Kamis, 05 Januari 2012
Kesultanan Serdang berdiri tahun 1723 dan bergabung dengan Republik Indonesia tahun 1946. Kesultanan ini berpisah dari
Hilang Budaya, Hilang Bangsa
HL | 09 December 2010 | 17:35 424 23 7 dari 7 Kompasianer menilai Aktual
BENTENG KUTO BESAK, Jembatan Ampera, dan Sungai Musi siang itu menjadi saksi berkumpulnya para delegasi tetua adat dan Raja-raja dari Kesultanan/Kerajaan se-Nusantara di perhelatan Festival Keraton Nusantara ke VII (FKN) 26-29 November 2010 lalu di kota Palembang yang merupakan acara rutin dua tahunan. Terpilihnya kota Palembang sebagai tuan rumah merupakan prestise tersendiri bagi warga dan kota Palembang dan tentu prestise tersendiri bagi raja-raja se-Nusantara yang sadar bergerak, sadar berjuang, dan sadar mempersatukan kembali nilai-nilai budaya dan kultural sebagai pemersatu bangsa. Dari 155 delegasi ketua-ketua lembaga adat kerajaan dari dalam Negeri, hadir pula perwakilan kerajaan Negara tetangga Kerajaan Serawak (Malaysia) dan kerajaan Brunei Darussalam.
Sabtu 27 November 2010 ratusan warga memadati pelataran Benteng Kuto Besak yang berseberangan dengan sungai Musi. Mereka sangat antusias tak perduli lagi akan terik matahari yang menyengat kulit siang itu. Bagi masyarakat Palembang acara FKN merupakan hal dan tontonan baru. Bahkan dua orang penonton berkata kepada temannya “memang di Palembang ada Kerajaan?”. Namun, mata mereka terbelalak memandang ratusan prajurit yang bersiap melakukan kirab agung dengan segala keindahan pernak-perniknya yang amat mempesona. Keindahan yang tidak pernah dilihat sebelumnya. Keindahan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Gong di bunyikan, tanah dan air diserahkan kepada Keraton Kesultanan Palembang Darussalam yang diwakili Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin dan Gubernur Sumsel Alex Noerdin sebagai deklarasi demi membela Tanah Air. Festival Keraton Nusantara ke VII resmi dibuka, Kirab agung dimulai. Satu persatu delegasi memperagakan kirab agung di hadapan para raja dan masyarakat. Palembang seakan kembali pada masa Madya saat Kesultanan Palembang Darussalam disegani dikawasan Nusantara pada saat Palembang berfungsi sebagai pusat kerajaan Sriwijaya abad ke 7 (tahun 683 Masehi) hingga sekitar abad ke-12 di bawah Wangsa Syailendra/Turunan Dapunta Syailendra dengan Bala Putra Dewa sebagai raja Pertama.
Saat utusan Cirebon dari keraton Kasepuhan memperagakan kirab agung. Manggalayudha menyiapkan pasukan. Manggalayudha berteriak.
“Baladika!”
“Ya!”
“Manced gunung (tegak)”
“Ya!”
“Siaga (siap)”
“Haiiiit!” seruan Surakbala
“Allahu akbar!”
Allahu akbar!”
Serempak semua pasukan berjalan sambil bershalawat dihadapan utusan raja-raja se-Nusantara yang menyaksikan dari tenda kehormatan. Surakbala menyeruak tembok ratusan warga. Tampak seorang Punggawa membawa umbul-umbul pusaka Waring Kuning yang melambangkan kesederhanaan. Disusul oleh seorang Panji membawa lambang Singa Barwang dwajilullah dwaja kebesaran kerajaan islam Cirebon. Seorang Mantri Panewu membawa payung kropak dan Tunggul Gada lambang kedaulatan Negara. Umbul-umbul Gula Kelapa dibawa oleh seorang Suratani perlambang dari kesatuan dan persatuan. Umbul-umbul Pandan Binetot lambang dari kebhinekaan dibawa oleh Mantri Panatus. Dengan kawalan ketat para Balapati, para Manggala, Ki Ageng, Nyi Ageng, Ki Kuwu, Ki Buyut, tampak seorang Senopati selaku panglima tertinggi dipandu Aden Ayu juru pamayung. Di belakangnya tampak pasukan Tegang Pati pasukan gerak cepat Suranenggala dengan lambang Wisaba dwaja rupa. Di susul pasukan Sarwajala dengan lambang Tatsaka dwaja rupa atau pasukan penjaga lautan pesisir Cirebon. Korp musik pengiring pasukan mengakhiri barisan pasukan Wiraraja pasukan khusus pengawal raja atau Bhayangkara dengan lambang Bramara dwaja rupa.
Kontingen Kesultanan Kasepuhan membacakan sinopsis tentang berdirinya kerajaan Kasepuhan Cirebon ketika melintas di 155 raja-raja yang duduk tenda kehormatan sambil mendengarkan dengan khidmat sinopsis dan menyaksikan kirab agung dari Keraton Kasepuhan Cirebon: Dua april seribu empat ratus delapan puluh dua masehi dibawah kendali keadilan Sunan Jati Purba Syekh Maulana Syarif Hidayatullah, ditandai dengan berkibarnya umbul-umbul waring pusaka dan ditancapkannya payung kropak agung dialun-alun Pakungwati, Cirebon memproklamirkan diri sebagai kerajaan Islam yang berdaulat penuh terlepas dari kerajaan Pakuan Pajajaran maka untuk menjaga kedaulatan wilayah, kerajaan Islam Cirebon membentuk kelompok-kelompok prajurit yang tangguh. Pembaca sinopsis berteriak dari atas panggung:
“Inilah kirab agung prajurit Kasultanan Kasepuhan Cirebon!”.
***
Bicara tentang Keraton dan kekayaan budayanya tak bisa lepas dari sejarah perkembangan Kerajaan-kerajaan di Nusantara dahulu. Siapakah raja dahulu dan siapakah raja sekarang dan siapakah raja di masa hadapan? retiap raja, kapan dan di mana pun, baik yang amanah menghayati kekuasaan secara sungguh-sungguh maupun yang sekarep dewek (sekehendak hati tidak memperdulikan rakyatnya) akan mendapatkan dirinya berhadapan muka dengan masalah-masalah asasi. Dengan membaca sejarah secara tenang dan arif tanpa dibebani prasangka dan vested interest, pada akhirnya akan mengantar kembali membangun peradaban yang berbudaya sehingga tak hilang Bangsa.
Dalam konteks inilah, membaca kembali atau bahkan membongkar sejarah Kerajaan/Kesultanan dengan jernih menjadi penting dan niscaya, ketimbang mengais-kais kejayaan masa lampau yang telah silam kemudian menghamburkan jargon-jargon murahan dengan kepongahan luar biasa. Sebagai pembaca sejarah dengan memahami dasar konsepsinya, kita pun ditantang untuk secara rendah hati menjawab sebuah pertanyaan sederhana: relevansi apakah yang ada pada esensi sejarah masa lalu dengan masa kini yang harus dipertahankan dan dikembangkan serta yang harus “ditanggalkan dan ditinggalkan” demi masa depan Bangsa?
Serentak dengan itu sejarah seolah-olah bangkit atau dibangkitkan. Masa lampau hadir bersama masa kini dan impian-harapan masa depan. Celakanya, masa lampau yang (di)hadir(kan) senantiasa berupa kepingan-kepingan yang garang: kisah-kisah seputar perang, ke-digjaya-an, senjata, keseraman ilmu mejik, dan yang sejenis dengan itu.
Pada titik ini, Sebuah kerajaan beserta seluruh sejarahnya, disadari atau tidak, telah dirumuskan secara serampangan dan irasional. Seakan kerajaan hanyalah hal-hal serupa itu. Lantas disebarkan ke tengah-tengah publik dan diterima pula secara taken for granted. Sebuah lingkungan budaya pun terbentuk, yakni budaya yang semakin memuja.
“Feodalisme” atau “Pendekarisme” atau apa pun istilahnya. Lingkungan budaya seperti itulah yang dipelihara dengan penuh kebanggaan lantas mengeras menjadi semacam identitas bersama bagi sebuah Kerajaan. Sehingga kepingan-kepingan lainnya yang boleh jadi sesungguhnya adalah bagian penting dan utama dari sejarah dan kebudayaan bangsa dengan seluruh kebesarannya pada masa itu justru ter(di)sisihkan, ter(di)abaikan, bahkan ter(di)lupakan.
Semoga saja dari event rutin dua tahunan ini membentuk raja-raja yang bersahaja untuk negerinya, karena tidak ada negeri yang memiliki tatanan dan budaya yang baik, tanpa seorang raja. Harus ada raja sejati. Yang tidak tinggal di balik istana. Raja yang dikenal dengan baik. Yang dapat ditemui tanpa birokrasi yang njelimet. Seorang raja di abad modern ini tentunya yang dapat membebaskan dirinya dari rasa malu berbudaya, sombong dan ingkar. Seorang raja yang pasti akan di limpahkan cahaya bagi raja yang sanggup melepaskan belenggu diri. Raja yang demikian akan bebas dari baik dan buruk, karena berada di jalan kekasihNya. Sehingga menjelma menjadi sosok raja insan kamil. *
February 4th, 2011 | Author: Ryan goedangdjadoel
.
Paket 50 keping pitis kesultanan Palembang abad 18
Kode Barang : 603
Kondisi bagus dan sudah dibersihkan.
Terbuat dari timah.
Biasa dijual kisaran harga 10rb s/d 20rb perkeping
Saya jual paket sebanyak 40 keping kondisi bagus & sduah dibersihkan
Kesultanan Palembang: 1659–1823
Kesultanan Palembang Darussalam adalah suatu kerajaan Islam di Indonesia yang berlokasi di sekitar kota Palembang, Sumatera Selatan sekarang. Kerajaan ini diproklamirkan oleh Sri Susuhunan Abdurrahman dari Jawa[1] dan dihapuskan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 7 Oktober 1823.
Malthe Conrad Bruun (1755-1826) seorang petualang dan ahli geografi dari Perancis mendeskripsikan keadaan masyarakat dan kota kerajaan waktu itu, yang telah dihuni oleh masyarakat yang heterogen terdiri dari Cina, Siam, Melayu dan Jawa serta juga disebutkan bangunan yang telah dibuat dengan batu bata hanya sebuah vihara dan istana kerajaan.
Kesultanan Palembang Darussalam adalah suatu kerajaan Islam di Indonesia yang berlokasi di sekitar kota Palembang, Sumatera Selatan sekarang. Kerajaan ini diproklamirkan oleh Sri Susuhunan Abdurrahman dari Jawa[1] dan dihapuskan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 7 Oktober 1823.
Malthe Conrad Bruun (1755-1826) seorang petualang dan ahli geografi dari Perancis mendeskripsikan keadaan masyarakat dan kota kerajaan waktu itu, yang telah dihuni oleh masyarakat yang heterogen terdiri dari Cina, Siam, Melayu dan Jawa serta juga disebutkan bangunan yang telah dibuat dengan batu bata hanya sebuah vihara dan istana kerajaan.
Kesultanan Palembang: 1659–1823
Kesultanan Palembang Darussalam adalah suatu kerajaan Islam di Indonesia yang berlokasi di sekitar kota Palembang, Sumatera Selatan sekarang. Kerajaan ini diproklamirkan oleh Sri Susuhunan Abdurrahman dari Jawa[1] dan dihapuskan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 7 Oktober 1823.
Malthe Conrad Bruun (1755-1826) seorang petualang dan ahli geografi dari Perancis mendeskripsikan keadaan masyarakat dan kota kerajaan waktu itu, yang telah dihuni oleh masyarakat yang heterogen terdiri dari Cina, Siam, Melayu dan Jawa serta juga disebutkan bangunan yang telah dibuat dengan batu bata hanya sebuah vihara dan istana kerajaan.
Kesultanan Palembang Darussalam adalah suatu kerajaan Islam di Indonesia yang berlokasi di sekitar kota Palembang, Sumatera Selatan sekarang. Kerajaan ini diproklamirkan oleh Sri Susuhunan Abdurrahman dari Jawa[1] dan dihapuskan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 7 Oktober 1823.
Malthe Conrad Bruun (1755-1826) seorang petualang dan ahli geografi dari Perancis mendeskripsikan keadaan masyarakat dan kota kerajaan waktu itu, yang telah dihuni oleh masyarakat yang heterogen terdiri dari Cina, Siam, Melayu dan Jawa serta juga disebutkan bangunan yang telah dibuat dengan batu bata hanya sebuah vihara dan istana kerajaan.
Benteng Kuto Besak
Benteng ini dibangun selama 17 tahun (1780-1797). Sebagaimana umumnya bangunan benteng pada masa lalu, benteng yang kemudian dikenal dengan nama Benteng Kuto Besak (BKB) ini dibangun di atas “pulau”. Lahan tempatnya berdiri dikelilingi sungai. Yaitu,Sungai Kapuran (kini,alirannya merupakan bagian Jl. Merdeka, setelah ditimbun Pemerintah Belanda sekitar tahun1930-an) di bagian utara ; Sungai Musi dibagian utara; Sungai Sekanak di bagian barat; dan Sungai Tengkuruk di bagian timur.
Separti halnya Sunagi Kapuran, Sungai Tengkuruk juga ditimbun Belanda pada awal 1930-an dan di jadikan sebagai jalan. Lokasi jalan, yang kemudian dikenal sebagaiJl. Tengkuruk ini(kini menjadi landasan Jembatan Ampera dan sebagian lagi menjadi Jl. Jenderal Sudirman (sebelumnya Jl. Talang Jawa), ini sempat berfungsi sebagai boulevavard. Pada masa Palembang berbentung Gementee (Kotapraja), Boulevard Tengkuruk ini dijadikan sebagi bagian dari rute pawai atau karnaval even tertentu Kerajaan Belanda, antara lain hari ulang tahun Ratu Wilhelmina.
BKB, yang mulai difungsikan secara resmi pada Senin, 23 Sya’ban 1211h (21 Februari 1797 M), ini dibangun oleh Sultan Muhammad Bahahauddin (1776-1803 M) Pembangunannya dimulai pada Ahad 15 Jumadil Awal 1193 H (1779 M0. Pembangunan benteng termasuk keraton “baru” ini merupakan kelanjutan dari gagasn Sultan Mahmud Badarudin Jayo Wikramo atau SMB I (1724-1758 M). Pendiri Masjid Agung (pada masa iti disebut sebagai Masjid Sulton) itu adalah kakek Sultan Muhammad Bahaudin.
Bangunan ini menggunakan bahan batu dan semen 9batu kapur serta bubuk tumbukan kulit kerang). Konon, sebagi bahan penguat tambahan digunakan pula putih telur dan rebusan tulang serta kulit sapi dan kerbau.
Benteng berbentuk persegi empat dengan ukuran panjang 290 meter, lebar 180 meter. Dan tinggi 6,60 meter – 7.20. Di keempat sudutnya, terdapat empat bastion (buluarti) untuk menempatkan meriam. Meriam yang terdapat di keempat sudut benteng inilah yang dipakai untuk menghalau tentara dan menghancurkan armada Belanda pada Perang Palembang I tahun 1819 (Perang Menteng) dan Perang Palembang II tahun 1819.
Sesuai dengan posisinya yang dikelilingi sungai, BKB memiliki pintu empat pintu. Yaitu pintu utama yang menghadap Sungai Musi dan yamh tiga pintu lain yang masing-masing menghadap Sungai Tengkuruk,Sungai Kapuran dan Sungai Sekanak. Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, didalam benteng terdapat Keraton,Keputren,Ruang Pertemuan (Pamalarek) dan rumah para elite Kesultanan.
Banteng Kuto Besak
07:00 | Author: Diary Drs.mutawalli
Di sekitar wilayah inilah istriku lahir dan menghabiskan sebagian masa kecilnya. Benteng Kuto Besak, yang
Dari Wiki disebutkan sebagai berikut (dan harus sudah siap!)
Kuto Besak adalah bangunan keraton yang pada abad XVIII menjadi pusat Kesultanan Palembang. Gagasan mendirikan Benteng Kuto Besar di prakarsai oleh Sultan Mahmud Badaruddin I yang memerintah pada tahun 1724-1758 dan pelaksanaan pembangunannya diselesaikan oleh penerusnya yaitu Sultan Mahmud Bahauddin yang memerintah pada tahun 1776-1803. Sultan Mahmud Bahauddin ini adalah seorang tokoh kesultanan Palembang Darussalam yang realistis dan praktis dalam perdagangan Internasional serta seorang agamawan yang menjadikan Palembang sebagai pusat sastra agama di Nusantara. Menandai perannya sebagai sultan ia pindah dari Keraton Kuto Lamo ke Kuto Besak. Belanda menyebut Kuto Besak sebagai nieuwe keraton alias keraton baru.
Banteng tahun 1905
Kesultanan Palembang
Iskandar Mahmud Badaruddin
T.WIJAYA Kesultanan Palembang Darussalam Bangkit Lagi? KESULTANAN Palembang Darussalam sudah lama bubar. Tepatnya dibubarkan penjajah kolonial Belanda pada 1825. Dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, Palembang tak tercantum sebagai daerah istimewa sebagaimana Yogyakarta atau Aceh. Namun, selama tiga tahun terakhir, ada orang-orang yang ingin menghidupkan kembali kesultanan tersebut. Pada mulanya Raden Mas Syafei Prabu Diraja, seorang perwira polisi, menyatakan dirinya sebagai Sultan Mahmud Badaruddin III. Dia mengangkat dirinya sendiri sebagai sultan setelah menerima wangsit. Itu terjadi pada tahun 2003 lalu. Banyak yang mempertanyakan keabsahan pengukuhan Syafei Prabu Diraja sebagai Sultan Mahmud Badaruddin III. Ada yang mendukungnya, tapi ada pula yang mencela. Lalu, sejumlah zuriat wong Palembang yang berhimpun dalam Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam pada Oktober 2006 lalu, melakukan rapat atau pertemuan. Mereka mengukuhkan Raden Mahmud Badaruddin sebagai Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin. Akibatnya, Palembang jadi punya dua sultan. Polemik pun terjadi di media lokal maupun di forum diskusi. Siapa sebenarnya ahli nasab Kesultanan Palembang Darussalam yang berhak menerima gelar sultan? Syafei atau Mahmud? Semua orang akhirnya tahu bahwa keduanya bukan ahli nasab. Syafei adalah keturunan dari istri keenam Sultan Mahmud Badaruddin II, sementara Mahmud keturunan sultan sebelumnya, Sultan Mansyur Jayo Ing Lago. Perdebatan malah melebar. Kini orang mempertanyakan siapa sultan terakhir Palembang? Apakah Sultan Mahmud Badaruddin II, Sultan Najamuddin Pangeran Ratu atau Sultan Najamuddin Prabu Anom? Posisi ini sangat penting. Jika Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan sultan terakhir Palembang, maka Syafei merasa berhak jadi sultan. Menurut Syafei dan pendukungnya, Sultan Najamuddin Pangeran Ratu maupun Najamuddin Prabu Anom adalah pengkhianat alias diangkat sultan oleh Belanda. Mahmud Badaruddin ditunjuk sebagai sultan berdasarkan konsensus. Alasannya, Kesultanan Palembang Darussalam secara resmi sudah bubar dan bila dihidupkan kembali hanya sebagai simbol budaya. Satu-satunya legitimasi menghidupkan kesultanan sebagai simbol budaya hanya melalui sebuah kesepakatan politik, bukan wangsit. Polemik ini membuat saya tertarik menelusuri sumber-sumber sejarah yang jadi bahan perdebatan. KETIKA Belanda menguasai Palembang pada 1821, semua catatan atau dokumen sejarah Kesultanan Palembang Darussalam hilang. Tepatnya, setelah Sultan Najamuddin Prabu Anom, yang mencoba melawan Belanda, dibuang ke Manado bersama pengikutnya. Demi kepentingan ilmu pengetahuan, para peneliti Belanda mencoba menelusuri kembali sejarah Kesultanan Palembang Darussalam. Metode yang dilakukan mereka cukup sederhana. Para peneliti Belanda, dari tahun 1825 sampai 1840, melakukan wawancara dengan para priyayi yang masih hidup. Dari penuturan kaum priyayi ini sejarah Kesultanan Palembang Darussalam disusun. Hal tadi diungkapkan M.O. Woelders, penulis buku Het Sultanaat Palembang 1811-1825, saat ditemui Djohan Hanafiah di Belanda pada tahun 1987. Woelders juga mewawancarai para priyayi Palembang untuk keperluan penelitiannya, sedangkan Djohan orang Palembang yang tertarik pada sejarah. Tetapi pantaskah kita mempercayai semua penuturan priyayi tersebut? Sejauh mana kebenaran versi sejarah yang dituturkan mereka? Jangan-jangan mereka selamat karena berkompromi dengan penjajah. Jangan-jangan mereka itu para pengkhianat sultan. Dan bagaimana mungkin cerita mereka bisa dipercaya? Namun, tak semua priyayi mau jadi kaki tangan Belanda. Sebagian pengikut Najamuddin Prabu Anom yang tak mau menyerah memutuskan melarikan diri ke selatan Sumatera. Tentu saja sultan yang punya banyak keturunan adalah yang paling beruntung. Semakin banyak keturunan semakin banyak pula pencerita yang akan jadi sumber sejarah. Setahu saya, Sultan Mahmud Badaruddin II yang punya istri terbanyak. Sembilan orang. Sebagian istri dan anaknya tetap di Palembang ketika dia dibuang ke Ternate. SELAIN kelompok priyayi kesultanan atau lingkungan keraton, di Palembang juga ada kelompok priyayi di masyarakat, yang diberi gelar Kemas, Kiagus, dan Masagus. Kelompok priyayi ini merupakan keturunan Ki Bodrowongso atau Pangeran Bawah Manggis. Sebelum Kesultanan Palembang Darussalam berdiri, tepatnya pada abad ke-16, berdiri kerajaan Palembang. Pendirinya adalah Ki Gede Ing Suro dan beberapa panglima perang dari Jawa, tepatnya dari Demak dan Pajang. Sekitar tahun 1622 sampai 1643, ketika Pangeran Ratu Sultan Jamaluddin Mangkurat IV atau Pangeran Sido Ing Kenayan berkuasa, hiduplah seorang panglima perang yang bernama Ki Bodrowongso atau Ki Bagus Abdurrahman Bodrowongso bin Pangeran Fatahillah atau juga dikenal sebagai Panglima Bawah Manggis. Selain Ki Bodrowongso, seorang panglima perang lain bernama Jaladeri cukup terkenal di masa itu. Buku Sejarah Melayu Palembang yang ditulis R.M. Akib menyebutkan bahwa Jaladeri memiliki seorang istri dan dua anak. Sang istri, Nyi Marta, suatu hari meminta Jaladeri beristri lagi. Menurut Nyi Marta, cukup memalukan jika seorang panglima hanya memiliki satu istri. Akhirnya Jaladeri menikahi seorang gadis cantik sebagai istri kedua. Pesta perkawinan dilangsungkan di Pedaleman atau istana Pangeran Sido Ing Kenayan atau yang dikenal sebagai Kuto Gawang, yang kini lokasinya dijadikan tempat beroperasi pabrik Pupuk Sriwijaya. Usai pesta, istri kedua Jaladeri tidak langsung dibawa pulang. Dia ditahan di istana. Para perempuan di istana masih menaruh kekaguman atas kecantikan dan keelokan sang mempelai wanita. Mereka ingin melihat dan bercengkrama lebih lama dengannya. Tindakan tersebut membuat Nyi Marta menaruh curiga. Dia menduga ada rencana jahat orang-orang istana terhadap istri kedua suaminya itu. Dia juga curiga raja ingin merebut madunya. Nyi Marta menuturkan kecurigaannya pada sang suami. Hati Jaladeri terbakar. Tanpa pikir panjang, dia mengamuk di istana. Sebagian besar penghuni istana meninggal dunia, termasuk Pangeran Sido Ing Kenayan dan istrinya, Ratu Sinuhun, yang tidak memiliki keturunan. Sebelum mengamuk Jaladeri bahkan sempat membunuh kedua anaknya sendiri yang masih kecil. Di antara mereka yang selamat kemudian ada yang melapor kepada Ki Bodrowongso. Tindakan tegas segera diambil. Jaladeri pun tewas di tangan Bodrowongso. Meski demikian, Bodrowongso tak mau jadi raja. Dia menyerahkan kerajaan kepada kerabat Pangeran Sido Ing Kenaya. Dia tak ingin keturunannya terlibat konflik kekuasaan. Ketika tutup usia, Ki Bodrowongso dimakamkan di Sabokingking, Palembang, satu areal dengan makam Pangeran Sido Ing Kenayan dan Ratu Sinuhun. Bodrowongso memiliki seorang istri dan lima anak. Dari kelima anaknya, tiga menurunkan gelar untuk masing-masing keturunannya. Ki Panggung mewariskan gelar Kemas, Ki Mantuk menurunkan Masagus, dan Kiagus Abdul Gani menurunkan Kiagus. Khalifah Gemuk dan Ki Bodrowongso Mudo sama sekali tak mewariskan gelar untuk keturunan mereka. Kedua keturunan Bodrowongso ini bahkan tak muncul dalam buku sejarah Palembang yang ditulis Belanda, mungkin karena mereka tak punya gelar priyayi. Lucunya, gelar-gelar ini membuat sebagian orang merasa derajatnya lebih tinggi dibanding yang lain. Bahkan, orang yang menyandang gelar tertentu menganggap dirinya punya derajat lebih tinggi dibanding yang menggunakan gelar lain. Kemas, misalnya, dianggap berderajat lebih tinggi dibanding Kiagus atau Masagus. Orang-orang Palembang tanpa gelar kebangsawanan atau priyayi disebut “Palembang Buntung”, yang artinya orang biasa, rakyat jelata. Sebagian keturunan Ki Bodrowongso percaya bahwa kakek moyang mereka menyerahkan kekuasaan kepada kerabat Pangeran Sido Ing Kenayan, dengan syarat orang yang nanti jadi raja harus menjunjung adat istiadat yang ditulis Ratu Sinuhun dalam buku Simbur Cahaya. Buku ini berisi perpaduan ajaran Islam dan kearifan bangsa Melayu. Jika ada sultan atau raja Palembang yang melenceng dari kesepakatan ini, mereka akan mangkat dalam kehinaan. Percaya atau tidak, dari 10 sultan yang pernah berkuasa di Palembang, hampir semuanya mangkat dalam kehinaan. Jika tidak mati diracun, ya mati dibunuh atau dibuang ke tanah pengasingan seperti yang dialami tiga sultan Palembang itu. Lantas, untuk apa membangkitkan lagi sebuah kerajaan bila sejarahnya penuh darah, intrik, kesedihan, dan tipu-muslihat? Ketimbang membangkitkan kembali kesultanan dan bernostalgia tentang kebesaran masa lalu, lebih baik kita sama-sama memikirkan jalan keluar persoalan yang dihadapi orang dan negara Indonesia hari ini. Bagaimana mengatasi banjir, hutan terbakar, semburan lumpur, flu burung, demam berdarah, kemiskinan, kebodohan?** *) Dimuat www.pantau.or.id |
Diposkan oleh T. Wijaya di 07:55
3 Comments:
Kesultanan Palembang Darussalam (1550 – 1823)
Posted by infokito™ pada 6 September 2007
Sejarah mengenai Kesultanan Palembang dapat dimulai pada pertengahan abad ke-15 pada masa hidupnya seorang tokoh bernama Ario Dillah atau Ario Damar. Beliau adalah seorang putera dari raja Majapahit yang terakhir, yang mewakili kerajaan Majapahit bergelar Adipati Ario Damar yang berkuasa antara tahun 1455-1486 di Palembang Lamo, yang sekarang ini letaknya di kawasan 1 ilir. Pada saat kedatangan Ario Damar ke Palembang, penduduk dan rakyat Palembang sudah banyak yang memeluk agama Islam dan Adipati Ario Damar pun mungkin kemudian memeluk agama Islam, konon namanya berubah menjadi Ario Abdillah atau Ario Dillah (Dalam bahasa Jawa damar = dillah = lampu).
Ario Dillah mendapat hadiah dari Raja Majapahit terakhir Prabu Kertabumi Brawijaya V salah seorang isterinya keturunan Cina (kadang-kadang disebut juga Puteri Champa) yang telah memeluk Islam dan dibuatkan istana untuk Puteri. Pada saat putri ini diboyong ke Palembang ia sedang mengandung, kemudian lahir anaknya yang bernama Raden Fatah. Menurut cerita tutur yang ada di Palembang, Raden Fatah ini lahir di istana Ario Dillah di kawasan Palembang lama (1 ilir), tempat itu dahulu dinamakan Candi ing Laras, yaitu sekarang terletak di antara PUSRI I dan PUSRI II. Raden Fatah dipelihara dan dididik oleh Ario Dillah menurut agama Islam dan menjadi seorang ulama Islam. Sementara itu hasil perkawinan Ario Dillah dengan putri Cina tersebut, lahir Raden Kusen yaitu adik Raden Fatah lain bapak.
Setelah kerajaan Majapahit bubar karena desakan kerajaan-kerajaan Islam, Sunan Ngampel, sebagai wakil Walisongo, mengangkat Raden Fatah menjadi penguasa seluruh Jawa, menggantikan ayahnya. Pusat kerajaan Jawa dipindahkan ke Demak. Atas bantuan dari daerah-daerah lainnya yang sudah lepas dari Majapahit seperti Jepara, Tuban, Gresik, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam dengan Demak sebagai pusatnya (kira-kira tahun 1481). Raden Fatah memperoleh gelar Senapati Jimbun Ngabdu’r-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata’Gama.
Hubungan Palembang dengan Demak
Raja Kerajaan Demak Raden Fatah wafat tahun 1518 dan digantikan puteranya Pati-Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang wafat tahun 1521, kemudian digantikan saudara Pati-Unus yaitu Pangeran Trenggono yang wafat pada tahun 1546 (makam-makam mereka ada di halaman Mesjid Demak). Setelah Pangeran Trenggono wafat terjadi perebutan kekuasaan antara saudaranya (Pangeran Seda ing Lepen) dan anaknya (Pangeran Prawata). Pangeran Seda ing Lepen akhirnya dibunuh oleh Pangeran Prawata. Kemudian Pangeran Prawata beserta keluarganya dibunuh pada tahun 1549 oleh anak Pangeran Seda ing Lepen yang bernama Arya Penangsang atau Arya Jipang. Demikian juga menantu Raden Trenggono yang bernama Pangeran Kalinyamat dari Jepara juga dibunuh. Arya Penangsang sendiri dibunuh oleh Adiwijaya juga seorang menantu Pangeran Trenggono atau terkenal dengan sebutan Jaka Tingkir yang menjabat Adipati penguasa Pajang. Akhirnya Keraton Demak dipindah oleh Jaka Tingkir ke Pajang dan habislah riwayat Kerajaan Demak. Kerajaan Demak hanya berumur 65 tahun yaitu dari tahun 1481 sampai 1546.
Dalam kemelut yang terjadi atas penyerangan Demak oleh Pajang ini, berpindahlah 24 orang keturunan Pangeran Trenggono (atau Keturunan Raden Fatah) dari kerajaan Demak ke Palembang, dipimpin oleh Ki Gede Sedo ing Lautan yang datang melalui Surabaya ke Palembang dan membuat kekuatan baru dengan mendirikan Kerajaan Palembang, yang kemudian menurunkan raja-raja, atau sultan-sultan Palembang. Keraton pertamanya di Kuto Gawang, pada saat ini situsnya tepat berada di kompleks PT. Pusri, Palembang. Dari bentuk keraton Jawa di tepi sungai Musi, para penguasanya beradaptasi dengan lingkungan melayu di sekitarnya. Terjadilah suatu akulturasi dan asimilasi kebudayaan jawa dan melayu, yang dikenal sebagai kebudayaan Palembang.
Hubungan Palembang dengan Mataram
Pindahnya pusat kerajaan Jawa dari Demak ke Pajang menimbulkan pergolakan baru setelah wafatnya Jaka Tingkir. Pajang yang diperintah Arya Pangiri diserang oleh gabungan dua kekuatan, dari Pangeran Benowo (putra Jaka Tingkir yang tersingkir) dan kekuatan Mataram (dipimpin Panembahan Senapati atau Senapati Mataram, putra Kyai Ageng Pemanahan atau Kyai Gede Mataram). Akhirnya Arya Pangiri menyerah kepada Senapati Mataram dan Kraton Pajang dipindahkan ke Mataram (1587) dan mulailah sejarah Kerajaan Jawa Mataram. Senapati Mataram sendiri merupakan keturunan Raden Fatah dan Raden Trenggono yang masih meneruskan dinastinya di Jawa, sehingga dapat dipahami eratnya pertalian antara Palembang dan Mataram pada masa itu, yang terus berlanjut hingga masa pemerintahan Raja Amangkurat I (silsilah raja yang keempat). Sampai akhir 1677 Palembang masih setia kepada Mataram yang dianggap sebagai pelindungnya, terutama dari serangan kerajaan Banten. Sultan Muhammad (1580 – 1596) dari Kesultanan Banten pada tahun 1596 pernah menyerbu Palembang (diperintah Pangeran Madi Angsoko) dengan membawa 990 armada perahu, yang berakhir dengan kekalahan Banten dan wafatnya Sultan Muhammad. Penyerbuan ini dilakukan atas anjuran Pangeran Mas, putra Arya Pangiri dari Demak.
Tetapi tidak lama kemudian terdapat golongan yang ingin memisahkan diri dari ikatan dengan Jawa khususnya generasi mudanya. Sementara itu kekuasaan raja-raja Mataram juga berangsur berkurang karena makin bertambahnya ikut campur kekuasaan VOC Belanda di Mataram, sehingga dengan demikian kekuasaan dan hubungan dengan daerah-daerah seberang termasuk Palembang juga merenggang.
Hubungan Palembang dengan VOC
Palembang yang semula merupakan bagian dari kekuasaan Mataram mulai mengadakan hubungan dengan VOC, dengan demikian timbul kecurigaan dari penguasa Mataram dan dampaknya adalah makin renggangnya hubungan Palembang dengan Mataram. Kontak pertama Palembang dengan VOC pada tahun 1610. Pada awalnya VOC tidak banyak berhubungan dengan penguasa Palembang, selain saingan dari Inggris dan Portugis serta Cina, juga sikap penguasa Palembang yang tidak memberikan kesempatan banyak kepada VOC. VOC menganggap penguasa Palembang terlalu sombong; dan menurut VOC hanya dengan kekerasan senjatalah kesombongan Palembang dapat dikurangi, sebaliknya Palembang tidak mudah digertak begitu saja.
Semasa pemerintahan Pangeran Sideng Kenayan yang didampingi istrinya Ratu Sinuhun di Palembang dan Gubernur Jendral di Batavia Jacob Specx (1629-1632) telah dibuka Kantor perwakilan Dagang VOC (Factorij) di Palembang. Kontrak ditanda tangani tahun 1642, tetapi pelaksanaanya baru pada tahun 1662. Anthonij Boeij sejak tahun 1655 ditunjuk sebagai wakil pedagang VOC di Palembang dan sementara tetap tinggal di kapal karena belum punya tempat (loji) di darat. VOC sendiri telah sejak tahun 1619 ingin mendirikan loji (kantor) dan gudang di Palembang. Pembangunan loji dari batu mengalami kesulitan karena pada saat yang sama didirikan bangunan-bangunan antara lain kraton di Beringin Janggut, Masjid Agung dan lain lainnya. Mula-mula loji didirikan di atas rakit, kemudian bangunan dari kayu yang letaknya di 10 Ulu sekarang diatas sebuah pulau yang dikelilingi sungai Musi, sungai Aur, sungai Lumpur serta sambungan dari sungai Tembok. Bangunan permanen dari batu baru dibuat pada tahun 1742. Tindak-tanduk mereka ini tidak menyenangkan orang Palembang karena antara lain ia menyita sebuah jung Cina bermuatan lada.
Kemudian VOC menggantikannya dengan Cornelis Ockerz (dijuluki — si Kapitein Panjang) yang tadinya dicadangkan untuk jadi perwakilan di Jambi. Ockerz datang dua kali di bulan Juni 1658 ke Palembang yang terakhir ia menahan beberapa kapal diantaranya milik putra mahkota Mataram. Terjadi bentrokan yang kemudian dapat didamaikan. Pada tanggal 22 Agustus 1658 beberapa bangsawan Palembang (a.l. Putri Ratu Emas, Tumenggung Bagus Kuning Pangkulu, Pangeran Mangkubumi Nembing Kapal, Kiai Demang Kecek) naik ke atas kapal yacht Belanda, yang bernama Jacatra dan de Wachter, dan membunuh Ockerz beserta 42 orang Belanda lainnya serta menawan 28 orang Belanda. Peristiwa ini disebabkan karena kecurangan-kecurangan serta kelicikan orang-orang Belanda termasuk Ockerz. Kemudian untuk membalas tindakan orang Palembang ini Belanda mengirimkan armadanya yang dipimpin Laksamana Johan Van der Laen dan pada tanggal 24 November 1659 membakar habis kota dan istana Sultan di Kota Gawang (1 llir). Pangeran Mangkurat Seda ing Rajek akhirnya menyingkir ke Indralaya (makamnya di Saka Tiga).
Sketsa yang tertua mengenai Kraton Palembang, dibuat pada tahun 1659, sesaat sebelum Kraton dan Kota Palembang Lama ini dibakar habis oleh Kompeni
Suasana Perang Palembang – VOC tahun 1659
Perang Palembang — Kompeni yang pertama dimulai 4 November 1659, akibat perlawanan Palembang atas kekurangajaran hasil wakil VOC di Palembang, dengan armada terbesar di bawah pimpinan Laksamana Joan van der Laen. Palembang akhirnya dapat direbut Belanda pada tanggal 23 November 1659. Keraton Kuto Gawang dan permukiman penduduk, dan tempat orang-orang Cina, Portugis, Arab, dan bangsa-bangsa lain yang ada di seberang Kuta tersebut dibakar habis selama 3 hari dan 3 malam. Sultan Abdurrahman memindahkan keratonnya ke Beringin Janggut (sekarang sebagai pusat perdangangan). [triyono-infokito]
Wallahua’lam
SULTAN SULTAN PALEMBANG DARUSSALAM
21. Jul, 2010 Posted under Uncategorized
SULTAN SULTAN PALEMBANG DARUSSALAM
1. SUSUHUNAN ABDURRAHMAN KHALIFATUL MUKMININ SAYIDUL IMAM,
KIAI MAS ENDI, PANGERAN ARIO KESUMO ABDURROHIM (1666)
BIN PANGERAN RATU MANGKURAT
(Pendiri kesultanan palembang darussalam 3 maret 1666 / pelopor otonomi daerah)
2. SULTAN MUHAMMAD MANSYUR JAYO ING LAGO (1706)
BIN SUSUHUNAN ABDURRAHMAN KHALIFATUL MUKMININ SAYIDUL IMAM
(Diangkat secara adat)
3. SULTAN ANOM ALIMUDDIN (1714)
BIN SULTAN MUHAMMAD MANSYUR JAYO ING LAGO
(Diangkat secara adat, tidak memerintah, berpindah dari dusun ke dusun karena diganggu)
4. SULTAN AGUNG KOMARUDDIN SRI TERUNO (1714)
BIN SUSUHUNAN ABDURRAHMAN
(Sultan pengganti sementara, karena SMB I sedang keluar negeri palembang darussalam)
5. SULTAN MAHMUD BADARUDDIN JAYO WIKRAMO / SMB I (1724)
BIN SULTAN MUHAMMAD MANSYUR JAYO ING LAGO
(Diangkat secara adat)
6. SUSUHUNAN AHMAD NAJAMUDDIN ADI KESUMO (1758)
BIN SULTAN MAHMUD BADARUDDIN JAYO WIKRAMO
( Diangkat secara adat )
7. SULTAN MUHAMMAD BAHAUDDIN (1776)
BIN SUSUHUNAN AHMAD NAJAMUDDIN ADI KESUMO
(Diangkat secara adat)
8. SUSUHUNAN RATU MAHMUD BADARUDDIN (SMB II – 1803)
BIN SULTAN MUHAMMAD BAHAUDDIN
(Diangkat secara adat, diasingkan oleh belanda tahun 1821 ke ternate, wafat diternate)
9. SUSUHUNAN HUSIN DIAUDDIN
BIN SULTAN MUHAMMAD BAHAUDDIN (1816)
(Diangkat Inggeris/ Belanda, karena SMB II melawan penjajah Inggeris/ Belanda)
10. SULTAN AHMAD NAJAMUDDIN PANGERAN RATU (1819)
BIN SUSUHUNAN RATU MAHMUD BADARUDDIN
(Diangkat secara adat, tidak memerintah, karena SMB II belum wafat dan ikut bersama smb ii diasingkan ke ternate dan wafat diternate)
11. SULTAN AHMAD NAJAMUDDIN PRABU ANOM (1821)
BIN SUSUHUNAN HUSIN DIAUDDIN
(Diangkat oleh belanda menjadi sultan palembang di betawi sebelum menyerang kesultanan palembang darussalam atau menyerang Sultan Mahmud Badaruddin II)
SELAMA LEBIH KURANG 200 ( DUA RATUS ) TAHUN SEJAK SMB II MENJADI SULTAN PALEMBANG DARUSSALAM ( 1803 – 1821 ) DINEGERI PALEMBANG DARUSSALAM DIKUASAI OLEH BELANDA DAN ZURIAT DARAH PUTIH / KAKI TANGAN BELANDA DAN PADA TANGGAL 3 MARET 2003 DIBANGKITKAN KEMBALI KESULTANAN OPALEMBANG DARUSSALAM OLEH MAJELIS MUSYAWARAH ADAT KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM DENGAN DIKUKUHKAN SULTAN PALEMBANG DARUSSALAM
12. SULTAN MAHMUD BADARUDDIN III PRABU DIRADJA
( SMB III – 3MARET 2003 )
RADEN MUHAMMAD SJAFEI PRABU DIRADJA
ZURIAT KELIMA SUSUHUNAN RATU MAHMUD BADARUDDIN ( SMB II )
BIN RADEN HAJI ABDUL HAMID ( PRABU DIRATDJAH IV )
Kesultanan Palembang
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini. |
Artikel ini membutuhkan lebih banyak catatan kaki untuk pemastian. Silakan bantu memperbaiki artikel ini dengan menambahkan catatan kaki. |
|
Kesultanan Palembang Darussalam adalah suatu kerajaan Islam di Indonesia yang berlokasi di sekitar kota Palembang, Sumatera Selatan sekarang. Kerajaan ini diproklamirkan oleh Sri Susuhunan Abdurrahman dari Jawa[1] dan dihapuskan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 7 Oktober 1823.
Malthe Conrad Bruun (1755-1826) seorang petualang dan ahli geografi dari Perancis mendeskripsikan keadaan masyarakat dan kota kerajaan waktu itu, yang telah dihuni oleh masyarakat yang heterogen terdiri dari Cina, Siam, Melayu dan Jawa serta juga disebutkan bangunan yang telah dibuat dengan batu bata hanya sebuah vihara dan istana kerajaan.
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Pendirian
Berdasarkan kisah Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan[2] disebutkan seorang tokoh dari Kediri yang bernama Arya Damar sebagai bupati Palembang turut serta menaklukan Bali bersama dengan Gajah Mada Mahapatih Majapahit pada tahun 1343. Sejarawan Prof. C.C. Berg menganggapnya identik dengan Adityawarman.[3] Begitu juga dalam Nagarakretagama, nama Palembang telah disebutkan sebagai daerah jajahan Majapahit serta Gajah Mada dalam sumpahnya yang terdapat dalam Pararaton juga telah menyebut Palembang sebagai sebuah kawasan yang akan ditaklukannya.
Selanjutnya berdasarkan kronik Tiongkok nama Pa-lin-fong yang terdapat pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178 oleh Chou-Ju-Kua dirujuk kepada Palembang, dan kemudian sekitar tahun 1513, Tomé Pires seorang petualang dari Portugis menyebutkan Palembang, telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa yang kemudian dirujuk kepada kesultanan Demak serta turut serta menyerang Malaka yang waktu itu telah dikuasai oleh Portugis. Kemudin pada tahun 1596, Palembang juga ditaklukan oleh kesultanan Banten. Seterusnya nama tokoh yang dirujuk memimpin kesultanan Palembang dari awal adalah Sri Susuhunan Abdurrahman tahun 1659. Walau sejak tahun 1601 telah ada hubungan dengan VOC dari yang mengaku Sultan Palembang.[4]
[sunting] Kuto Gawang
Pada awal abad ke-17, Palembang menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang bernuansa Islam dengan pendirinya Ki Gede ing Suro, bangsawan pelarian dari Kesultanan Demak akibat kemelut politik setelah mangkatnya Sultan Trenggana. Pada masa ini pusat pemerintahan di daerah sekitar Kelurahan 2-Ilir, di tempat yang sekarang merupakan kompleks PT Pupuk Sriwijaya. Secara alamiah lokasi keraton cukup strategis, dan secara teknis diperkuat oleh dinding tebal dari kayu unglen dan cerucup yang membentang antara Plaju dengan Pulau Kembaro, sebuah pulau kecil yang letaknya di tengah Sungai Musi. Keraton Palembang yang dibangunnya itu disebut Keraton Kuto Gawang yang bentuknya empat persegi panjang dibentengi dengan kayu besi dan kayu unglen yang tebalnya 30 x 30 cm/batangnya. Kota berbenteng yang di kemudian hari dikenal dengan nama Kuto Gawang ini mempunyai ukuran 290 Rijnlandsche roede (1093 meter) baik panjang maupun lebarnya. Tinggi dinding yang mengitarinya 24 kaki (7,25 meter). Orang-orang Tionghoa dan Portugis berdiam berseberangan yang terletak di tepi sungai Musi. Kota berbenteng ini sebagaimana dilukiskan pada tahun 1659 (Sketsa Joan van der Laen), menghadap ke arah Sungai Musi (ke selatan) dengan pintu masuknya melalui Sungai Rengas. Di sebelah timurnya berbatasan dengan Sungai Taligawe, dan di sebelah baratnya ber¬batasan dengan Sungai Buah. Dalam gambar sketsa tahun 1659 tampak Sungai Taligawe, Sungai Rengas, dan Sungai Buah tampak terus ke arah utara dan satu sama lain tidak bersambung. Sebagai batas kota sisi utara adalah pagar dari kayu besi dan kayu unglen. Di tengah benteng keraton tampak berdiri megah bangunan keraton yang letaknya di sebelah barat Sungai Rengas. Benteng keraton mempunyai tiga buah baluarti (bastion) yang dibuat dari konstruksi batu. Orang-orang asing ditempatkan/ber¬mukim di sebe¬rang sungai sisi selatan Musi, di sebelah barat muara sungai Komering (sekarang daerah Seberang Ulu, Plaju).
[sunting] Beringin Janggut
Setelah Keraton Kuto Gawang dihancurkan VOC tahun 1659, oleh Susuhunan Abdurrahman pusat pemerintahan dipindahkan ke Beringin Janggut yang letaknya di sekitar kawasan Mesjid Lama (Jl. Segaran). Sayang data tertulis maupun gambar sketsa mengenai keberadaan, bentuk, dan ukuran keraton ini hingga saat ini tidak ada. Daerah sekitar Keraton Beringin Janggut diba¬tasi oleh sungai-sungai yang saling berhubungan. Kawasan keraton di¬batasi oleh Sungai Musi di selatan, Sungai Tengkuruk di sebelah barat, Sungai Penedan di sebelah utara, dan Sungai Rendang/Sungai Karang Waru di sebelah timur. Sungai Penedan merupakan sebuah kanal yang menghubungkan Sungai Kemenduran, Sungai Kapuran, dan Sungai Kebon Duku. Karena sungai-sungai ini saling berhubungan, penduduk yang mengadakan perjalanan dari Sungai Rendang ke Sungai Tengkuruk, tidak lagi harus keluar melalui Sungai Musi. Dari petunjuk ini dapat diperoleh gambaran bahwa aktivitas sehari-hari pada masa itu telah berlang¬sung di darat agak jauh dari Sungai Musi.
[sunting] Kuto Tengkuruk
Kawasan inti Keraton Kesultanan Palembang-Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I luasnya sekitar 50 hektar dengan batas-batas di sebelah utara Sungai Kapuran, di sebelah timur berbatasan dengan Sungai Tengkuruk (sekarang menjadi Jl. Jenderal Soedirman), di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, dan di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Sekanak. Pada awalnya di areal tanah yang luasnya sekitar 50 hektar ini hanya terdapat bangunan Kuto Batu atau Kuto Tengkuruk dan Masjid Agung dengan sebuah menara yang atapnya berbentuk kubah. Pada saat ini batas kota Palembang kira-kira di sebelah timur berbatasan dengan Kompleks PT. Pusri, di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Lambidaro (36 Ilir), dan di sebelah utara hingga sekitar Pasar Cinde.
[sunting] Kuto Besak
Pada masa pemerintahan Sultan Muhamad Bahaudin (1776-1803), dibangun Keraton Kuto Besak. Letaknya di sebelah barat Keraton Kuto Tengkuruk. Kuto ini mempunyai ukuran panjang 288,75 meter, lebar 183,75 meter, tinggi 9,99 meter, dan tebal dinding 1,99 meter membujur arah barat-timur (hulu-hilir Musi). Di setiap sudutnya terdapat bastion. Bastion yang terletak di sudut baratlaut bentuknya berbeda dengan tiga bastion lain, sama seperti pada bastion yang sering ditemukan pada benteng-benteng lain di Indonesia. Justru ketiga bastion yang sama itu merupakan ciri khas bastion Benteng Kuto Besak. Di sisi timur, selatan, dan barat terdapat pintu masuk benteng. Pintu gerbang utama yang disebut lawang kuto terletak di sisi sebelah selatan menghadap ke Sungai Musi. Pintu masuk lainnya yang disebut lawang buratan jumlahnya ada dua, tetapi yang masih tersisa hanya sebuah di sisi barat. Perang Palembang 1821 dan dibubarkannya institusi Kesultanan pada 7 Oktober 1823, bangunan Kuto Tengkuruk diratakan dengan tanah. Di atas runtuhan Kuto Tengkuruk, atas perintah van Sevenhoven kemudian dibangun rumah Regeering Commissaris yang sekarang menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
[sunting] Ekonomi
Kesultanan Palembang berada kawasan yang strategis dalam melakukan hubungan dagang terutama hasil rempah-rempah dengan pihak luar. Kesultanan Palembang juga berkuasa atas wilayah kepulauan Bangka Belitung yang memiliki tambang timah dan telah diperdagangankan sejak abad ke-18.[5]
[sunting] Peperangan
Pada tahun 1811, Sultan Mahmud Badaruddin II menyerang pos tentara Belanda yang berada di Palembang, namun ia menolak bekerja sama dengan Inggris, sehingga Thomas Stamford Bingley Raffles mengirimkan pasukan menyerang Palembang dan Sultan Mahmud Badaruddin II terpaksa melarikan diri dari istana kerajaan, kemudian Raffles mengangkat Sultan Ahmad Najamuddin II adik Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai raja. Pada tahun 1813 Sultan Mahmud Badaruddin II kembali mengambil alih kerajaan namun satu bulan berikutnya diturunkan kembali oleh Raffles dan mengangkat kembali Sultan Ahmad Najamuddin II, sehingga menyebabkan perpecahan keluarga dalam kesultanan Palembang.[6]
Pada tahun 1818 Belanda menuntut balas atas kekalahan mereka sebelumnya dan menyerang Palembang serta berhasil menangkap Sultan Ahmad Najamuddin II dan mengasingkannya ke Batavia. Namun Kesultanan Palembang kembali bangkit melakukan perlawanan yang kemudian kembali dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin II. Pada tahun 1821 dengan kekuatan pasukan lebih dari 4000 tentara, Belanda kembali menyerang Palembang dan berhasil menangkap Sultan Mahmud Badaruddin II yang kemudian diasingkan ke Ternate.[6] Kemudian pada tahun 1821 tampil Sultan Ahmad Najamuddin III anak Sultan Ahmad Najamuddin II sebagai raja berikutnya, namun pada tahun 1823 Belanda menjadikan kesultanan Palembang berada dibawah pengawasannya, sehingga kembali menimbulkan ketidakpuasan di kalangan istana. Puncaknya pada tahun 1824 kembali pecah perang, namun dapat dengan mudah dipatahkan oleh Belanda, di tahun 1825 Sultan Ahmad Najamuddin III menyerah kemudian diasingkan ke Banda Neira.[6]
[sunting] Daftar Sultan Palembang
- Sri Susuhunan Abdurrahman (1659-1706)
- Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1757)
- Sultan Ahmad Najamuddin I (1757-1776)
- Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803)
- Sultan Mahmud Badaruddin II (1804-1812, 1813, 1818-1821)
- Sultan Ahmad Najamuddin II (1812-1813, 1813-1818)
- Sultan Ahmad Najamuddin III (1821-1823)
[sunting] Rujukan
- ^ Bruun, M.C. (1822). Universal geography, or A description of all the parts of the world. hlm. 441.
- ^ Darta, A.A. Gde, A.A. Gde Geriya, A.A. Gde Alit Geria, (1996), Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, Denpasar: Upada Sastra.
- ^ Berg, C.C., (1985), Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara.
- ^ Poesponegoro, M.D.. Sejarah nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. hlm. 46.
- ^ Ricklefs, M.C.. A history of modern Indonesia since c. 1300. hlm. 139.
- ^ a b c Ricklefs, M.C.. A history of modern Indonesia since c. 1300. hlm. 140.
[sunting] Bacaan Lanjut
- Bruun, M.C. (1822). Universal geography, or A description of all the parts of the world. Edinburgh: Balfour & Clarke.
- Andaya, B.W. (1993). To live as brothers: southeast Sumatra in the seventeenth and eighteenth centuries. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-1489-4.
- Ricklefs, M.C. (1993). A history of modern Indonesia since c. 1300. California: Stanford University Press. ISBN 0-8047-2194-7.
- Poesponegoro, M.D. (1992). Sejarah nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. jakarta: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-409-8.
[sunting] Tautan luar
- (Indonesia) Bahasa Jawa, Arab, dan Melayu di Palembang
- (Indonesia) Palembang Sebuah Negeri yang Hilang (Refleksi Hari Jadi Palembang ke-1319)
- (Indonesia) Benteng Kuta Besak
|
Langganan:
Postingan (Atom)
iapapun mereka R. Syafe'i (SMB III) maupun R. Mahmud Badarudin ( Iskandar MB) keduanya terbukti masih zurtiat kesultanan Palembang. Fakta sejarah membuktikan budak/anak angkat/panglima kesayangan raja bisa saja menggantikan kedudukan raja sepanjang setelah ia naik tahta mampu mempertahankan tahtahnya itu. Ken Arok yang hanya prajurit biasa mampu menggantikan Tunggul Ametung bahkan kemudian mampu mendirikan kerajaan Singasari, setelah mengalahkan kerajaan Kediri serta masih banyak lagi contoh-contoh lainnya, oleh karena itu keduanya memang berhak menjadi Sultan kesultanan Palembang DS. Mengenai dualisme kepemimpinan juga bukan hal yang aneh, Kerajaan Kahuripan dulu juga pecah menjadi dua Daha & Jenggala, Surakarta pecah menjadi dua Kesunanan & Mangkunegaran, Yogyakarta menjadi Kesultanan & Pakualamam Kraton Cirebon pecah menjadi Kasepuhan & Kanoman. Kerajaan Solo. Yogya & Cirebon meskipun pecah menjadi dua, ternyata keduanya tetap eksis hingga sekarang dan keduanya mampu menjadi teladan(budaya) bagi masyarakat sekitar yang mengapresiasinya. Oleh karena itu, adanya dua sultan di Palembang ini tidak perlu meresahkan, justru keduanya dapat bekerja sama dan mengadakan pembagian tugas dalam melestarikan Nilai-nilai budaya serta kearifan lokal, apalagi memang itu tujuan kesultanan sekarang ini ( bukan lagi mengenai wilaya teritorial/kekuasaan politis ). Akhirnya aku ucapkan selamat pada kedua sultanku, semoga kalian memperoleh perlindungan serta bimbingan Allah,SWT, dalam mengemban tugas masing-masing.
Siapapun mereka R. Syafe'i (SMB III) maupun R. Mahmud Badarudin ( Iskandar MB) keduanya terbukti masih zurtiat kesultanan Palembang. Fakta sejarah membuktikan budak/anak angkat/panglima kesayangan raja bisa saja menggantikan kedudukan raja sepanjang setelah ia naik tahta mampu mempertahankan tahtahnya itu. Ken Arok yang hanya prajurit biasa mampu menggantikan Tunggul Ametung bahkan kemudian mampu mendirikan kerajaan Singasari, setelah mengalahkan kerajaan Kediri serta masih banyak lagi contoh-contoh lainnya, oleh karena itu keduanya memang berhak menjadi Sultan kesultanan Palembang DS. Mengenai dualisme kepemimpinan juga bukan hal yang aneh, Kerajaan Kahuripan dulu juga pecah menjadi dua Daha & Jenggala, Surakarta pecah menjadi dua Kesunanan & Mangkunegaran, Yogyakarta menjadi Kesultanan & Pakualamam Kraton Cirebon pecah menjadi Kasepuhan & Kanoman. Kerajaan Solo. Yogya & Cirebon meskipun pecah menjadi dua, ternyata keduanya tetap eksis hingga sekarang dan keduanya mampu menjadi teladan(budaya) bagi masyarakat sekitar yang mengapresiasinya. Oleh karena itu, adanya dua sultan di Palembang ini tidak perlu meresahkan, justru keduanya dapat bekerja sama dan mengadakan pembagian tugas dalam melestarikan Nilai-nilai budaya serta kearifan lokal, apalagi memang itu tujuan kesultanan sekarang ini ( bukan lagi mengenai wilaya teritorial/kekuasaan politis ). Akhirnya aku ucapkan selamat pada kedua sultanku, semoga kalian memperoleh perlindungan serta bimbingan Allah,SWT, dalam mengemban tugas masing-masing.
Salam. Saya mau tanya referensi Anda mengenai sejarah keturunan Ki Bodrowongso yang kemudian menurunkan gelar Kemas, Masagus, dan Kiagus. Dari mana asal cerita ini? Sebab dari beberapa silsilah yang saya baca tidak ada nama-nama seperti Ki Pengging, Ki Mantuk, dsb. Mohon konfirmasi.
Terimakasih