulai.

Tahun 1881 Belanda mengeluarkan berpuluh-puluh kaum kerabat Sultan dari Palembang karena memberontak terhadap kekuasaan Belanda, untuk kemudian diasingkan secara terpencar-pencar di Kep.Maluku. Sultan sendiri meninggal di Ternate 26 November 1852.

Sultan Mahmud Badaruddin II adalah seorang pejuang yang bertahun-tahun berjuang untuk kemerdekaan rakyatnya dan pemimpin yang telah berhasil menanamkan semangat perjuangan untuk MERDEKA kepada rakyatnya. Berkat perjuangannya ini, pemerintah RI memberinya gelas pahlawan Nasional.

Memang, ikatan kekerabatan kerab menumbuhkan ikatan emosional terhadap sesuatu, apalagi ketika itu Sultan dipisahkan dengan rakyat dan kerabatnya secara geografis! Kita pun kini tak asing lagi bukan melihat sosok pemimpin dengan kerabatisasi atau lebih sarkas lagi kroni-kroninya!!!

Festival Keraton Nusantara VII

Palembang 2010

oleh mutawalli



















Festival Keraton Nusantara (FKN) VII yang di tuan rumahi oleh Keraton Kesultanan Palembang Darussalam pada tanggal 26-28 November 2010 dan dihadiri 155 Kerajaan dan Kesultanan Nusantara dan Mancanegara, terlaksana dengan SUKSES berkat do'a dan dukungan dari banyak pihak, terutama dari rakyat Palembang.

Raja/Sultan dan Lembaga Adat Nusantara hadir dan menyaksikan serangkaian acara didalam FKN VII tersebut, mulai dari Welcome Dinner, Kirab Agung, Pagelaran Seni & Budaya, Pagelaran Benda Pusaka, Musyawarah Raja/Sultan dan Lembaga Adat Nusantara, Serta Makan Malam Perpisahan.
Tidak hanya Raja/Sultan dan Lembaga Adat saja yang hadir, Gubernur dari beberapa Provinsi-pun ikut hadir meramaikan FKN VII di Palembang. Bahkan beberapa utusan Kerajaan/Kesultanan mancanegara seperti Malaysia, Brunei, Philipina dan seorang Peneliti dari Universitas Freiburg, Jerman, Prof. Dr. Yudith Schelle turut hadir sebagai undangan FKN VII di Palembang.

Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, Keraton Kesultanan Palembang Darussalam menegaskan bahwa Festival Keraton Nusantara VII yang diselenggarakan di Palembang merupakan salah satu bukti bangsa Indonesia masih mengedepankan semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "Budaya sebagai pengikat tali persatuan dan kesatuan" tegas Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin.


PERKAWINAN ADAT PALEMBANG

oleh mutawalli

Adat perkawinan Palembang adalah suatu pranata yang dilaksanakan berdasarkan budaya dan aturan Palembang. Melihat adat perkawinan Palembang, jelas terlihat bahwa busana dan ritual adatnya mewariskan keagungan serta kejayaan raja-raja dinasti Sriwijaya yang mengalaimi keemasan berpengaruh di Semananjung Melayu berabad silam. Pada zaman kesultanan Palembang berdiri sekitar abad 16 lama berselang setelah runtuhnya dinasti Sriwijaya, dan pasca Kesultanan pada dasarnya perkawinan ditentukan oleh keluarga besar dengan pertimbangan bobot, bibit dan bebet. Pada masa sekarang ini perkawinan banyak ditentukan oleh kedua pasang calon mempelai pengantin itu sendiri. Untuk memperkaya pemahaman dan persiapan pernikahan, berikut ini uraian tata cara dan pranata yang berkaitan dengan perkawinan Palembang.



Milih Calon
Calon dapat diajukan oleh si anak yang akan dikawinkan, dapat juga diajukan oleh orang tuannya. Bila dicalonkan oleh orang tua, maka mereka akan menginventariskan dulu siapa-siapa yang akan dicalonkan, anak siapa dan keturunan dari keluarga siapa.

Madik
Madik Berasal dari kata bahasa Jawa Kawi yang berarti mendekat atau pendekatan. Madik adalah suatu proses penyelidikan atas seorang gadis yang dilakukan oleh utusan pihak keluarga pria.Tujuannya untuk perkenalan, mengetahui asal usul serta silsilahkeluarga masing-masing serta melihat apakah gadis tersebut belum ada yang meminang.

Menyengguk
Menyengguk atau sengguk berasal dari bahasa Jawa kuno yang artinya memasang "pagar" agar gadis yang dituju tidak diganggu oleh sengguk (sebangsa musang, sebagai kiasan tidak diganggu perjaka lain). Menyengguk dilakukan apabila prosesMadikberhasil dengan baik, untuk menunjukkan keseriusan, keluarga besar pria mengirimkan utusan resmi kepada keluarga si gadis.Utusan tersebut membawa tenong atau sangkek terbuat dari anyaman bambu berbentuk bulat atau segi empat berbungkus kain batik bersulam emas berisi makanan, dapat juga berupa telor, terigu, mentega, dan sebagainya sesuai keadaan keluarga si gadis.

Ngebet
Bila proses sengguk telah mencapai sasaran, maka kembali keluarga dari pihak pria berkunjung dengan membawa tenong sebanyak 3 buah, masing-masing berisi terigu, gula pasir dan telur itik. Pertemuan ini sebagai tanda bahwa kedua belah pihak keluarga telah "nemuke kato" serta sepakat bahwa gadis telah 'diikat' oleh pihak pria. sebagai tanda ikatan, utusan pria memberikan bingkisan pada pihak wanita berupa kain, bahan busana, ataupun benda berharga berupa sebentuk cincin, kalung, atau gelang tangan.

Berasan
Berasal dari bahasa Melayu artinya bermusyawarah, yaitu bermusyawarah untuk menyatukan dua keluarga menjadi satu keluarga besar. Pertemuan antara dua pihak keluarga ini dimaksudkan untuk menentukan apa yang diminta oleh pihak si gadis dan apa yang akan diberikan oleh pihak pria. Pada kesempatan itu, si gadis berkesempatan diperkenalkan kepada pihak keluarga pria. Biasanya suasana berasan ini penuh dengan pantun dan basa basi. Setelah jamuan makan, kedua belah pihak keluarga telah bersepakat tentang segala persyaratan perkawinan baik tata cara adat maupun tata cara agama Islam. Pada kesempatan itu pula ditetapkankapan hari berlangsungnya acara "mutuske kato". Dalam tradisi adat Palembang dikenal beberapa persyaratan dan tata cara pelaksanaan perkawinan yang harus disepakati oleh kedua belah pihak keluarga, baik secara syariat agama Islam, maupun menurut adat istiadat. Menurut syariat agama Islam, kedua belah pihak sepakat tentang jumlah mahar atau mas kawin, Sementara menurut adat istiadat, kedua pihak akan menyepakati adat apa yang akan dilaksanakan, apakah adat Berangkat Tigo Turun, adat Berangkat duo Penyeneng, adat Berangkat Adat Mudo, adat Tebas, ataukah adat Buntel Kadut, dimana masing-masing memiliki perlengkapan dan persyaratan tersendiri.

Mutuske Kato
Acara ini bertujuan kedua pihak keluarga membuat keputusan dalam hal yang berkaitan dengan:"hari ngantarke belanjo" hari pernikahan, saat Munggah, Nyemputi dan Nganter Penganten, Ngalie Turon, Becacap atau Mandi Simburan dan Beratib. Untuk menentukan hari pernikahandan acara Munggah, lazim dipilih bulan-bulan Islam yang dipercaya memberi barokah bagi kedua mempelai kelak yakni bulan Robiul Awal, Robiul Akhir, Jumadilawal, Jumadilakhir. Bulan-bulan tersebut konon dipercayah bahwa bulan purnama sedang cantik-cantiknya menyinari bumi sehingga cahayanya akan menjadi penerang kehidupan bagi kedua mempelai secerah purnama. Saat 'mutuske kato' rombongan keluarga pria mendatangi kediaman pihak wanita dimana pada saat itu pihak pria membawa 7 tenong yang antara lain berisi gula pasir, terigu, telur itik, pisang dan buah-buahan. Selain membuat keputusan tersebut, pihak pria juga memberikan (menyerahkan) persyaratan adat yang telah disepakati saat acara berasan. sebagai contohnya, bila sepakat persyaratan adat Duo Penyeneng, maka pihak pria pada saat mutoske kato menyerahkan pada pihak gadis dua lembar kemben tretes mider, dua lembar baju kurung angkinan dan dua lembar sewet songket cukitan. Berakhirnya acara mutuske kato ditutup dengan doa keselamatan dan permohonan pada Allah SWT agar pelaksanaan perkawinan berjalan lancar. Disusul acara sujud calon pengantin wanita pada calon mertua, dimana calon mertua memberikan emas pada calon mempelai wanita sebagai tanda kasihnya. Menjelang pulang 7 tenong pihak pria ditukar oleh pihak wanita dengan isian jajanan khas Palembang untuk dibawa pulang.

Nganterke Belanjo
Prosesi nganterke belanjo biasanya dilakukan sebulan atau setengah bulan bahkan beberapa hari sebelum acara Munggah. Prosesi ini lebih banyak dilakuakn oleh kaum wanita, sedangkan kaum pria hanya mengiringi saja. Uang belanja (duit belanjo) dimasukan dalam ponjen warna kuning dengan atribut pengiringnya berbentuk manggis. Hantaran dari pihak calon mempelai pria ini juga dilengkapi dengan nampan-nampan paling sedikit 12 buah berisi aneka keperluan pesta, antara lain berupa terigu, gula, buah-buahan kaleng, hingga kue-kue dan jajanan. Lebih dari itu diantar pula'enjukan' atau permintaan yang telah ditetapkan saat mutuske kato, yakni berupa salah satu syarat adat pelaksanaan perkawinan sesuai kesepakatan. Bentuk gegawaan yang juga disebut masyarakat Palembang 'adat ngelamar' dari pihak pria (sesuai dengan kesepakatan) kepada pihak wanita berupa sebuah ponjen warna kuning berisi duit belanjo yang dilentakan dalam nampan, sebuah ponjen warna kuning berukuran lebih kecil berisi uang pengiring duit belanjo, 14 ponjen warna kuning kecil diisi koin-koin logam sebagai pengiring duit belanjo, selembar selendang songket, baju kurung songket, sebuah ponjen warna kuning berisi uang'timbang pengantin' 12 nampan berisi aneka macam barang keperluan pesta, serta kembang setandan yang ditutup kain sulam berenda.

Persiapan Menjelang Akad Nikah
Ada beberapa ritual yang biasanya dilakukan terhadap calon pengantin wanita yang biasanya dipercaya berkhasiat untuk kesehatan kecantikan, yaitu betangas. Betangas adalah mandi uap, kemudian Bebedak setelah betangas, dan berpacar (berinai) yang diberikan pada seluruh kuku kaki dan tangan dan juga telapak tangan dan kaki yang disebut pelipit.

Upacara Akad Nikah
Menyatukan sepasang kekasih menjadi suami istri untuk memasuki kehidupan berumahtangga. Upacara ini dilakukan dirumah calon pengantin pria, seandainya dilakukan dirumah calon pengantin wanita, maka dikatakan 'kawin numpang'. Akan tetapi sesuai dengan perkembangan masa, kini upacara akad nikah berlangsung dikediaman mempelai wanita. Sesuai tradisi bila akad nikah sebelum acara Muggah, maka utusan pihak wanita terlebih dahulu ngantarke keris ke kediaman pihak pria.

Ngocek Bawang
Ngocek Bawang diistilahkan untuk melakukan persiapan awal dalam menghadapi hari munggah. Pemasangan tapup, persiapan bumbu-bumbu masak dan lain sebagainya disiapkan pada hari ini. Ngocek bawang kecik ini dilakukan dua hari sebelum acara munggah.
Selanjutnya pada esok harinya sehari sebelum munggah, dilakukan acara ngocek bawang besak. Seluruh persiapan berat dan perapian segala persiapan yang belum selesai dikerjakan pada waktu ini. Daging, ayam dan lain sebagainya disiapkan saat munggah, mengundang (ngulemi) ke rumah besannya, dan si pihak yang di ulemi pada masa ngocek bawang wajib datang, biasannya pada masa ini diutus dua oarang yaitu wanita dan pria.

Munggah
Prosesi ini merupakan puncak rangkaian acara perkawinan adat Palembang. Hari munggah biasanya ditetapkan hari libur diantara sesudah hari raya Idul Fitri & Idul Adha. Pada pagi hari sebelum acara, dari pihak mempelai wanita datang ke pihak laki-laki (ngulemi) dengan mengutus satu pasang lelaki & wanita.
Selain melibatkan banyak pihak keluarga kedua mempelai, juga dihadiri para tamu undangan. Munggah bermakna agar kedua pengantin menjalani hidup berumah tangga selalu seimbang atau timbang rasa, serasi dan damai. Pelaksanaan Munggah dilakukan dirumah kediaman keluarga pengantin wanita. Sebelum prosesi Munggah dimulai terlebih dahulu dibentuk formasi dari rombongan pria yang akan menuju kerumah kediaman keluarga pengantin wanita. Sebelum prosesi Munggah dimulai terlebih dahulu dibentuk formasi yang akan berangkat menuju rumah pengatin wanita. Formasi itu adalah :
  • Kumpulan (grup) Rudat dan Kuntau
  • Pengatin Pria diapit oleh kedua orang tua, dua orang pembawa tombak, seorang pembawa payung pengantin, didampingi juru bicara, pembawa bunga langsih dan pembawa ponjen adat serta pembawa hiasan adat dan gegawan.

Nyanjoi
Nyanjoi dilakukan disaat malam sesudah munggah dan sesudah nyemputi. Biasannya nyanjoi dilakukan dua kali, yaitu malam pertama yang datang nyanjoi rombongan muda-mudi, malam kedua orang tua-tua. Demikian juga pada masa sesudah nyemputi oleh pihak besan lelaki.

Nyemputi
Dua hari sesudah munggah biasannya dilakukan acara nyemputi. Pihak pengantin lelaki datang dengan rombongan menjemputi pengantin untuk berkunjung ketempat mereka, sedangkan dari pihak wanita sudah siap rombongan untuk nganter ke pengantin. Pada masa nyemputi penganten ini di rumah pengantin lelaki sudah disiapkanacara keramaian (perayaan). Perayaan yang dilakukan untuk wanita-wanita pengantin ini baru dilakukan pada tahun 1960-an, sedangkan sebelumnya tidak ada.

Ngater Penganten
Pada masa nganter penganten oleh pihak besan lelaki ini, di rumah besan wanita sudah disiapkan acara mandi simburan. Mandi simburan ini dilakukan untuk menyambut malam perkenalan antara pengantin lelaki dengan pengantin wanita. Malam perkenalan ini merupakan selesainya tugas dari tunggu jeru yaitu wanita yang ditugaskan untuk mengatur dan memberikan petunjuk cara melaksanakan acara demi acara disaat pelaksanaan perkawinan. Wanita tunggu jeru ini dapat berfunsi sebagai penanggal atau penjaga keselamatan berlangsungnya selauruh acara perkawinan yang kemungkinan akan ada gangguan dari orang yang tak senang.

Dalam upacara perkawinan adat Palembang, peran kaum wanita sangat domonan, karena hampirseluruh kegiatan acara demi acara diatur dan dilaksanakan oleh mereka. Pihak lelaki hanya menyiapkan "ponjen uang". Acara yang dilaksanakan oleh pihak lelaki hanya cara perkawinan dan acara beratib yaitu acara syukuran disaat seluruh upacara perkawinan sudah diselesaikan.

Pelantikan Yayasan Raja Sultan Nusantara

(YARASUTRA)

oleh mutawalli

Jakarta, tepat pada hari Rabu tanggal 21 Desember 2011 di Puri Ratna Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta telah dilangsungkan acara Pelantikan Yayasan Raja Sultan Nusantara. Acara yang berlangsung kurang lebih 2 jam itu diikuti oleh lebih dari 150 Raja dan Sultan Nusantara serta tidak sedikit Duta Besar dan Menteri yang hadir didalamnya. Yayasan Raja Sultan Nusantara (YARASUTRA) adalah suatu lembaga yang dibentuk oleh Para Raja Sultan serta Pemangku Adat se-Nusantara yang bertujuan untuk mempererat Persatuan dan Kesatuan Indonesia, menjaga Ketahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mengangkat kembali nilai-nilai Adat dan Budaya yang dimiliki oleh Indonesia, dan masih banyak lagi. Seperti yang dikatakan oleh Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin "YARASUTRA didirikan salah satu tujuannya sebagai garda terdepan untuk melestarikan budaya Indonesia. Kita berkomitmen memajukan dan memakmurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)".
Para Pengurus Yayasan Raja Sultan Nusantara

Penyerahan Pataka YARASUTRA oleh Sultan Mudaffar Sjah (Sultan Ternate) mewakili semua Pendiri kepada Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin (Sultan Palembang Darussalam) selaku Ketua Umum YARASUTRA.

Yayasan Raja Sultan Nusantara

(YARASUTRA)

oleh mutawalli

Yayasan Raja Sultan Nusantara (YARASUTRA) adalah suatu badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan, didirikan dengan memperhatikan persyaratan formal yang ditentukan dalam undang-undang. Di Indonesia, yayasan diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan serta Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Yayasan oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.
Ide dasar ini timbul pada pertemuan yang tanpa direncanakan di hotel Sriwijaya Jakarta tanggal 11 Januari 2011 dgn beberapa Raja/Sultan dan pemangku Adat saat YM.Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin sebagai Tuan Rumah FKN VII akan menyampaikan laporan hasil dari Festival Keraton Nusantara VII di Palembang kepada Presiden dengan tembusan Menteri yang terkait. Dari hasil pertemuan tersebut maka berdasarkan kesepakatan para Raja Sultan dan Pemangku Adat yang hadir tercetus suatu ide untuk mendirikan suatu organisasi/wadah yang berberntuk yayasan.
Sabtu, 15 Januari Tahun 2011 bertempat di Hotel Marcopolo Jakarta. Para pewaris, Raja, Sultan, Pemangku dan Pemegang Lembaga Adat Keraton Nusantara, Atas Anugerah, Rahmat dan Kekuatan Cahaya Illahi, Tuhan Yang Maha Esa, bertekad suci untuk menegakkan kembali jati diri bangsa dan membangun budaya untuk menjungjung harkat dan martabat bangsa, dengan segala upaya dan sepenuh daya untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran rakyat di bumi Nusantara melalui pembentukan
YAYASAN RAJA SULTAN NUSANTARA (YARASUTRA).

Visi dan Misi
Visi
1. Mengembalikan jati diri bangsa Indonesia
2. Melestarikan adat dan budaya kerajaan dan kesultanan nusantara guna untuk mengantisipasi pengaruh budaya luar yang tidak sesuai dengan kepribadian dan jati diri Bangsa Indonesia

Misi
1. Membangun persaudaraan dan silahturahmi Raja Sultan Nusantara termasuk Trah dan Dynastinya.
2. Mengangkat harkat dan martabat Bangsa dengan melestarikan kearifan lokal (lokal genius) dan budaya leluhur yang adi luhur melalui Keraton Nusantara.
3. Memelihara, membangun dan merevitalisasi Keraton Nusantara untuk kebanggaan bangsa, kebanggan budaya dan pariwisata.
4. Menyelenggarakan penelitian untuk pengembangan Keraton Nusantara.
5. Mengadakan usaha-usaha terwujudnya pusat pengkajian Kraton Nusantara sebagai pewujudan perjalanan sejarah peradaban bangsa.
6. Memperkenalkan seni budaya nusantara di seluruh dunia dan menyelenggarakan pameran (expo) warisan Budaya Keraton.
7. Menyelenggarakan pendidikan seni budaya nusantara dan ilmu pengetahuan umum (dari tingkat TK sampai perguruan tinggi)
8. Membangun budi pekerti luhur.
9. Mengembangkan sejarah lokal melalui keraton Nusantara untuk memperkuat sejarah nasional di tengah sejarah dunia.
10. Memelihara adat budaya ” Adi Luhur ” bangsa melalui upacara tradisi dan upacara siklus (daur hidup) manusia warisan leluhur yang dapat membangun karakter (jati diri) bangsa dengan memperkuat lembaga ADAT KERATON NUSANTARA.
11. Memperkenalkan dan memperjuangkan budaya nusantara agar dikenal dan dihargai diseluruh penjuru dunia.
12. Menciptakan dan menjadikan kraton-kraton nusantara sebagai model Ruang budaya yang harmonis yang menggambarkan simbolisasi antara manusia, alam dan Sang Maha Pencipta (Tri Hita Karana).
13. Menciptakan hubungan yang harmonis antara Raja, Sultan dan Lembaga adat kraton nusantara.
14. Menata Lembaga adat Kraton Nusantara menjadi Sumber Budaya.
15. Menyelenggarakan Expo (pameran) Festival (Pesta Rakyat) warisan kerajaan dan budaya nusantara.
16. Untuk melestarikan, melindungi khasanah kebudayaan, dalam kemartabatan, kemuliaan dan kejayaan bangsa Indonesia
17. Melestarikan warisan budaya, benda cagar budaya, dan seluruh sumber daya pewarisan bangsa
18. Membentuk perlindungan terhadap seluruh warisan budaya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
19. Menguatkan nilai-nilai kemartabatan, kemuliaan seluruh warga bangsa Indonesia
20. Menguatkan kearifan tradisional sebagai model dasar pembangunan dalam berbagai aspek dan dimensinya
21. Meningkatkan kesejahteraan para pewaris pelestari khasanah budaya bangsa
22. Mengelola sumber daya kebuadayaan sebagai sumber daya ekonomi, sosial dan integritas insani
23. Bekerjasama dengan pemerintah, dan pihak-pihak lain dalam pelestarian dan perlindungan khasanah budaya bangsa
24. Memperkuat kemartabatan dan kemuliaan bangsa secara keseluruhan dalam ketauladanan budipekerti yang agung
25. Menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam rangka memperkokoh kemartabatan dan kemuliaan berbasis kearifan tradisional, keagungan keratin dan pengalaman kejayaan kerajaan-kerajaan di Indonesia
26. Melakukan upaya menyeluruh untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, para pewaris pemangku adat, pemimpin komunitas dan seluruh kerabat/santana/zuriyat keratin dan kerajaan se Indonesia
27. Mengembangkan kelembagaan dalam upaya partisipasi pembangunan dan penguatan sumberdaya kerajaan dan kesultanan

KETUA UMUM:
SULTAN ISKANDAR MAHMUD BADARUDDIN
(KERATON KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM)

SEKRETARIS:
KRAT, MAS'UD THOYIB ADININGRAT

BENDAHARA:
DAULAT RAJA AGUNG PANATURI HASADAON
(ISTANA HASADAON)