Kamis, 08 Maret 2012

Pahlawan Dalam Mata Uang Terbaru Indonesia

1. Kapitan Pattimura

Seribu Rupiah

Siapakah Pattimura itu?

Pattimura

Lebih dikenal dengan nama Thomas Matulessy lahir di Haria pulau Saparua Maluku tahun 1783. Didalam masa hidupnya sempat mengalami pergantian masa pemerintahan dari Belanda ke tangan Inggris ditahun 1798. Lalu pada masa pemerintahan Inggris, Patimura ikut milite dan memperoleh pangkat sersan.

Tak lama kemudian Belanda kembali berkuasa di kota Maluku dan para penduduk mengalami penderitaan karena dipaksa kerja rodi dan memberikan hasil rempah-rempahnya kepada Belanda. Karena keadaan demikian maka penduduk Maluku angkat sejata untuk melepaskan diri dari ikatan penderitaan pemerintah Belanda.

Thomas Matulessy diangkat menjadi pemimpin guna melawan Belanda dengan gelar Kapitan Pattimura. Dengan kepemimpinannya maka berhasil merebut benteng Duurstede pada tahun 1817. Semua pasukan Belanda yang berada didalam benteng itu termasuk Residen Van den Berg, tewas. Namun Belanda mengirim pasukan yang lebih besar lagi dengan persenjataan yang lengkap dan benteng Duurstede berhasil di ambil alih lagi oleh Belanda. Dan Belanda kembali menyerang balik dengan secara besar-besaran. Dikarenakan perlawanan tidak seimbang maka Kapitan Pattimura tertangkap pada saat berada disebuah rumah rekannya berikut beberapa temannya. Lalu Kapitan Pattimura dibawa ke Ambon dan Belanda membujuk untuk bekerjasama, namun bujukan itu ditolak.

Akhirnya kolonial Belanda memutuskan untuk menjatuhi hukuman gantung kepada Pattimura. Sebelum digantung Belanda kembali membujuk Pattimura untuk bergabung bekerjasama, tapi ditolak lagi. Dan pada hari Selasa 16 Desember 1817 Pattiura dihukum gantung didepan benteng Victoria di Ambon.

Betama gigihnya semangat dan tekad Kapitan Pattimura terdahap demi membela daerahnya dan bangsanya.
2. Tuanku Imam Bonjol

Lima Ribu Rupiah

Siapakah Imam Bonjol itu?

Tuanku Imam Bonjol

Nama aslinya adalah Muhammad Sahab yang dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol. Ia lahir di Tanjug Bunga Sumatera Barat di tahun 1772.

Ia banyak belajar soal agama dari orang-orang ulama di Sumatera Barat dan akhirnya ia menjadi seorang guru agama di Bonjol. Sebagai tokoh ia cukup disegani. Disini ia menyebarkan paham Paderi.

Di tahun 1821 Belanda dengan bala bantuanyannya menyerang kaum Paderi untuk menguasa daerah Sumatera Barat. Tuanku Imam Bonjol memimpin pertarungan ini dan akhirnya Belanda kewalahan dan terpaksa mengadakan perjanjian Masang tahun 1824 yanng mengakui bahwa Tuanku Imam Bonjol sebagai penguasa daerah Alahan Panjang. Namun perjanjian ini dilanggar oleh Belanda dan peperangan kembali berkorbar.

Sebagian demi bagian daerah tersebut jatuh ke tangan Belanda. Daeran Tuangku Imam Bonjol bertambah sempit dan terkurung oleh daerah-daerah Belanda. Tahun 1832 Bonjol berhasil diduduki oleh Belanda, tetapi beberapa bulan kemudian Paderi direbut kembali. Belanda menyerang Tuanku Imam Bonjol berkali-kali tapi selalu gagal. Lalu Belanda mengadakan perdamaian namun Tuaku Imam Bonjol mencurigainya.

Kurang lebih tiga tahun kemudian Belanda mengepung dan Bonjol kembali direbut tangan Belanda. Tgl 16 Agusutus 1837. Tuanku Imam Bonjol berhasil meloloskan diri dan berjuan ditempat lain.

Tahun 1837 Tuanku Imam Bonjol diundang untuk perundingan, namun taktik licik Belanda ini berhasil menangkap Tuanku Imam Bonjol dan dibuang ke Cianjur Jawa Barat, lalu ke Ambon dan berakhir di Lotan dekat Manado. Ditempat inilah Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada tgl 8 Nopember 1864 dan dimakamkan disana.
3. Sultan Mahmud Badarudin II

Sepuluh Ribu Rupiah

Siapakah Sultan Badarudin itu?

Sultan Badarudin

Sultan Mahmud Badaruddin II (l: Palembang, 1767, w: Ternate, 26 November 1862) adalah pemimpin kesultanan Palembang-Darussalam (1803-1819), setelah masa pemerintahan ayahnya, Sultan Mahmud Badaruddin.

Dalam masa pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin pertempuran melawan Britania dan Belanda, diantaranya yang disebut Perang Menteng. Tahun 1821, ketika Belanda secara resmi berkuasa di Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap dan diasingkan ke Ternate.

Namanya kini diabadikan sebagai nama bandara internasional di Palembang, Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II.

Mata uang rupiah pecahan 10.000-an yang dikeluarkan pada 20 Oktober 2005 menggunakan Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai gambar hiasannya. Penggunaan gambar ini sempat menjadi kasus pelanggaran hak cipta, karena gambar tersebut digunakan tanpa izin pelukisnya.

Sejak timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18, Palembang dan wilayahnya menjadi incaran Britania dan Belanda. Berdalih menjalin kontrak dagang, bangsa Eropa ini berniat menguasai Palembang. Awal bercokolnya penjajahan bangsa Eropa biasanya ditandai dengan penempatan loji (kantor dagang). Di Palembang, loji pertama Belanda dibangun pada tahun 1742 di tepi Sungai Aur (10 Ulu).

Orang Eropa pertama yang dihadapi Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) adalah Sir Thomas Stamford Raffles. Raffles tahu persis tabiat Sultan Palembang ini. Karena itu, Raffles sangat menaruh hormat di samping ada kekhawatiran sebagaimana tertuang dalam laporan kepada atasannya, Lord Minto, tanggal 15 Desember 1810:

Sultan Palembang adalah salah seorang pangeran Melayu yang terkaya dan benar apa yang dikatakan bahwa gudangnya penuh dengan dollar dan emas yang telah ditimbun oleh para leluhurnya. Saya anggap inilah yang merupakan satu pokok yang penting untuk menghalangi Daendels memanfaatkan pengadaan sumber yang besar tersebut.

Bersamaan dengan adanya kontak antara Britania dan Palembang, hal yang sama juga dilakukan Belanda. Dalam hal ini, melalui utusannya, Raffles berusaha membujuk SMB II untuk mengusir Belanda dari Palembang (surat Raffles tanggal 3 Maret 1811).
4. Otto Iskandar Dinata

Dua Puluh Ribu Rupiah

Siapakah Otto Iskandar Dinata itu?

Tentang bla..bla.bla..

R. Otto Iskandardinata (Bandung, Jawa Barat, 31 Maret 1897 – Lembang, Bandung, 20 Desember 1945) adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Ia pernah menjabat Menteri Negara Kabinet Presidensial periode 19 Agustus 1945 – 14 November 1945. Selain itu, Otto Iskandardinata adalah mantan ketua organisasi Paguyuban Pasundan dan anggota Volksraad (DPR pada masa Hindia Belanda).

Otto Iskandardinata wafat pada 20 Desember 1945 pada umur 48 tahun dan dimakamkan di Lembang, Bandung. Saat ini namanya diabadikan sebagai nama jalan di beberapa kota di Indonesia.
5. I Gusti Ngurah Rai

Lima Puluh Ribu Rupiah

Siapakah I Gusti Ngurah Rai itu ?

I Gusti Ngurah Rai

Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai (Desa Carangsari, Kabupaten Badung, 30 Januari 1917�Margarana, 20 November 1946) adalah seorang pahlawan Indonesia dari Kabupaten Badung, Bali.

Beliau memiliki pasukan yang bernama “Ciung Wenara” melakukan pertempuran terakhir yang dikenal dengan nama Puputan Margarana. (Puputan, dalam bahasa bali berarti “habis-habisan”, sedangkan Margarana adalah daerah terjadinya perang besar tersebut)

Bersama 1.372 anggotanya pejuang MBO (Markas Besar Oemoem) Dewan Perjoeangan Republik Indonesia Sunda Kecil (DPRI SK) dibuatkan nisan di Kompleks Monumen de Kleine Sunda Einlanden, Candi Marga, Tabanan. Detil perjuangan I Gusti Ngurah Rai dan resimen CW dapat disimak dari beberapa buku, seperti “Bergerilya Bersama Ngurah Rai” (Denpasar: BP, 1994) kesaksian salah seorang staf MBO DPRI SK, I Gusti Bagus Meraku Tirtayasa peraih “Anugrah Jurnalistik Harkitnas 1993″, buku “Orang-orang di Sekitar Pak Rai: Cerita Para Sahabat Pahlawan Nasional Brigjen TNI (anumerta) I Gusti Ngurah Rai” (Denpasar: Upada Sastra, 1995), atau buku “Puputan Margarana Tanggal 20 Nopember 1946″ yang disusun oleh Wayan Djegug A Giri (Denpasar: YKP, 1990).

Pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputra dan kenaikan pangkat menjadi Brigjen TNI (anumerta). Namanya kemudian diabadikan dalam nama bandar udara di Bali, Bandara Ngurah Rai.
5. Ir. Soekarno dan Moh. Hatta

Seratus Ribu Rupiah

_

Sang Proklamator ?

Proklamator

Ir. Soekarno1 (lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – wafat di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945 – 1966. Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Nah itu adalah gambar – gambar pahlawan dalam mata uang Rupiah, dan itu adalah uang dalam versi cetak terbaru, pada post berikutnya kita akan lihat uang-uang pendahulunya yang juga terdapat gambar-gambar para pahlawan Indonesia.

Semoga bisa menambah pengetahuan kita.

Salam Hangat


Jumat, 17 Februari 2012






Tulisan ini sedikit jawaban dari per

tanyaan mangcek Karim (klik sini) yang gundah tentang sejarah negerinya.... Untuk itu saya ingin berkongsi dengan anda semua, dan ada baiknya untuk lebih memperkaya khazanah sejarah Palembang Darussalam baca juga buku ini (klik sini).

Pernahkah kita bertanya-tanya, apa saja yang terjadi diantara ‘missing link’ 8 abad (800 tahun) antara Empayar Melayu Kuno Sri Wijaya (Shri Vijaya) dengan Kesultanan Palembang Darussalam?

Sri Wijaya adalah kerajaan yang mengalami puncaknya di Abad 7 Masehi saat rantau ini masih dominan beragama Budha/Hindu. Manakala Kesultanan Palembang Darussalam wujud di Abad 15 saat Islam mulai menyebar di Nusantara. Kedua-duanya berada di Kota Palembang, Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel).

800 tahun bukan kurun yang sebentar, malah boleh dibilang terlalu lama untuk bisa mengais kemungkinan adanya susur galur keduanya.

Jadi? Ya...Sri Wijaya adalah Sri Wijaya. Palembang Darussalam mempunyai kisah dan sejarah tersendiri. Dan ia sangat unik. Karena hanya disinilah 2 suku bangsa sekaligus magnet besar budaya Nusantara berpadu dan bercampur. Yaitu Melayu dan Jawa.

Bagaimana sih ceritanya?

Banyak ahli sejarah yang angkat tangan jikalau ditanya apa saja yang terjadi di masa kegelapan di bekas empayar maritim pertama Nusantara itu. Yang jelas, di awal abad ke-15, datanglah sekelompok panglima dan pangeran dari Kesultanan Demak, yang kalah berperang dengan Mataram Islam (mengenai mengapa 2 kesultanan Islam ini saling berperang, ceritanya agak panjang, lain masa daku kisahkan) ke Palembang. Mereka dipimpin oleh ‘Ki Gede Ing Suro’ (Ki=panggilan singkat dari Kiai; Gede=Besar; Ing=Di; Suro=Muharram atau Ikan Hiu) dan sejumlah panglima seperti Bodrowongso.

Di pinggiran Palembang, saat itu terdapat puluhan kerajaan kecil puak Melayu (ingat.. Melayu di Sumatra Selatan juga berpuak-puak/sub etnis yang ragamnya sangat banyak dengan bahasa tempatan yang juga beragam tetapi mungkin masih satu rumpun,misal Ogan, Komering, Lahat, Sekayu, Enim ataupun Melayu dan masih banyak lagi). Kumpulan puak-puak ini membentuk Batin dan biasanya pemimpinnya disebut ‘Pati’. Rombongan "Wong Jowo” (wong=orang) ini lantas mengadakan pertemuan dengan para pemimpin dari penjuru "Batang Hari Sembilan" (nama gelaran wilayah Sumatra Selatan yang dialiri 9 sungai). Tidak ada catatan berdarah dalam proses konsensus "Jawa dan Melayu" ini. Kemudian lahirlah kerajaan Palembang (belum dengan tambahan Darussalam lho...) dengan pemimpinnya Ki Gede Ing Suro sebagai konsensus politik pertama.

Bahasa Jawa saat itu tentu saja masih dikekalkan, tetapi hanya dilingkungan kraton. Dengan berjalannya waktu, maka bahasa Melayu dan Jawa ini membentuk ‘Bahaso Plembang’ yang sebagaimana di Jawa dibedakan atas Halus (Krama/Kromo) dan Umum (Ngoko) maka jenis Bahaso Palembang pun dikenal jenis Baso Alus/Kramo (Halus/Krama) dan Baso Sari-sari (Sehari-hari/umum/Ngoko). Termasuk sejumlah suku kata dan susunan bahasa yang menggabungkan 2 budaya.

Keturunan Jawa dan Palembang dari fihak Kraton/ningrat bergelar ‘Ki Emas’ atau ‘Kiemas/Kemas’ dan ‘Ki Agus’ (agus=bagus). Tetapi keturunan dari garis perempuan yang dinikahi para bangsawan kerajaan Palembang – memakai gelar baru yaitu ‘Raden’- mereka ini mendeklarasikan Kesultanan Palembang Darussalam. Inilah konsensus politik kedua di Palembang.



Sayang, tidak semuanya sepakat dengan deklarasi tersebut. Mereka yang tidak sepakat, tetap menggunakan gelar lama yakni Kimas atau Kiagus. Sikap ini diambil oleh turunan Bodrowongso atau Panglima Bawah Manggis. Yang tidak sepakat ini lari ke pedalaman. Mereka beranak-pinak di sejumlah daerah di Pagaralam, Curup, Rawas, Sekayu, Pedamaran, atau Kayuagung.

Lihatlah senarai nama sultan2nya…hmm…bergaya Melayu campur Jawa :

- Pangeran Ario Kusumo Abdurrochim/Ki Mas Endi bergelar Sultan Abdurrachman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman, sultan I

- Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago, sultan II

- Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Sultan Mahmud Badaruddin I), sultan III

- Sultan Ahmad Najamuddin Adikusumo, sultan IV

- Sultan Muhammad Bahauddin, sultan V

- Sultan Mahmud Badaruddin II (Raden Hasan Bahauddin), sultan VI

Barulah pada masa Sultan Mahmud Badaruddin II terjadi rekonsiliasi antara para Raden dengan Kimas/Kiagus. Ini diwujudkan dalam pembangunan Benteng Kuto Besak, dan Masjid Agung. Bahan baku seperti telur, dikirim dari keluarga lama yang berada di pedalaman. Bahkan, masjid Agung pun dikelola oleh para ulama dari gelar apa pun, termasuk para ulama dari Arab, dan Tiongkok.

Sesudah Sultan Mahmud Badaruddin II diasingkan Belanda ke Ternate/Maluku maka Kesultanan Palembang Darussalam diperintah oleh Sultan Najamuddin Pangeran Ratu (1819), dua tahun kemudian ia diganti Sultan Najamuddin Prabu Anom (Prabu=Sultan; Anom=Muda). Dan lagi-lagi dua tahun kemudian, pada 1823 Masehi, giliran Kramo Jayo (Jawa=Kromo Joyo) menjadi Sultan Palembang. Tampaknya politik pecah belah Belanda sangat mujarab mencerai berai zuriat Kesultanan ini untuk saling berperang satu sama lain, berebut kuasa.

Demikianlah, akibat terus berpecah-belahnya kalangan bangsawan Palembang, Belanda kemudian tidak sanggup lagi mengelolanya sehingga Kesultanan Palembang Darussalam secara paksa ditiadakan pada 1823.