
Iskandar Mahmud Badaruddin
Kesultanan Palembang Darussalam Bangkit Lagi?
KESULTANAN
 Palembang Darussalam sudah lama bubar. Tepatnya dibubarkan penjajah 
kolonial Belanda pada 1825. Dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang 
Dasar 1945, Palembang tak tercantum sebagai daerah istimewa sebagaimana 
Yogyakarta atau Aceh. Namun, selama tiga tahun terakhir, ada orang-orang
 yang ingin menghidupkan kembali kesultanan tersebut.
Pada
 mulanya Raden Mas Syafei Prabu Diraja, seorang perwira polisi, 
menyatakan dirinya sebagai Sultan Mahmud Badaruddin III. Dia mengangkat 
dirinya sendiri sebagai sultan setelah menerima wangsit. Itu terjadi 
pada tahun 2003 lalu.
Banyak
 yang mempertanyakan keabsahan pengukuhan Syafei Prabu Diraja sebagai 
Sultan Mahmud Badaruddin III. Ada yang mendukungnya, tapi ada pula yang 
mencela.
Lalu,
 sejumlah zuriat wong Palembang yang berhimpun dalam Zuriat Kesultanan 
Palembang Darussalam pada Oktober 2006 lalu, melakukan rapat atau 
pertemuan. Mereka mengukuhkan Raden Mahmud Badaruddin sebagai Sultan 
Iskandar Mahmud Badaruddin.
Akibatnya,
 Palembang jadi punya dua sultan. Polemik pun terjadi di media lokal 
maupun di forum diskusi. Siapa sebenarnya ahli nasab Kesultanan 
Palembang Darussalam yang berhak menerima gelar sultan? Syafei atau 
Mahmud?
Semua
 orang akhirnya tahu bahwa keduanya bukan ahli nasab. Syafei adalah 
keturunan dari istri keenam Sultan Mahmud Badaruddin II, sementara 
Mahmud keturunan sultan sebelumnya, Sultan Mansyur Jayo Ing Lago.
Perdebatan
 malah melebar. Kini orang mempertanyakan siapa sultan terakhir 
Palembang? Apakah Sultan Mahmud Badaruddin II, Sultan Najamuddin 
Pangeran Ratu atau Sultan Najamuddin Prabu Anom? Posisi ini sangat 
penting. Jika Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan sultan terakhir 
Palembang, maka Syafei merasa berhak jadi sultan. Menurut Syafei dan 
pendukungnya, Sultan Najamuddin Pangeran Ratu maupun Najamuddin Prabu 
Anom adalah pengkhianat alias diangkat sultan oleh Belanda.
Mahmud
 Badaruddin ditunjuk sebagai sultan berdasarkan konsensus. Alasannya, 
Kesultanan Palembang Darussalam secara resmi sudah bubar dan bila 
dihidupkan kembali hanya sebagai simbol budaya. Satu-satunya legitimasi 
menghidupkan kesultanan sebagai simbol budaya hanya melalui sebuah 
kesepakatan politik, bukan wangsit.
Polemik ini membuat saya tertarik menelusuri sumber-sumber sejarah yang jadi bahan perdebatan.
KETIKA
 Belanda menguasai Palembang pada 1821, semua catatan atau dokumen 
sejarah Kesultanan Palembang Darussalam hilang. Tepatnya, setelah Sultan
 Najamuddin Prabu Anom, yang mencoba melawan Belanda, dibuang ke Manado 
bersama pengikutnya.
Demi kepentingan ilmu pengetahuan, para peneliti Belanda mencoba menelusuri kembali sejarah Kesultanan Palembang Darussalam.
Demi kepentingan ilmu pengetahuan, para peneliti Belanda mencoba menelusuri kembali sejarah Kesultanan Palembang Darussalam.
Metode
 yang dilakukan mereka cukup sederhana. Para peneliti Belanda, dari 
tahun 1825 sampai 1840, melakukan wawancara dengan para priyayi yang 
masih hidup. Dari penuturan kaum priyayi ini sejarah Kesultanan 
Palembang Darussalam disusun.
Hal
 tadi diungkapkan M.O. Woelders, penulis buku Het Sultanaat Palembang 
1811-1825, saat ditemui Djohan Hanafiah di Belanda pada tahun 1987. 
Woelders juga mewawancarai para priyayi Palembang untuk keperluan 
penelitiannya, sedangkan Djohan orang Palembang yang tertarik pada 
sejarah.
Tetapi pantaskah kita mempercayai semua penuturan priyayi tersebut? Sejauh mana kebenaran versi sejarah yang dituturkan mereka?
Jangan-jangan
 mereka selamat karena berkompromi dengan penjajah. Jangan-jangan mereka
 itu para pengkhianat sultan. Dan bagaimana mungkin cerita mereka bisa 
dipercaya? Namun, tak semua priyayi mau jadi kaki tangan Belanda. 
Sebagian pengikut Najamuddin Prabu Anom yang tak mau menyerah memutuskan
 melarikan diri ke selatan Sumatera.
Tentu
 saja sultan yang punya banyak keturunan adalah yang paling beruntung. 
Semakin banyak keturunan semakin banyak pula pencerita yang akan jadi 
sumber sejarah.
Setahu saya, Sultan Mahmud Badaruddin II yang punya istri terbanyak. Sembilan orang. Sebagian istri dan anaknya tetap di Palembang ketika dia dibuang ke Ternate.
Setahu saya, Sultan Mahmud Badaruddin II yang punya istri terbanyak. Sembilan orang. Sebagian istri dan anaknya tetap di Palembang ketika dia dibuang ke Ternate.
SELAIN
 kelompok priyayi kesultanan atau lingkungan keraton, di Palembang juga 
ada kelompok priyayi di masyarakat, yang diberi gelar Kemas, Kiagus, dan
 Masagus. Kelompok priyayi ini merupakan keturunan Ki Bodrowongso atau 
Pangeran Bawah Manggis.
Sebelum Kesultanan Palembang Darussalam berdiri, tepatnya pada abad ke-16, berdiri kerajaan Palembang. Pendirinya adalah Ki Gede Ing Suro dan beberapa panglima perang dari Jawa, tepatnya dari Demak dan Pajang.
Sebelum Kesultanan Palembang Darussalam berdiri, tepatnya pada abad ke-16, berdiri kerajaan Palembang. Pendirinya adalah Ki Gede Ing Suro dan beberapa panglima perang dari Jawa, tepatnya dari Demak dan Pajang.
Sekitar
 tahun 1622 sampai 1643, ketika Pangeran Ratu Sultan Jamaluddin 
Mangkurat IV atau Pangeran Sido Ing Kenayan berkuasa, hiduplah seorang 
panglima perang yang bernama Ki Bodrowongso atau Ki Bagus Abdurrahman 
Bodrowongso bin Pangeran Fatahillah atau juga dikenal sebagai Panglima 
Bawah Manggis.
Selain Ki Bodrowongso, seorang panglima perang lain bernama Jaladeri cukup terkenal di masa itu.
Buku
 Sejarah Melayu Palembang yang ditulis R.M. Akib menyebutkan bahwa 
Jaladeri memiliki seorang istri dan dua anak. Sang istri, Nyi Marta, 
suatu hari meminta Jaladeri beristri lagi. Menurut Nyi Marta, cukup 
memalukan jika seorang panglima hanya memiliki satu istri.
Akhirnya
 Jaladeri menikahi seorang gadis cantik sebagai istri kedua. Pesta 
perkawinan dilangsungkan di Pedaleman atau istana Pangeran Sido Ing 
Kenayan atau yang dikenal sebagai Kuto Gawang, yang kini lokasinya 
dijadikan tempat beroperasi pabrik Pupuk Sriwijaya.
Usai
 pesta, istri kedua Jaladeri tidak langsung dibawa pulang. Dia ditahan 
di istana. Para perempuan di istana masih menaruh kekaguman atas 
kecantikan dan keelokan sang mempelai wanita. Mereka ingin melihat dan 
bercengkrama lebih lama dengannya.
Tindakan tersebut membuat Nyi Marta menaruh curiga. Dia menduga ada rencana jahat orang-orang istana terhadap istri kedua suaminya itu. Dia juga curiga raja ingin merebut madunya.
Tindakan tersebut membuat Nyi Marta menaruh curiga. Dia menduga ada rencana jahat orang-orang istana terhadap istri kedua suaminya itu. Dia juga curiga raja ingin merebut madunya.
Nyi
 Marta menuturkan kecurigaannya pada sang suami. Hati Jaladeri terbakar.
 Tanpa pikir panjang, dia mengamuk di istana. Sebagian besar penghuni 
istana meninggal dunia, termasuk Pangeran Sido Ing Kenayan dan istrinya,
 Ratu Sinuhun, yang tidak memiliki keturunan. Sebelum mengamuk Jaladeri 
bahkan sempat membunuh kedua anaknya sendiri yang masih kecil.
Di
 antara mereka yang selamat kemudian ada yang melapor kepada Ki 
Bodrowongso. Tindakan tegas segera diambil. Jaladeri pun tewas di tangan
 Bodrowongso.
Meski
 demikian, Bodrowongso tak mau jadi raja. Dia menyerahkan kerajaan 
kepada kerabat Pangeran Sido Ing Kenaya. Dia tak ingin keturunannya 
terlibat konflik kekuasaan.
Ketika tutup usia, Ki Bodrowongso dimakamkan di Sabokingking, Palembang, satu areal dengan makam Pangeran Sido Ing Kenayan dan Ratu Sinuhun.
Ketika tutup usia, Ki Bodrowongso dimakamkan di Sabokingking, Palembang, satu areal dengan makam Pangeran Sido Ing Kenayan dan Ratu Sinuhun.
Bodrowongso
 memiliki seorang istri dan lima anak. Dari kelima anaknya, tiga 
menurunkan gelar untuk masing-masing keturunannya. Ki Panggung 
mewariskan gelar Kemas, Ki Mantuk menurunkan Masagus, dan Kiagus Abdul 
Gani menurunkan Kiagus. Khalifah Gemuk dan Ki Bodrowongso Mudo sama 
sekali tak mewariskan gelar untuk keturunan mereka. Kedua keturunan 
Bodrowongso ini bahkan tak muncul dalam buku sejarah Palembang yang 
ditulis Belanda, mungkin karena mereka tak punya gelar priyayi.
Lucunya,
 gelar-gelar ini membuat sebagian orang merasa derajatnya lebih tinggi 
dibanding yang lain. Bahkan, orang yang menyandang gelar tertentu 
menganggap dirinya punya derajat lebih tinggi dibanding yang menggunakan
 gelar lain. Kemas, misalnya, dianggap berderajat lebih tinggi dibanding
 Kiagus atau Masagus.
Orang-orang
 Palembang tanpa gelar kebangsawanan atau priyayi disebut “Palembang 
Buntung”, yang artinya orang biasa, rakyat jelata.
Sebagian
 keturunan Ki Bodrowongso percaya bahwa kakek moyang mereka menyerahkan 
kekuasaan kepada kerabat Pangeran Sido Ing Kenayan, dengan syarat orang 
yang nanti jadi raja harus menjunjung adat istiadat yang ditulis Ratu 
Sinuhun dalam buku Simbur Cahaya. Buku ini berisi perpaduan ajaran Islam
 dan kearifan bangsa Melayu.
Jika ada sultan atau raja Palembang yang melenceng dari kesepakatan ini, mereka akan mangkat dalam kehinaan.
Percaya
 atau tidak, dari 10 sultan yang pernah berkuasa di Palembang, hampir 
semuanya mangkat dalam kehinaan. Jika tidak mati diracun, ya mati 
dibunuh atau dibuang ke tanah pengasingan seperti yang dialami tiga 
sultan Palembang itu.
Lantas,
 untuk apa membangkitkan lagi sebuah kerajaan bila sejarahnya penuh 
darah, intrik, kesedihan, dan tipu-muslihat? Ketimbang membangkitkan 
kembali kesultanan dan bernostalgia tentang kebesaran masa lalu, lebih 
baik kita sama-sama memikirkan jalan keluar persoalan yang dihadapi 
orang dan negara Indonesia hari ini. Bagaimana mengatasi banjir, hutan 
terbakar, semburan lumpur, flu burung, demam berdarah, kemiskinan, 
kebodohan?** *) Dimuat www.pantau.or.id
 
