Sultan Mahmud Badaruddin II
(Kesultanan Palembang Darussalam)
Sultan Mahmud Badaruddin adalah nama gelar dari Kesultanan Palembang Darussalam yang ke VII. Sedangkan nama aslinya adalah Raden Hasan. Lahir di Palembang 1 Rajab 1181H (1767M).
Tanggal 14 September 1811-empat hari sebelum terjadi penyerahan di Tuntang, ia telah mengakhiri pengaruh kekuasaan Belanda di Palembang. Dalam peristiwa ini, ia telah membuktikan bahwa dirinya sebagai seorang pemimpin yang mempunyai pandangan jauh ke depan dan dapat mempergunakan kesempatan yang tepat untuk membebaskan kesultanan dan rakyat Palembang dari pengaruh kekuasaan asing.
Berdasarkan perjanjian Tuntang 18 September 1811 Belanda menyerahkan Palembang pada Inggris karena Palembang oleh Belanda dihitung sebagai daerah takluk P.Jawa. Ketika utusan Inggris datang, dengan tegas ditolak. Rafles memaksakan kehendaknya dengan mengirim expedisi militer pada tanggal 26 Maret 1812. Meski dengan segala kekuatan melakukan perlawanan, akhirnya Sultan menyingkir ke daerah pedalaman untuk mengatur perang gerilya bersama rakyat. Akhirnya perlawanannya ini mampu memaksa Inggris untuk mengakui kedaulatan sebagai Raja.
Berdasarkan perjanjian Inggris-Belanda 13 Agustus 1814, dibenarkan mengambil kembali daerah-daerah yang pernah didudukinya dari Inggris. Perlawanan Belanda yang ketiga yang baru berhasil dengan mengerahkan angkatan perangnya yang dipimpin Jenderal Baron de Kock.
Dengan tipu dayanya, Jenderal de Kock menembus garis pertahanan Sultan Mahmud Badaruddin II. Tanggal 24 Juni 1821, dini hari, Angkatan Perang Belanda bergerak lagi dengan dahsyatnya hingga menduduki benteng pertahanan Sultan Mahmud. Sebenarnya Sultan tidak kalah perang namun diperdaya oleh Jenderal de Kock. Ia tak pernah menyerah dan tidak pernah membuat suatu perjanjian.
Tanggal 24 Juni 1821 Keraton Kuto Besak diduduki oleh angkatan perang Jenderl de Kock, ia dan Pangeran Ratu serta keluarga yang lainnya diberangkatkan ke Betawi 3 Juli 1821, kemudian diasingkan ke Ternate. Kurang lebih 32 tahun hidup dalam pengasingan, ia senantiasa menunjukkan sifat keagungannya yang antara lain dinyatakan oleh Gubernur Jenderal Barron van der Capelen dalam buku hariannya, "Sama sekali tidak biadab, dalam peperangan ia tahu mempertahankan kedudukannya, orang ini betul-betul memperlihatkan sifat-sifat sebagai Raja".
Meski dipisahkan dari rakyatnya, namun semangat perjuangan yang diwariskan pada rakyatnya tidak dapat dikekang. Ini dirasakan Belanda di Palembang dengan adanya pemberontakan Prabu Anom tahun 1824, perlawanan dilakukan secara terus menerus dan secara diam-diam oleh Pangeran Kramo Jaya sampai tahun 1851, perlawanan rakyat di Komering Ulu tahun 1854, perlawanan rakyat di dusun Jati tahun 1856, disusul perlawanan rakyat Pasemah, Empat Lawang dan Empat Petulai.
Tahun 1881 Belanda mengeluarkan berpuluh-puluh kaum kerabat Sultan dari Palembang karena memberontak terhadap kekuasaan Belanda, untuk kemudian diasingkan secara terpencar-pencar di Kep.Maluku. Sultan sendiri meninggal di Ternate 26 November 1852.
Sultan Mahmud Badaruddin II adalah seorang pejuang yang bertahun-tahun berjuang untuk kemerdekaan rakyatnya dan pemimpin yang telah berhasil menanamkan semangat perjuangan untuk MERDEKA kepada rakyatnya. Berkat perjuangannya ini, pemerintah RI memberinya gelas pahlawan Nasional.
Memang, ikatan kekerabatan kerab menumbuhkan ikatan emosional terhadap sesuatu, apalagi ketika itu Sultan dipisahkan dengan rakyat dan kerabatnya secara geografis! Kita pun kini tak asing lagi bukan melihat sosok pemimpin dengan kerabatisasi atau lebih sarkas lagi kroni-kroninya!!!
(Kesultanan Palembang Darussalam)
Sultan Mahmud Badaruddin adalah nama gelar dari Kesultanan Palembang Darussalam yang ke VII. Sedangkan nama aslinya adalah Raden Hasan. Lahir di Palembang 1 Rajab 1181H (1767M).
Tanggal 14 September 1811-empat hari sebelum terjadi penyerahan di Tuntang, ia telah mengakhiri pengaruh kekuasaan Belanda di Palembang. Dalam peristiwa ini, ia telah membuktikan bahwa dirinya sebagai seorang pemimpin yang mempunyai pandangan jauh ke depan dan dapat mempergunakan kesempatan yang tepat untuk membebaskan kesultanan dan rakyat Palembang dari pengaruh kekuasaan asing.
Berdasarkan perjanjian Tuntang 18 September 1811 Belanda menyerahkan Palembang pada Inggris karena Palembang oleh Belanda dihitung sebagai daerah takluk P.Jawa. Ketika utusan Inggris datang, dengan tegas ditolak. Rafles memaksakan kehendaknya dengan mengirim expedisi militer pada tanggal 26 Maret 1812. Meski dengan segala kekuatan melakukan perlawanan, akhirnya Sultan menyingkir ke daerah pedalaman untuk mengatur perang gerilya bersama rakyat. Akhirnya perlawanannya ini mampu memaksa Inggris untuk mengakui kedaulatan sebagai Raja.
Berdasarkan perjanjian Inggris-Belanda 13 Agustus 1814, dibenarkan mengambil kembali daerah-daerah yang pernah didudukinya dari Inggris. Perlawanan Belanda yang ketiga yang baru berhasil dengan mengerahkan angkatan perangnya yang dipimpin Jenderal Baron de Kock.
Dengan tipu dayanya, Jenderal de Kock menembus garis pertahanan Sultan Mahmud Badaruddin II. Tanggal 24 Juni 1821, dini hari, Angkatan Perang Belanda bergerak lagi dengan dahsyatnya hingga menduduki benteng pertahanan Sultan Mahmud. Sebenarnya Sultan tidak kalah perang namun diperdaya oleh Jenderal de Kock. Ia tak pernah menyerah dan tidak pernah membuat suatu perjanjian.
Tanggal 24 Juni 1821 Keraton Kuto Besak diduduki oleh angkatan perang Jenderl de Kock, ia dan Pangeran Ratu serta keluarga yang lainnya diberangkatkan ke Betawi 3 Juli 1821, kemudian diasingkan ke Ternate. Kurang lebih 32 tahun hidup dalam pengasingan, ia senantiasa menunjukkan sifat keagungannya yang antara lain dinyatakan oleh Gubernur Jenderal Barron van der Capelen dalam buku hariannya, "Sama sekali tidak biadab, dalam peperangan ia tahu mempertahankan kedudukannya, orang ini betul-betul memperlihatkan sifat-sifat sebagai Raja".
Meski dipisahkan dari rakyatnya, namun semangat perjuangan yang diwariskan pada rakyatnya tidak dapat dikekang. Ini dirasakan Belanda di Palembang dengan adanya pemberontakan Prabu Anom tahun 1824, perlawanan dilakukan secara terus menerus dan secara diam-diam oleh Pangeran Kramo Jaya sampai tahun 1851, perlawanan rakyat di Komering Ulu tahun 1854, perlawanan rakyat di dusun Jati tahun 1856, disusul perlawanan rakyat Pasemah, Empat Lawang dan Empat Petulai.
Tahun 1881 Belanda mengeluarkan berpuluh-puluh kaum kerabat Sultan dari Palembang karena memberontak terhadap kekuasaan Belanda, untuk kemudian diasingkan secara terpencar-pencar di Kep.Maluku. Sultan sendiri meninggal di Ternate 26 November 1852.
Sultan Mahmud Badaruddin II adalah seorang pejuang yang bertahun-tahun berjuang untuk kemerdekaan rakyatnya dan pemimpin yang telah berhasil menanamkan semangat perjuangan untuk MERDEKA kepada rakyatnya. Berkat perjuangannya ini, pemerintah RI memberinya gelas pahlawan Nasional.
Memang, ikatan kekerabatan kerab menumbuhkan ikatan emosional terhadap sesuatu, apalagi ketika itu Sultan dipisahkan dengan rakyat dan kerabatnya secara geografis! Kita pun kini tak asing lagi bukan melihat sosok pemimpin dengan kerabatisasi atau lebih sarkas lagi kroni-kroninya!!!