Tulisan ini sedikit jawaban dari pertanyaan mangcek Karim (klik sini)
yang gundah tentang sejarah negerinya.... Untuk itu saya ingin
berkongsi dengan anda semua, dan ada baiknya untuk lebih memperkaya
khazanah sejarah Palembang Darussalam baca juga buku ini (klik sini).
Pernahkah kita bertanya-tanya, apa saja yang terjadi diantara ‘missing link’ 8 abad (800 tahun) antara Empayar Melayu Kuno Sri Wijaya (Shri Vijaya) dengan Kesultanan Palembang Darussalam?
Sri
Wijaya adalah kerajaan yang mengalami puncaknya di Abad 7 Masehi saat
rantau ini masih dominan beragama Budha/Hindu. Manakala Kesultanan
Palembang Darussalam wujud di Abad 15 saat Islam mulai menyebar di
Nusantara. Kedua-duanya berada di Kota Palembang, Provinsi Sumatra
Selatan (Sumsel).
800
tahun bukan kurun yang sebentar, malah boleh dibilang terlalu lama
untuk bisa mengais kemungkinan adanya susur galur keduanya.
Jadi? Ya...Sri Wijaya adalah Sri Wijaya. Palembang
Darussalam mempunyai kisah dan sejarah tersendiri. Dan ia sangat unik.
Karena hanya disinilah 2 suku bangsa sekaligus magnet besar budaya
Nusantara berpadu dan bercampur. Yaitu Melayu dan Jawa.
Bagaimana sih ceritanya?
Banyak
ahli sejarah yang angkat tangan jikalau ditanya apa saja yang terjadi
di masa kegelapan di bekas empayar maritim pertama Nusantara itu. Yang jelas, di awal abad
ke-15, datanglah sekelompok panglima dan pangeran dari Kesultanan
Demak, yang kalah berperang dengan Mataram Islam (mengenai mengapa 2
kesultanan Islam ini saling berperang, ceritanya agak panjang, lain masa
daku kisahkan) ke Palembang. Mereka dipimpin oleh ‘Ki Gede Ing Suro’
(Ki=panggilan singkat dari Kiai; Gede=Besar; Ing=Di; Suro=Muharram atau
Ikan Hiu) dan sejumlah panglima seperti Bodrowongso.
Di pinggiran Palembang,
saat itu terdapat puluhan kerajaan kecil puak Melayu (ingat.. Melayu di
Sumatra Selatan juga berpuak-puak/sub etnis yang ragamnya sangat banyak
dengan bahasa tempatan yang juga beragam tetapi mungkin masih satu
rumpun,misal Ogan, Komering, Lahat, Sekayu, Enim ataupun Melayu dan
masih banyak lagi). Kumpulan puak-puak ini membentuk Batin dan biasanya
pemimpinnya disebut ‘Pati’. Rombongan
"Wong Jowo” (wong=orang) ini lantas mengadakan pertemuan dengan para
pemimpin dari penjuru "Batang Hari Sembilan" (nama gelaran wilayah
Sumatra Selatan yang dialiri 9 sungai). Tidak ada catatan berdarah dalam
proses konsensus "Jawa dan Melayu" ini. Kemudian lahirlah kerajaan
Palembang (belum dengan tambahan Darussalam lho...) dengan pemimpinnya
Ki Gede Ing Suro sebagai konsensus politik pertama.
Bahasa
Jawa saat itu tentu saja masih dikekalkan, tetapi hanya dilingkungan
kraton. Dengan berjalannya waktu, maka bahasa Melayu dan Jawa ini
membentuk ‘Bahaso Plembang’ yang sebagaimana di Jawa dibedakan atas
Halus (Krama/Kromo) dan Umum (Ngoko) maka jenis Bahaso Palembang pun
dikenal jenis Baso Alus/Kramo (Halus/Krama) dan Baso Sari-sari
(Sehari-hari/umum/Ngoko). Termasuk sejumlah suku kata dan susunan bahasa
yang menggabungkan 2 budaya.
Keturunan
Jawa dan Palembang dari fihak Kraton/ningrat bergelar ‘Ki Emas’ atau
‘Kiemas/Kemas’ dan ‘Ki Agus’ (agus=bagus). Tetapi keturunan dari garis
perempuan yang dinikahi para bangsawan kerajaan Palembang – memakai
gelar baru yaitu ‘Raden’- mereka ini mendeklarasikan Kesultanan
Palembang Darussalam. Inilah konsensus politik kedua di Palembang.
Sayang,
tidak semuanya sepakat dengan deklarasi tersebut. Mereka yang tidak
sepakat, tetap menggunakan gelar lama yakni Kimas atau Kiagus. Sikap ini
diambil oleh turunan Bodrowongso atau Panglima Bawah Manggis. Yang tidak sepakat ini lari ke pedalaman. Mereka beranak-pinak di sejumlah daerah di Pagaralam, Curup, Rawas, Sekayu, Pedamaran, atau Kayuagung.
Lihatlah senarai nama sultan2nya…hmm…bergaya Melayu campur Jawa :
- Pangeran Ario Kusumo Abdurrochim/Ki Mas Endi bergelar Sultan Abdurrachman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman, sultan I
- Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago, sultan II
- Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Sultan Mahmud Badaruddin I), sultan III
- Sultan Ahmad Najamuddin Adikusumo, sultan IV
- Sultan Muhammad Bahauddin, sultan V
- Sultan Mahmud Badaruddin II (Raden Hasan Bahauddin), sultan VI
Barulah
pada masa Sultan Mahmud Badaruddin II terjadi rekonsiliasi antara para
Raden dengan Kimas/Kiagus. Ini diwujudkan dalam pembangunan Benteng Kuto
Besak, dan Masjid Agung. Bahan
baku seperti telur, dikirim dari keluarga lama yang berada di
pedalaman. Bahkan, masjid Agung pun dikelola oleh para ulama dari gelar
apa pun, termasuk para ulama dari Arab, dan Tiongkok.
Sesudah
Sultan Mahmud Badaruddin II diasingkan Belanda ke Ternate/Maluku maka
Kesultanan Palembang Darussalam diperintah oleh Sultan Najamuddin
Pangeran Ratu (1819), dua tahun kemudian ia diganti Sultan Najamuddin
Prabu Anom (Prabu=Sultan; Anom=Muda). Dan lagi-lagi dua tahun kemudian,
pada 1823 Masehi, giliran Kramo Jayo (Jawa=Kromo Joyo) menjadi Sultan
Palembang. Tampaknya politik pecah belah Belanda sangat mujarab mencerai
berai zuriat Kesultanan ini untuk saling berperang satu sama lain,
berebut kuasa.
Demikianlah, akibat terus berpecah-belahnya kalangan bangsawan Palembang, Belanda kemudian tidak sanggup lagi mengelolanya sehingga Kesultanan Palembang Darussalam secara paksa ditiadakan pada 1823.