Kamis, 21 Juli 2011
Minggu, 17 Juli 2011
Old Postcard: Pasar Baroe (Batavia), 1909
Suasana kawasan Pasar Baru, Jakarta pada tahun 1909 direkam dalam selembar kartupos lama. / Koleksi: Tokek Belanda.
Ir. Soekarno dan Sultan Hamengku Buwono IX
Salah satu foto di Museum Sultan Hamengku Buwono IX di Keraton Kasultanan Yogyakarta. / Koleksi: Agus Yuniarso.
Posted in Uncategorized
Licht! Camera! Draaien!
Kamera saku bukan barang baru di Indonesia. Mungkin yang berbeda ukuran saku di jaman dulu dan jaman sekarang … Sebuah iklan kamera menghiasi halaman belakang luar Majalah d’Orient yang terbit di Batavia (Jakarta), edisi 20 Mei 1939. / Koleksi: Agus Yuniarso.
Posted in Uncategorized
Kartupos Angka Smelt 5 Sen
Sebuah kartupos lama yang ditemukan disela-sela lembaran buku bekas yang dibeli di pasar buku loak Shopping Center, Yogyakarta.
Berdasarkan Katalog Perangko Indonesia, “Kartupos Angka Smelt 5 Sen” ini diterbitkan pada 15 Januari 1949. Ada dua jenis dengan teks yang berbeda (kemungkinan salah cetak). Yang pertama tertulis “NAAM EN ADRES VAN DEN AFZENDER”, sedang yang kedua “NAAM EN ADRES VAN DE AFZENDER”.
Yang pertama nilainya lebih mahal. Katalog tahun 1996 mencantumkan harga bekas (terpakai) untuk yang pertama Rp. 125.000,00 per lembar, sedang yang kedua hanya Rp. 20.000,00 per lembar. Sedang harga dalam kondisi belum terpakai Rp. 75.000,00 dan Rp. 3.000,00.
/ Koleksi: Agus Yuniarso.
Posted in Uncategorized
Iklan: Rex Theater Soerabaja
Iklan film ‘The Story of Vernon And Irene Castle’ yang akan diputar bioskop Rex Theater Surabaya menjelang tahun 1940. Dimuat di Majalah d’Orient yang terbit di Batavia (Jakarta), 1939. / Koleksi: Agus Yuniarso.
Posted in Uncategorized
Prajurit Keraton Kasultanan Yogyakarta, 1929
“De lijfwacht van de sultan van Jogjakarta met hun wapens” (Sumber: Wikipedia dari koleksi Tropenmuseum of the Royal Tropical Institute (KIT) / Lisensi: Creative Commons / … ).
Bregada Prajurit Prawiratama, salah satu bregada (kesatuan) prajurit di Keraton kasultanan Yogyakarta sedang beristirahat di salah satu halaman Keraton, kemungkinan di Kemandungan Lor (Keben) atau di Kemagangan Kidul. Diabadikan pada tanggal 9 Oktober 1929 oleh Dr. W.G.N. van der Sleen. Tidak ada informasi yang jelas dalam acara apa foto ini diambil. Mengingat tidak setiap saat para prajurit mengenakan busana parade resmi, kemungkinan pada tanggal tersebut sedang berlangsung upacara adat tertentu seperti Garebeg. Jikalah bukan, kemungkinan Sultan Hamengku Buwono VIII yang bertahta saat itu sedang menerima tamu kehormatan.
Sebagai catatan tambahan, saat Balatentara Jepang menguasai Yogyakarta pada tahun 1942, Sultan Hamengku Buwono IX yang bertahta saat itu membubarkan semua kesatuan prajuritnya, untuk melindungi dan menghindarkan keterlibatan mereka dalam Perang Asia Timur Raya.
Wayang Wong di Masa Sultan Hamengku Buwono VI, 1899
“De kroonprins in danskleding tijdens een dansvoorstelling in de kraton van de Sultan van Jogjakarta. Rechts Gusti Raden Mas Poetra (zoon van HB VII) en links in vrouwenkostuum Gusti Raden Mas Natapradja, ca. 1899” (Sumber: Wikipedia dari koleksi Tropenmuseum of the Royal Tropical Institute (KIT) / Lisensi: Creative Commons / … ).
Jembatan Merah di Kota Bogor, 1904
“De heer en mevrouw Kool-Beijnen in hun rijtuig of deleman en de heer Kindermann met fiets op de Rode Brug in Buitenzorg.” (Sumber: Wikipedia dari koleksi Tropenmuseum of the Royal Tropical Institute (KIT) / Lisensi: Creative Commons / … ).
Kota Bogor di tahun 1904. Sebuah adegan dimana orang-orang kulit putih (Belanda) ber-pose di sebuah tempat bernama Jembatan Merah di Kota Bogor. Pasangan Kool-Beijnen duduk diatas delman, sementara seseorang bernama Kindermann berdiri di samping dengan sepedanya. Seorang pribumi juga tampak tertangkap lensa sedang memperhatikan mereka di sisi belakang. Foto ini diabadikan oleh M. Louise Treub pada tanggal 17 Oktober 1904. Apakah nama Jembatan Merah di Kota Bogor ini masih ada? Dimana lokasi tepatnya?
Keluarga Lonkhuyzen di Semarang, 1910-1915
“De kinderen van de familie Lonkhuyzen met baboe in de tuin van hun woning in Semarang.” (Sumber: Wikipedia / Koleksi Tropenmuseum of the Royal Tropical Institute (KIT) / Lisensi: Creative Commons / … ).
Anak-anak keluarga Lonkhuyzen bersama para pengasuhnya diabadikan di halaman (taman) rumahnya. Sebuah adegan di Kota Semarang, diabadikan sekitar tahun 1910-1915 oleh Rabin (Fotostudio).
Rumah Dinas Administratur Pabrik Gula Kalibagor, 1905
“Het echtpaar Pietermaat met Mej. Mulder op de veranda van hun woning op de suikeronderneming Kalibagor.” (Koleksi Tropenmuseum of the Royal Tropical Institute (KIT) / Lisensi: Creative Commons / … ).
Keluarga Pieter Mulder berfoto di depan teras rumah dinas administratur Pabrik Gula Kalibagor (diabadikan pada tahun 1905). Untuk dicatat, Pabrik Gula Kalibagor yang berlokasi di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah ini masih terus beroperasi hingga akhir tahun 1990an. Sayang, kondisi bangunannya saat ini tidak terawat karena sudah tidak lagi beroperasi.
Anda dapat perpartisipasi menambahkan deskripsi konten ini dengan menuliskan informasi dan tautan (link) terkait pada kolom komentar.
Djogdja Tempo Doeloe - SITIHINGGIL TAHUN 1935
Orang pastilah sudah tahu bahwa di Yogyakarta ada bangunan Kraton Ngayogyakarta. Tempat ini, meski tidak seluruhnya, terbuka bagi orang lain untuk mengunjunginya, karena memang dibuka untuk wisatawan, baik domestik maupun asing. Kalau orang datang ke Kraton Yogyakarta, bangunan dibagian depan, setelah alun-alun utara, terdapat apa yang disebut pagelaran. Orang menyebutnya Pagelaran Kraton. Di belakang persis Pagelaran Kraton terdapat satu bangunan yang disebut sebagai Sitihinggil. Kalau nama ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi berbunyi; Tanah (Siti) Tinggi (hinggil). Bangunan Sitihinggil ini memang lebih tinggi dari Pagelaran dan ditempuh melalui naik tangga, dalam bahasa Jawa disebut sebagai undhak-undhakan.
Sitihinggil tahun 1935 dengan Sitihinggil sekarang (artinya tahun 2003) memang tidak banyak berubah, meskipun telah mengalami perbaikan, setidaknya pada catnya . Namun konstruksinya tetap sama. Melalui Sitihinggil ini, akan sampai pada pintu gerbang Kraton, yang disebut sebagai Keben --halaman Kraton yang terletak di depan pintu gerbang--. Jadi, pada halaman muka terdapat alun-alun.Setelah alun-alun ada Pagelaran dan kemudian Sitihinggil. Sebelum pintu gerbang ada halaman dan apa yang disebut sebagai Keben.
Wisatawan yang mengunjungi Kraton dan masuk Pagelaran dengan sendirinya akan bisa melihat (dan naik) di Sitihinggil), tetapi biasanya tidak terus masuk menuju Keben. Untuk mencapai pintu gerbang Kraton, biasanya, keluar dari Pagelaran dan jalan kaki masuk melalui arah samping untuk menuju Keben dan pintu Gerbang Kraton.
Dulu, kalau Raja hendak miyos (hadir) di Pagelaran Kraton melalui apa yang disebut sebagai Sitihinggil.
Datanglah ke Yogyakarta kalau ingin melihat Sitihinggil.
Teks: Ons Untoro
Djogdja Tempo Doeloe - Masjid Kauman tahun 1888 dan 2002
MASDJID KAUMAN TAHUN 1888
Di Yogyakarta memang terdapat banyak Masjid, baik bangunan lama maupun bangunan baru. Bahkan disetiap Kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta juga ditemukan bangunan Masjid sebagai tempat ibadah. Belum lagi di kampung-kampung, mudah sekali ditemukan bangunan Masjid, yang biasanya dibangun berdasarkan swadaya umat Islam setempat.
Ada satu bangunan Masdjid yang cukup tua, setidaknya sejak jaman kerajaan Mataram di Kotagede. Bangunan Masjid ini memang terletak di kompleks bakas kraton Kotagede dan namanya "Masdjid Kotagede".
Satu Masdjid lain yang termasuk tua, meski kalah tua dengan Masdjid Kotagede, ialah Masdjid Kauman, yang terletak disebalah barat alun-alun utara Yogyakarta. Jadi, Masdjid Kauman ini berada di kiri samping Kraton Ngayogyakarta, yang letaknya di luar beteng Kraton. Foto Masdjid Kauman tahun 1888 bisa untuk menunjukkan, bahwa bangunan ini termasuk jenis bangunan tua.
Secara bentuk memang tidak mengalami banyak perubahan apabila melihat Masjid Kauman di tahun 2003, tetapi memang ada penambahan sedikit, atau setidaknya perbaikan dari yang rusak. Conbloc, yang terdapat di halaman Masjid Kauman setidaknya adalah salah satu tanda dari "berbedanya" bangunan Masdjid Kauman masa lalu dengan Masjid Kauman sekarang. Hanya memang, secara fundamental tidak berubah total.
Lihatlah foto Masdjid Kauman tahun 1888 dan Masjid Kauman tahun 2002, atau sekali waktu tengoklah Masjid Kauman sekarang.
Djogdja Tempo Doeloe - KAMPUNG DJOGONEGARAN 1920
Kampung-kampung di Yogya memang telah mengalami banyak perubahan, meskipun namanya masih tetap sama. Apa yang dulu pernah ada di satu kampung di Yogya, sekarang tidak lagi bisa ditemukan. Salah satu kampung itu namnya Jogonegaran. Dulu ditulis Djogonegaran. Kampun ini terlatak disebelah barat kawasan Malioboro. Jadi, tidak ada 1 Km dari Kraton Ngayogyakarta. Karena kampung ini terletak di tengah pusat keramaian, yakni Malioboro, yang terus mengembangkan dirinya, kampung-kampung disekitarnya ikut berubah, termasuk Jogonenaran.
Pada tahun 1920-an, Kampung Djogonegaran kelihatan masih teduh, ada pohon rindang bisa ditemukan dan terdapat halaman untuk sejenak bernapas. Tetapi kampung Jogonegaran sekarang telah berubah total. Pemukimannya padat. Banyak bangunan bertingkat berdiri dan jalan menuju rumah ke rumah tidak selalu bisa dilewati mobil. Jalan utama kampung itu telah menjadi jalan milik kawasan Malioboro sehingga tidak sekaligus menjadi jalan milik warga, sebagaimana kampung-kampung di Yogya lainnya yang jauh dari kawasan Malioboro.
Itulah Kampung Jogonegaran, seperti bisa dilihat dalam foto tahun 1920, kampung ini memberikan nuansa yang nyaman dan sejuk. Dan sudah barang tentu tidak panas serta bising. Namun sekarang, kapan orang datang (atau lewat) kampung Jogonegaran, tidak akan menemukan seperti yang ada di dalam foto ini.
Namun melalui foto Kampung Djogonegaran tahun 1920, setidaknya orang bisa mengingat suasana masa silam di kampung itu.
Djogdja Tempo Doeloe - ALUN-ALUN KIDUL TAHUN 1920
Alun-alun dan Ringin kurung adalah satu tanda kultural yang dikenal oleh publik. Keduanya ada di dalam beteng Kraton, dalam bahasa jawa dikenal dengan sebutan "neng njeron beteng Kraton". Alun-alun dan Ringin Kurun ada di dua tempat dan disebut alun-alun utara dan alun-alun selatan (Kidul). Alun-alun utara terletak di depan sebelum masuk pintu gerbang (pagelaran Kraton) alun-alun selatan ada di belakang pintu gerbang (Kemagangan Kraton). Dua pohon beringin terletak di masing-masing alun-alun dan tepat berada di tengah persis. Karena pohon ringin dipagari, kemudian disebut sebagai ringin kurung.
Alun-alun Kidul (selatan) tahun 1920 situasinya sudah berbeda dengan alun-alun sekarang, meskipun ringin kurungnya masih tetap sama. Tentu sudah mengalami berbagai macam perubahan disekitarnya, misalnya jalan yang melingkari alun-alun selatan sudah beraspal, pada jaman dulu, setidaknya sampai tahun 1960-an, belun diaspal seperti sekarang, bahkan alun-alunnya tidak ditanami rumput hijau. Pada tahun-tahun itu, di tengah alun-alun selatan ada taman sebagai tempat bermain anak-anak, tetapi taman itu sekarang sudah tidak ada.
Yang khas dari alun-alun selatan sekarang ialah, setidaknya mulai awal tahun 1990an, banyak orang percaya, siapa bisa berjalan dengan mata tertutup sampai melewati tengah diantara dua Ringin kurung akan mendapat berkah. Kegiatan itu setiap hari ramai dilakukan oleh orang, baik tua maupun muda. Kalau Sabtu malam, akan penuh orang menjalani ritus seperti itu.
Meskipun ada yang sudah berkembang dari segi fisik, namun Ringin Kurung-nya tetap berada di tempatnya, dan fungsi ruang publik alun-alun selatan semakin menemukan maknanya.
Datanglah ke alun-alun selatan untuk berjalan sambil ditutup matanya, siapa tahu mendapat berkah.
Ons Untoro
Djogdja Tempo Doeloe - BENTENG VREDESBRUG TAHUN 1970
BENTENG VREDESBRUG TAHUN 1970
Di Yogyakarta ada banyak peninggalan bangunan Belanda. Ada yang masih utuh dan di pugar kembali,tapi ada yang sudah terbengkalai. Istana Negara Gedung Agung adalah salah satu bangunan peninggalan Belanda, yang kondisinya masih bagus. Bangunan peninggalan Belanda yang lain dan sudah di pugar, tetapi sebelumnya sempat berantakan dan tidak terawat adalah Benteng Vredesbrug.
Pada awal tahun baru, tahun 1970-an,. Benteng Vredesbrug pernah dipakai untuk markas batalyon 403 sebelum pindah di Kentungan, Jl. Kaliurang. Di tempat itu pula pernah dipakai untuk tahanan PKI. Sebelum di pugar seperti sekarang Benteng Vredesbrug memang pernah terbengkalai dan tidak terawat sehingga kelihatan sekali menyeramkan. Bangunan kuno yang jarang di jamah oleh orang, memberi kesan "angker" dan menakutkan.
Sampai akhir tahun 1980-an Benteng Vredesbrug belum sepenuhnya berfungsi, hanya menjelang akhir tahun 1990-an sampai sekarang, tingkat aktivitas di Benteng Vredesburg bisa disebut cukup tinggi dengan bermacam aktivitas kesenian dan kebudayaan.
Namun kalau anda melihat foto Benteng Vredesbrug tahun 1970, setidaknya bisa membayangkan kondisi bangunan itu pada masa lalu sebelum di pugar, meski sekarang sudah cukup bagus dan bisa berfungsi untuk berbagai macam kegiatan.
batalyon 403 tahun 1970
Djogdja Tempo Doeloe - KALIURANG TAHUN 1939
Kaliurang adalah sebuah ikon yang identik dengan tempat tujuan wisata di wilayah Sleman dengan lokasi di lereng selatan Gunung Merapi. Sudah sejak puluhan tahun silam Kaliurang menjadi salah satu andalan pariwisata Kabupaten Sleman. Wilayah ini menjadi salah satu sumber penadapatan daerah di samping tentu saja, menjadi tempat mengais rezeki banyak orang di sekitar tempat itu. Mulai dari usaha parkiran, penginapan, warung makan, penjual suvenir, pengasong, dan sebagainya.
Kecuali menjadi salah satu tempat yang dijadikan sumber pendapatan, Kaliurang juga menjadi tujuan banyak orang untuk refreshing dan ajang memadu kasih bagi anak-anak muda yang sedang kasmaran. Hawanya yang sejuk, pemandangannya yang indah, serta jauh dari kebisingan kota membuat Kaliurang menjadi tempat yang dapat memberi kesegaran dan kejernihan hati serta pikiran.
Keletakannya yang sangat dekat dengan Gunung Merapi menjadikan Kaliurang sebagai lokasi yang sebenarnya rawan akan ancaman letusan Gunung Merapi. Namun di balik itu tempat ini juga menjanjikan banyak keindahan, kesegaran, kesejukan, ketenangan yang ditampilan oleh kontur tanah yang berbukit, berjurang, bertebing, dengan aneka tetumbuhan menghijau khas pegunungan.
Tentu saja segala hal yang ada di Kaliurang 68 tahun yang lalu berbeda dengan kondisi Kaliurang saat ini.
Berikut ini disajikan pemandangan Kaliurang yang diambil dari majalah Kadjawen, Edisi 10 Februari 1939
Djogdja Tempo Doeloe - GADIS JAWA PEMETIK PADI, 1935
Catatan: berikut ini kami sajikan hal-hal yang berkaitan dengan Jawa pada umumnya di masa lalu (bukan hanya Yogya dan Solo)
Pada saat ini hampir tidak mungkin lagi didapatkan pekerja pemetik padi yang menggunakan alat yang berupa ani-ani. Ani-ani adalah alat semacam pisau yang bilang tajamnya dipasang pada sebidang papan kecil. Papan kecil ini kemudian diberi tangkai vertical (melintang) di tengah papan tersebut. Tangkai ani-ani umumnya terbuat dari bambu dengan diameter sekitar 2,5-3 Cm. Pada ujung tangkai yang terbuat dari bamboo ini biasanya dibuat meruncing dengan fungsi agar bisa diselipkan di atas gelungan rambut atau di pelipit dinding bambu. Panjang tangkai ini sekitar 15-20 Cm.
Sedangkan papan sebagai tempat melesakkan bilah/lempengan pisau itu mempunyai ukuran sekitar 5 Cm x 8 Cm dengan ketebalan papan tidak lebih dari 1 Cm. Lebar bilah pisau itu sendiri juga tidak lebih dari 1 Cm.
Dengan alat seperti itulah wanita-wanita Jawa di masa lalu menuai padi di sawah. Kita bisa membayangkan sendiri bahwa proses penuaian padi dengan alat yang hanya bisa dipegang oleh satu tangan ini tentu membutuhkan waktu yang cukup lama. Tidak mengherankan jika proses pemanenan padi di Jawa pada masa lalu relatif membutuhkan banyak tenaga penuai. Secara tradisi pula proses penuaian padi ini hampir seluruhnya melibatkan kaum hawa.
Hal-hal seperti tersebut di atas tentu saja tidak bisa dilepaskan dari tradisi agraris di Jawa beserta mitos dan legenda yang melingkupinya. Padi bagi masyarakat Jawa adalah buah kemurahan Dewi Kesuburan atau Dewi Sri atau bahkan dianggap sebagai pengejawantahan dari Dewi Sri sendiri. Oleh karena itulah padi diperlakukan secara istimewa. Pemanenan dengan menggunakan alat yang berupa ani-ani hanya dapat dilakukan dengan memotong batang padi setangkai demi setangkai. Proses ini dianggap sebagai bentuk penghargaan terhadap Dewi Sri.
Kecuali itu, dari hal tersebut sebenarnya dapat juga ditarik dugaan bahwa prose s penuaian padi dengan cara-cara tersebut merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap karya atau kinerja sendiri. Jika bukan diri sendiri yang menghargai karyanya sendiri, lalu siapakah yang akan menghargai karya sendiri. Demikian kira-kira filosofi yang diterapkan dalam dunia pertanian padi ini. Dari sisi ini pula sebenarnya dapat ditarik kesimpulan bahwa penghargaan terhadap hasil kerja sendiri melahirkan rasa cinta yang dalam, keterikatak emosional dengan karya tersebut. Demikian pula halnya dengan dunia perpadian di Jawa masa lalu.
Tidak mengherankan jika masyarakat Jawa sering pula berdialog dengan tanaman padi dengan membayangkan bahwa padi menanggapi omongannya. Ini bukan sesuatu yang aneh atau gila. Ini adalah bentuk keterikatan emosional yang mendalam antara pencipta karya (kerja) dengan objek ciptaan/kerjanya. Dengan demikian, objek kerja secara pasti akan diperlakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hasilnya pun baik. Baik secara fisik maupun baik (memuaskan) secara batin. Hal semacam ini dapat disejajarkan dengan proses pembuatan keris oleh para empu.
Berikut ini kami sajikan gambar Gadis Jawa Pemetik Padi hasil reproduksi dari buku berjudul Camera-Beelden van Sumatra, Java, Bali karya K.T. Satake yang dipublikasikan di Surabaya tahun 1935 serta dibuat dan dicetak di kota Middlesbrough, Inggris oleh Hood & Co. Ltd.. Barangkali di zaman sekarang tidak akan pernah ditemukan lagi seorang gadis dengan penampilan dan kegiatan seperti itu.
Sartono
TAMANSARI 1935 DAN TAMANSARI NOVEMBER 2007
Tamansari yang terletak di sisi barat Keraton Yogyakarta merupakan objek peninggalan sejarah yang sampai sekarang masih dapat dikenali dengan baik. Objek ini juga telah menjadi salah satu objek andalan untuk kunjungan pariwisata di Yogyakarta.
Tamansari yang dibangunpada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I (1755-1792) dan dilanjutkan oleh Sultan Hamengku Buwana II (1792-1810) ini memiliki banyak bagian yang dapat dikatakan sebagai unik. Keseluruhan bangunan dibuat dengan batu bata. Lengkung, pilar, dan ring hampir semuanya dibuat dengan sistem susunan rollaag.
Menurut beberapa sumber tamansari dibangun oleh Demang Tegis. Demang Tegis ini dalam sumber tersebut dinyatakan sebagai orang dari Portugis yang terdampar di Pantai Mancingan (Parangtritis, Bantul). Orang yang tidak mampu berbahasa Jawa ini dipandang sebagai orang aneh oelh masyarakat setempat waktu itu sehingga diserahkan ke Keraton Yogyakarta. Oleh Sultan Hamengku Buwana I kemudian ia diserahi tugas untuk merancang pembangunan Tamanasari.
Versi yang lain menyebutkan bahwa arsitek Tamanasari ini adalah Raden Rangga Prawirosentiko (Bupati Madiun) yang waktu itu menjadi vassal Yogyakarta. Pembangunan Tamansari itu sendiri ditandai dengan sengkalan yang berbunyi catur naga rasa tunggal (1684). Ketika selesai dibangun pun hal itu ditandai dengan sengkalan yang berbunyi lajering kembang sinesep peksi (1691).
Beriktu ini disajikan foto-foto Tamansari dari buku Camera-Beelden van Sumatra, Java, Bali karya KT. Satake yang dipbulikasikan di Surabaya pada tahun 1935 serta dibuat dan dicetak di Middlesbrough, Inggris oleh Hood & Co Ltd. dan foto-foto Tamansari hasil jepretan Tembi bulan November 2007.
Sartono
MAIN KARTU MODEL ORANG JOGJA ZAMAN DULU
Permainan atau bermain pada hakikatnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Ada berbagai macam bentuk permainan di dalam kehidupan manusia. Permainan di suatu wilayah tertentu mungkin berbeda dengan wilayah yang lain. Mungkin pula ada jenis-jenis permainan yang pada hakikatnya sama, namun memiliki nama atau istilah yang berbeda di wilayah lain.
Bentuk permainan yang beragam itu bisa meliputi permainan yang bersifat mendidik, sekadar mengisi waktu luang, rekreatif, dan sebagainya. Tingkat kesulitan permainan pun beragam. Demikian juga dengan jenis alat yang digunakannya.
Salah satu permainan yang sampai sekarang masih populer adalah permainan yang menggunakan alat berupa kartu. Kita sekarang mengenalnya dengan kartu remi, kartu dari berbagai gambar tokoh/cerita, domino, tarot, dan kartu cina.
Pada masa lalu permainan yang menggunakan alat jenis kartu ini begitu populer di masyarakat Jawa. Permainan ini pun berkembang menjadi perjudian. Maklum pada masa lalu perjudian semacam itu belum tegas-tegas dilarang. Selain berkembang menjadi permainan yang identik dengan perjudian, permainan kartu semacam itu pada masa lalu memang dibutuhkan untuk mengisi waktu luang. Waktu luang ini umumnya adalah malam hari yang oleh orang Jawa dikatakan dengan istilah cegah lek ‘berjaga agar tetap melek’ alias tidak mengantuk atau tidur.
Cegah lek itu dianggap penting sebab pada masa itu orang-orang yang sedang mengadakan hajatan umumnya membutuhkan kehadiran tamu atau tetangganya untuk memeriahkan, membantu, dan ikut menjaga keluarga yang sedang punya hajat tersebut. Agar tetangga atau famili yang datang itu tidak jenuh, mengantuk, dan sebagainya, maka mereka bermain kartu. Dengan bermain mereka menjadi asyik dan bahkan sering lupa waktu. Keasyikan itu akan bertambah karena di tempat tersebut biasanya juga disesiakan makanan dan minuman. Mempertaruhkan sesuatu (misalnya uang) dalam permainan itu juga akan menambah keasyikan bermain.
Gambar berikut memperlihatkan bagaimana suasana asyiknya bermain kartu cina dalam masyarakat Jawa (Jogja) yang terjadi di masa lalu. Tampak ada seorang anak remaja yang ikut menunggui permainan itu sambil menyiapkan minuman di atas tungku (anglo), sementara para pemain kartu asyik dengan kartu masing-masing. Tampak mereka berkonsentrasi penuh untuk memenangkan permainan yang tengah dilakukan. Di sisi lain tampak dua buah piring yang berisi bungkusan makanan. Pakaian yang mereka kenakan juga mencirikan identitas kejawaan atau kelokalan mereka nun di masa lalu. Demikian juga dengan dinding gedhek di sisi mereka yang untuk zaman sekarang mungkin akan sulit ditemukan.
Sumber: Europese Bibliotheek-Zaltbommel, 1970, In Javansche Vorstenlanden in Oude Ansichten, Amsterdam.
sartono
Djogdja Tempo Doeloe - TAMAN BUDAYA YOGYAKARTA
TAMAN BUDAYA YOGYAKARTA: DULU DAN KINI
Bagi seniman dan budayawan bahkan bagi pelajar dan mahasiswa, nama Taman Budaya bukan merupakan nama yang asing lagi. Nama itu menunjuk pada sebuah kompleks bangunan yang mula-mula berdiri di sisi selatan Lapangan Pancasila UGM. Taman Budaya yang kemudian dilengkapi dengan nama Purna Budaya itu tidak bisa disangkal menjadi salah satu ikon bagi kesenian di Yogyakarta.
Taman Budaya didirikan karena timbulnya sebuah gagasan dari Ida Bagus Mantra, yang pernah memegang jabatan Direktur Jenderal Kepbudayaan pada tahun 1970-an. Gagasan itu timbul setelah beliau melanglang buana. Di berbagai belahan dunia itulah beliau menjumpai pusat-pusat kebudayaan atau kesenian yang begitu maju dan sangat hidup. Pusat-pusat kebudayaan atau kesenian itu juga dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang cukup lengkap dan memadai. Setidaknya beliau melihat bahwa setiap gedung pusat kebudayaan atau kesenian itu dilengkapi dengan tempat pertunjukan, ruang galeri, teater terbuka, ruang workshop, ruang kantor, perpustakaan, dan sebagainya yang semuanya dibangun secara integrative. Hal inilah yang kemudian menumbuhkan gagasannya untuk ikut mendirikan pusat kebudayaan di Indonesia.
Pada tahun 1978 keluarlah SK Mendikbud RI dengan nomor 0276/0/1978. SK ini mendasari berdirinya Taman Budaya di beberapa propinsi di Indonesia, termasuk Yogyakarta. Taman Budaya Yogyakarta inilah yang kemudian memikul tanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Kebudayaan serta mempunyai tugas untuk melaksanakan pengembangan kebudayaan daerah propinsi.
Taman Budaya Yogyakarta yang menempati dan mengelola Gedung Purna Budaya yang merupakan Kompleks Pusat Pengembangan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Peresmian gedung Taman Budaya Purna Budaya ini diresmikan pada tanggal 11 Maret 1977 oleh Sri Sultan Hamengku Buwana IX yang waktu itu masih menjabat sebagai Wakil Presiden RI. Gedung ini diperuntukkan untuk membina, meneliti, memelihara, dan mengembangkan kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penambahan nama Purna Budaya itu merupakan prakarsa Sri Sultan Hamengku Buwana IX. Sedangkan ruang-ruang atau bagian-bagian di dalam kompleks gedung itu ada yang dinamakan Bangsal Langembara, Bangsal Panti Wurya, Perpustakaan, Kantor, Taman, dan Areal Parkir di depan dan samping gedung.
Bangsal Panti Wurya lebih diperuntukkan untuk pementasan. Bagian ini dilengkapi dengan panggung dan didukung oleh ruang-ruang untuk penelitian dan pengembangan berupa studio tari, perpustakaan, ruang diskusi, dan administrasi. Sedangkan bangunan Langembara terdiri atas ruang pameran, ruang workshop, dan dilengkapi dengan ruang kantin serta guest house.
Tahun 1991 terbit SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0221/0/1991 menggantikan SK Menteri Nomor 0276/0/1978 tentang organisasi dan tata kerja Taman Budaya yang baru. Kemudian dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang otonomi daerah maka Taman Budaya Yogyakarta bersama seluruh Taman Budaya di Indonesia masuk pada struktur Pemerintah Daerah dan dalam hal ini Taman Budaya Yogyakarta masuk dalam struktur Dinas Kebudayaan dan Pariwisata melalui masa transisi dari tahun 2000-2001. Baru kemudian berdasarkan Perda Nomor 7 Tahun 2002 dan Keputusan Guybernur DIY Nomor: 161 Tahun 2002 tanggal 4 Nopember, Taman Budaya Yogyakarta secara resmi menjadi UPT Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi DIY dengan memiliki fungsi pelaksanaan operasional sebagian kewenangan Dinas dalam hal pengembangan/pengelolaan, pusat dokumentasi, etalase, dan informasi seni budaya dan pariwisata.
Tahun 1995 Rektor UGM melalui Mendikbud RI dengan surat Nomor UGM/422/PL/IV tanggal 23 Januari 1995 menerima Gedung Taman Budaya Purna Budaya di kompleks Bulaksumur untuk kegiatan kemahasiswaan, maka berdasarkan kesepakatan bersama antara Sri Sultan Hamengku Buwono X, BAPPEDA Propinsi DIY, DPRD propinsi DIY, Walikota Yogyakarta dan Dirjen Kebudayaan pada tahun anggaran 1999/2000 telah dibangun Gedung Kesenian di kawasan cagar budaya Benteng Vredeburg yang ditetapkan berdasarkan implementasi Piagam Perjanjian antara Sri Sultan Hamengku Buwana IX dengan Mendikbud RI tanggal 9 Agustus 1980.
Gedung Taman Budaya Purna Budaya akhirnya diserahkan oleh Pemerintah Daerah propinsi DIY kepada UGM dengan Berita Acara Penyerahan Nomor 011/237 tanggal 19 April 2005, dan sejak itu seluruh aktivitas Taman Budaya berada di kompleks Gedung Kesenian Sositet. Pada perkembangannya bekas Taman Budaya Purna Budaya itu berubah nama menjadi Pusat Kebudayaa UGM Koesnadi Hardjasumantri.
Berikut tampilan dua buah gedung yang cukup berjasa dalam pengembangan berbagai kegiatan terutama yang bersangkutan dengan kesenian/kebudayaan. Tampilan ini hasil bidikan Tembi pada 17 April 2008. Silakan menikmati.
Tulisan di atas berdasarkan sumber: Buletin Biennale Yogyakarta IX-2007, Neo Nation, terbitan Taman Budaya Yogyakarta, halaman 08.
foto dan teks: Sartono
Djogdja Tempo Doeloe - PEDAGANG MAKANAN KELILINGAN DI YOGYAKARTA MASA LALU
Pedagang keliling sudah dikenal di Yogyakarta entah sejak zaman kapan. Kemungkinan sudah sejak zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Budha berdiri. Berdagang dengan cara berkeliling ini mungkin kalau dalam konsep manajemen model sekarang diistilahkan sebagai menjemput bola. Konsep itu ternyata telah dilakukan sejak masa lalu, sungguhpun orang-orang tersebut tidak pernah dikenalkan pada teori ekonomi atau marketing modern.
Berikut ini disajikan gambar tentang profil pedagang makanan di Yogyakarta pada masa lalu yang menjajaknnya dengan cara berkeliling dari kampung ke kampung. Secara esensial mungkin tidak berbeda dengan pedagang kelilingan di Yogyakarta pada zaman sekarang. Akan tetapi jika kita cermati ternyata memang ada beberapa perbedaannya.
Setidaknya, pedagang kelilingan zaman sekarang tentu mengenakan baju atau kaus sebagai perlindungan terhadap anggota badan bagian atasnya. Lagi pula dalam pengertian sekarang, orang yang tidak berbaju atau berkaus kemudian berkeliling dan bertemu dengan orang lain dianggap tidak sopan. Sementara pedagang kelilingan yang ditampilkan dalam gambar ini tidak berbaju atau berkaus. Demikian juga dengan anak laki-laki remaja (yang kemungkinan anaknya) juga tidak berbaju atau berkaus.
Pada masa itu kemungkinan besar kebanyakan kaum laki-lakinya memang tidak berbaju atau berkaus jika sedang bekerja. Mereka baru mengenakan baju jika akan menghadap pembesar, menemui tamu, atau kondangan. Dalam keseharian mungkin mereka terbiasa untuk tidak berbaju. Maklum negara tropis hawanya cukup panas (sumuk). Demikian juga dengan kondisi di Yogyakarta.
Dalam konsepsi sekarang, orang yang berjualan makanan dengan tidak mengenakan baju atau kaus mungkin bisa dianggap tidak sopan sekaligus tidak sehat (higienis) dan juga, menjijikkan. Orang bisa membayangkan sendiri bagaimana jadinya ketika ia sedang meramu atau meracik makanan untuk konsumen tiba-tiba keringatnya menetes dan jatuh di atas makanan yang sedang diraciknya itu. Tentu jauh dari sedap bukan ? Bukan hanya itu. Keringat yang berleleran dari pedagang makanan yang tidak berbaju juga memberikan dampak buruk pada aroma dan tampilan makanan serta profil penjualnya secara keseluruhan. Hal ini jelas mengganggu imajinasi konsumen yang akan menyantap makanan yang dibelinya.
Pada masa lalu kemungkinan besar hal itu belum menjadikan masalah yang serius karena hampir semua laki-laki memang tidak berbaju ketika bekerja di luar ruangan. Pada masa lalu hal semacam itu dianggap sebagai sesuatu yang biasa saja atau umum-umum saja. Akan tetapi pada masa kini hal semacam itu dianggap luar biasa. Mungkin malah dianggap tidak beradab, tidak sopan, dan menjijikkan.
Jika pada masa kini orang masih menemukan penjual makanan yang berpenampilan seperti gambar tersebut mungkin itu sebuah kekecualian atau justru sebuah keistimewaan. Jika orang membeli makanan dari penjual yang demikian, hendaknya ia tidak berimajinasi atau membayangkan sesuatu yang buruk atau yang menjijikkan agar dalam mencicipi makanan yang dibelinya orang tersebut tidak merasa terganggu.
Sumber:
Europese Bibliotheek-Zaltbommel MCML XXI, 1970, De Javaansche Vorstenlanden in Oude Ansichten, Amsterdam: De Bussy Ellerman Harms n.v., halaman160.
Sartono
Djogdja Tempo Doeloe - DAKON: PERMAINAN TRADISIONAL MASA LALU
Permainan dakon dikenal sebagai permainan tradisional masyarakat Jawa sekalipun permainan ini dikenal juga di daerah lain. Pada masa lalu permainan ini sangat lazim dimainkan oleh anak-anak bahkan remaja wanita. Tidak ada yang tahu mengapa permainan ini identik dengan dunia wanita. Menurut beberapa pendapat karena permainan ini identik atau berhubungan erat dengan manajemen atau pengelolaan keuangan. Pada masa lalu (bahkan hingga kini) kaum hawa disadari atau tidak berperanan penting dalam pengelolaan keuangan rumah tangga. Dakon dianggap menjadi sarana pelatihan terhadap pengelolaan atau manajemen keuangan tersebut. Untuk kaum adam mungkin permainan semacam ini dianggap terlalu feminine, kurang menantang, tidak memerlukan kegiatan otot dan pengerahan tenaga yang lebih banyak. Jadi, barangkali dianggap terlalu lembut.
Pada saat sekarang permainan dakon ini boleh dikatakan tidak ada lagi. Anak-anak putri sekarang lebih tertarik bermain boneka Barbie, melihat sinetron, atau bermainn play station. Permainan dakon barangkali dianggap telah kuno, ketinggalan zaman, atau bahkan dianggap udik.
Umumnya permainan dakon pada zaman dulu dilakukan di pendapa, beranda rumah, atau di bawah pohon yang rindang dengan terlebih dulu menggelar tikar. Untuk memulai permainan yang melibatkan dua orang ini, keduanya akan mengundi atau ping sut untuk menentukan siapa yang jalan duluan.
Lubang pada papan dakon berjumlah 16 buah. Masing-masing sisi papan dakon terdapat 7 buah lubang dan 2 buah lubang di masing-masing pojokan/ujung papannya. Untuk memainkannya biasanya diperlukan biji-bijian untuk isian lubang-lubangnya. Umumnya biji yang digunakan untuk permainan ini adalah biji buah sawo. Mengapa biji buah sawo ? Jawabannya adalah karena tanaman sawo umumnya terdapat di hampir semua pekarangan (depan) rumah-rumah Jawa di masa lalu, khususnya rumah-rumah orang yang cukup mampu. Lebih-lebih rumah ningrat yang memiliki pendapa. Kecuali itu butiran biji sawo tidak terlalu kecil untuk dicomot. Permukaannya licin sehingga cukup mudah untuk diluncurkan dari genggaman sekaligus cukup mudah juga untuk digenggam telapak tangan. Selain itu, biji buah sawo yang dinamakan kecik itu secara visual memang tampak lebih eksotik (barangkali).
Untuk permainan dakon yang juga dinamakan congklak itu diperlukan 98 buah biji sawo. Masing-masing sisi dakon yang memiliki 7 buah lubang itu diisi 7 buah biji untuk masing-masing lubangnya. Jadi, masing-masing pemain memiliki 49 buah biji kecik yang siap dijalankan. Sedangkan lubang di bagian ujung (pojok) dakon dikosongkan untuk menampung sisa biji ketika permainan dijalankan.
Berikut ini Tembi menyajikan sebuah gambar permainan dakon yang berasal dari masa lalu. Cermati detail penampilan kedua orang yang bermain dakon itu. Pakaiannya masih pakaian Jawa gaya jadul. Juga model dandanan rambutnya. Belum ada yang bermodel dicat (semir), dikeriting, diblow, dan sebagainya. Gambar atau foto ini diharapkan mampu menggugah kenangan Anda di masa lalu (khususnya generasi tua) yang pernah bersentuhan dengan permainan dakon. Anda mesti ingat bahwa permainan ini sesungguhnya merupakan serpihan kecil dari unsur pembentuk budaya dan karakter bangsa. Daripadanya sesungguhnya kita bisa memetik banyak manfaat yang kadang kita sendiri tidak menyadarinya. Dengan permainan itu kita telah dilatih untuk terampil, cermat, sportif, jujur, adil, tepa selira, dan akrab dengan orang lain (teman).
Sartono
Sumber: Europese Bibliotheek-Zaltbommel, 1970, De Javaansche Vorstenlanden in Oude Ansichten, Nederland.
Djogdja Tempo Doeloe - MASJID AGUNG YOGYAKARTA: DULU DAN KINI
Masjid Agung Keraton Yogyakarta adalah bangunan masjid yang didirikan di pusat (ibukota) kerajaan. Bangunan ini didirikan semasa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I (1755-1792). Perencanaan ruang kota Yogyakarta konon didasarkan pada konsep taqwa. Oleh karenanya, komposisi ruang luarnya dibentuk dengan batas-batas berupa penempatan lima masjid kasultanan di empat buah mata angin dengan Masjid Agung sebagai pusatnya. Sedangkan komposisi di dalam menempatkan Tugu (Tugu Pal Putih) - Panggung Krapyak sebagai elemen utama inti ruang. Komposisi ini menempatkan Tugu Pal Putih-Keraton-Panggung Krapyak dalam satu poros.
Bangunan Masjid Agung Keraton Yogyakarta berada di areal seluas kurang lebih 13.000 meter persegi. Areal tersebut dibatasi oleh pagar tembok keliling. Pembangunan masjid itu sendiri dilakukan setelah 16 tahun Keraton Yogyakarta berdiri. Pendirian masjid itu sendiri atas prakarsa dari Kiai Pengulu Faqih Ibrahim Dipaningrat yang pelaksanaannya ditangani oleh Tumenggung Wiryakusuma, seorang arsitek keraton. Pembangunan masjid dilakukan secara bertahap. Tahap pertama adalah pembangunan bangunan utama masjid. Tahap kedua adalah pembangunan serambi masjid. Setelah itu dilakukan penambahan-penambahan bangunan lainnya.
Bangunan Masjid Agung terdiri dari beberapa ruang, yaitu halaman masjid, serambi masjid, dan ruang utama masjid. Halaman masjid terdiri atas halaman depan dan halaman belakang. Halaman masjid merupakan ruangan terbuka yang terletak di bagian luar bangunan utama dan serambi masjid. Halaman ini dibatasi oleh tembok keliling. Sedang halaman belakang masjid merupakan makam Nyi Achmad Dahlan dan beberapa makam lainnya.
Ada lima buah pintu yang dapat digunakan untuk memasuki halaman masjid. Dua buah pintu terletak di sisi utara dan selatan. Sedangkan pada sisi timur terdapat sebuah pintu yang berfungsi sebagai pintu gerbang utama. Bentuk pintu gerbang yang sekrang ini adalah semar tinandu dengan atap limasan. Pada kedua sisi gapura ini terdapat dua bangunan yang disebut bangsal prajurit. Pintu gerbang dihubungkan dengan sebuah jalan yang membelah halaman depan menjadi dua bagian. Jalan ini diapit dua buah bangunan yang dinamakan pagongan.
Bangunan serambi masjid dipisahkan dari halaman masjid. Bangunan pemisahan itu berupa pagar tembok keliling dengan lima buah pintu masuk. Pada sisi timur terdapat tiga buah pintu dan satu buah pada sisi utara serta selatan. Bangunan serambi ini juga dikelilingi dengan sebuah parit kecil (kolam) pada sisi utara, timur, dan selatan. Tempat/bangunan yang digunakan untuk berwudhu terdapat di sebelah utara dan selatan serambi. Hanya saja parit tersebut sekarang tidak tampak lagi. Anda dapat membandingkan dua gambar yang ditampilkan di tembi. Temukan perbedaan antara keduanya. Barangkali Anda bisa ikut memperkirakan bagaimana kira-kira bangunan Masjid Agung Yogyakarta di masa lalu.
Bangunan serambi masjid berbentuk denah empat persegi panjang. Serambi didirikan di atas batur setinggi satu meter. Pada serambi ini terdapat 24 tiang berumpak batu yang berbentuk padma. Umpak batu tersebut berpola hias motif pinggir awan yang dipahatkan. Atap serambi masjid berbentuk limasan.
Sejak awal mula hingga sekarang Masjid Agung Keraton Yogyakarta merupakan masjid yang sangat penting tidak saja untuk tempat peribadatan umat Islam secara umum, namun juga untuk penyelenggaraan upacara-upacara adat Keraton Yogyakarta.
Djogdja Tempo Doeloe - PIJAT ALA JAWA DI JOGJA TEMPO DOELOE
Teknik pemijatan untuk melemaskan, menetralkan, dan menyembuhkan berbagai keluhan yang bersangkutan dengan otot atau urat telah dikenal manusia sejak entah kapan. Pada berbagai masyarakat di berbagai belahan dunia hal itu bahkan dikenal sejak jauh sebelum tahun Masehi. Kita bisa melihat hal itu pada berbagai kebudayaan masyarakat kuno seperti Mesir, Yunani, Romawi, Cina, Jepang, India, Mesopotamia, dan sebagainya.
Di Jawa pun kita mengenal apa yang disebut teknik pemijatan. Masyarakat Jawa tidak asing lagi dengan sebutan atau istilah didadah atau didadahke. Kedua istilah ini mengacu pada pengertian pemijatan untuk bayi atau kanak-kanak. Bahkan pada masa lalu orang Jawa secara berkala mendatangi dukun pijat untuk memijatkan anak atau bayinya. Hal itu dilakukan untuk membuat otot-otot bayi menjadi rileks atau lemas. Dengan demikian, kesehatan dan pertumbuhan bayi atau kanak-kanak tersbeut menjadi lebih baik.
Dukun bayi yang ahli dalam soal pijat-memijat bayi umumnya juga cukup ahli untuk memijat orang dewasa. Di samping menguasai teknik memijat umumnya dukun-dukun bayi di Jawa juga mempunyai pengetahuan lain misalnya pengetahuan meramu jamu atau obat. Pengetahuan tentang berbagai mantra yang difungsikan untuk kesehatan atau penyembuhan, pengusiran sawan atau makhluk halus yang suka mengganggu bayi atau kanak-kanak.
Pemijatan umumnya memang ditujukan untuk penyembuhan. Minimal memberi efek lega atau rileks bagi yang dipijat. Tidak mengherankan jika di berbagai desa di Jawa maupun di tempat lain banyak orang yang memberikan atau menawarkan jasa pemijatan. Kecuali itu banyak pula orang yang membutuhkan pelayanan jasa pijat untuk kesehatannya.
Pemijatan untuk penyembuhan ataupun sekadar untuk santai-santai melepas lelah juga banyak disukai di berbagai belahan dunia termasuk di Jawa. Pada masa lalu orang sering mengundang tukang pijat untuk ke rumah untuk berbagai keperluan yang menyangkut berbagai keluhan pada otot-ototnya.
Pijat dan petan ‘mencari kutu’ bagi masyarakat Jawa merupakan dua kegiatan yang banyak disukai. Bagi ibu-ibu atau kaum perempuan yang tidak lagi punya pekerjaan, acara pijat dan mencari kutu merupakan acara yang sangat menyenangkan. Di samping mereka bisa melakukan relaksasi, mereka juga dapat ngerumpi, ngobrol tentang berbagai hal.
Berikut ini ditampilkan suasana pijat yang dilakukan wanita Jawa (Jogja). Tampak bahwa wanita yang dipijat menikmati pemijatan yang dilakukan oleh seorang ibu pemijat di belakangnya. Pakaian yang dikenakan keduanya menunjukkan ketradisionalan pakaian wanita Jawa di masa lalu.
Sumber: Europese Bibliotheek, 1970, De Javaansche Vorstenlanden in Oude Ansichten,
Djogdja Tempo Doeloe - BATU GILANG DAN BATU GATENG KOTAGEDE DI MASA LALU
Sela Gilang dan Watu Canteng atau Watu Gateng yang terletak di bekas kompleks Keraton Mataram Kotagede, Yogyakarta menjadi salah satu artefak penanda bagi eksistensi Keraton Mataram Islam di masa lalu. Kini kedua benda itu telah diberi pengaman berupa cungkup (rumah-rumahan) dari tembok dengan ukuran sekitar 2,5 x 2 meteran dengan pintu menghadap ke timur. Kedua benda dalam cungkup ini sejak dulu hingga kini menjadi salah satu tujuan kunjungan wisata dalam lingkungan kota lama atau bekas kompleks Keraton Mataram Kotagede. Kini, cungkup tersebut diapit atau dikitari oleh jalan beraspal yang menghubungkan Pasar Kotagede-Makam Kotagede-Sela Gilang-Kampun Dalem-Ring Road Selatan.
Jika kita tilik ke belakang, ternyata kedua benda itu dulunya ditempatkan dalam alam terbuka. Hanya diberi pelindung berupa atap yang diberi tiang kayu berjumlah empat buah. Dua buah pohon beringin besar tumbuh di kanan kiri batu-batu tersebut seolah menjadi sosok-sosok yang menjaganya. Sesosok orang di samping dalam posisi berdiri seperti memberi petunjuk bahwa dialah sang jurukunci atau juru peliharanya. Pelataran di depan kedua batu yang tampak bersih serta pekarangan di latar belakang objek tersebut mengesankan sebuah suasana dusun atau kampung yang masih sunyi di masa itu.
Pada masa itu orang yang lewat atau datang ke tempat itu akan dengan segera dapat melihat Watu Gilang dan Watu Gateng karena tempatnya memang tidak tertutup. Akan tetapi dengan terbukanya tempat itu menjadikannya rawan dari sentuhan tangan jahil atau tindakan negatif lainnya. Barangkali di masa itu keusilan orang memang belum separah di zaman sekarang sehingga kedua benda cagar budaya itu pada masa itu tidak diutak-utik orang.
Sekarang pun Anda masih bisa menyaksikan Watu Gateng dan Watu atau Sela Gilang di bekas Keraton Mataram Kotagede. Namun Anda tentu tidak dapat lagi menangkap suasana seperti suasana yang ditampilkan dalam foto ini. Sebelum Anda berkunjung ke sana akan lebih lengkap jika Anda mempunyai referensi tentang Watu Gateng dan Watu Gilang jauh di masa lalu. Silakan menikmati.
Sartono
Sumber: Europese Bibliotheek-Zaltbommel, 1970, De Javaansche Vorstelanden in Oude Ansichten, Nederland.
Djogdja Tempo Doeloe - “SLUKU-SLUKU BATHOK” DOLANAN ANAK JAWA TAHUN 1935
Ada banyak permainan anak Jawa, yang lazim disebut ‘dolanan’. Salah satu dolanan itu dikenal dengan nama ‘Sluku-sluku Bathok’. Biasanya dolanan ini dimainkan oleh kaum perempuan, bisa berjumlah empat atau lebih. Meski bisa dilakukan sendiri, tapi hampir jarang dilakukan, karena dolanan ini memerlukan interaksi dengan orang lain.
Tahun 1960-an sampai pertengahan tahun 1970-an, Sluku-sluku Bathok masih sering dimainkan oleh anak-anak Jawa. Tidak hanya anak-anak yang tinggal di kota, anak-anak yang tinggal di pinggiran kota, atau lazim disebut sebagai desa, masih bermain Sluku-sluku Bathok. Bahkan mungkin sampai akhir tahun 1970-an dolanan Sluku-sluku Bathok masih dimainkan. Dalam bermain, sambil duduk dengan kaki berselonjor dan mengelus permukaan kaki dari atas ke bawah secara terus menerus sembari bernyanyi. Begini lagu Sluku-sluku Bathok itu:
Sluku-sluku bathok
Bathoke ela-elo
Si Rama menyang solo
Oleh-olehe payung motha
Mak jenthir lolo lobah
Wong mati ora obah
Nek obah medeni bocah
Nek urip goleko duwit
Foto yang tertera pada tulisan ini adalah foto dolanan Sluku-sluku Bathok tahun 1935. Foto ini dokumentasi Museum Sanabudaya dan dipakai sebagai ilustrasi tanggalan oleh ELTI-EltiRa.
Dari tahun foto yang tertera, bisa kita mengerti, bahwa dolanan Sluku-sluku Bathok sudah lama dikenal oleh anak-anak Jawa. Pada tahun 1935, setidaknya seperti terlihat pada foto, anak-anak perempuan Jawa masih berpakaian sangat sederhana. Pakaian yang dikenakan hanya untuk menutupi bagian dada ke bawah.
Dolanan ini bisa dimainkan sore hari, petang hari, atau juga siang hari. Pendeknya, Sluku-sluku Bathok dimainkan untuk mengisi waktu senggang. Dolanan ini bisa mengakrabkan pergaulan.
Tetapi, Sluku-sluku Bathok sekarang tidak lagi dikenal oleh anak-anak, yang terbiasa bermain menggunakan teknologi modern. Barangkali juga, anak-anak tidak mengenal nama dolanan Sluku-sluku Bathok.
Ons Untoro
Djogdja Tempo Doeloe - CANDI PRAMBANAN DULU DAN KINI
Candi Prambanan yang dikenal sebagai candi paling indah di Indonesia ini menjadi andalan wisata bagi Propinsi Jawa Tengah dan juga DIY. Kecuali untuk urusan wisata, kompleks candi ini juga menjadi objek studi yang tidak ada habis-habisnya. Ia juga menjadi pusaka yang menjadi kebanggaan bagi seluruh bangsa Indonesia, bahkan dunia.
Candi yang dibangun pada masa pemerintahan Dyah Balitung (8-9 M) ini memiliki riwayat yang cukup panjang sebelum akhirnya berdiri dengan megah dan indah karena proses rekonstruksi yang dilakuan secara bertahap dan berulang-ulang. Kompleks candi ini menjadi objek kekaguman banyak orang tentang betapa sudah majunya bangsa Indonesia atau orang Jawa nun di abad-abad itu.
Teknik penyambungan batuan yang hanya mengandalkan sistem kait dan kuncian serta pasak batu ternyata mampu menyatukan sekian ribu atau bahkan juta potong batu sehingga membentuk arsitektur candi yang demikian megah. Perencanaan pembangunan, pemilihan batuan, pemilihan lokasi, pemilihan tukan potong dan pahat batu, pemilihan seniman pengukir batu, pembiayaan, pemilihan arsitek candi, pemilihan konsepsi religi dengan sistem pantheonnya tentu merupakan sesuatu yang tidak sederhana.
Dari sisi-sisi itu kita bisa dibuat tercengang-cengang. Ternyata nenek moyag kita adalah orang-orang yang brilliant. Kecermelangan nenek moyang kita itu tentu tidak timbul begitu saja. Semuanya melalui proses belajar yang tidak main-main. Apa yang dihasilkan mereka itu tidak saja membanggakan dan menjadi salah satu identitas kita sebagi sebuah bangsa yang memiliki kebudayaan atau peradaban yang tinggi. Kini kita yang hidup di alam yang disebut modern tentu bisa lebih brilliant dalam berpikir, bertindak, menemukan sesuatu yang bermanfaat bagi umat manusia, indah dan penuh makna.
Berikut ini disampaikan foto Candi Prambanan masa lalu (kemungkinan difoto tahun 1914-an). Di sampingnya kita sajikan foto-foto Candi Prambanan yang difoto Tembi pertengahan Juli 2008. Selamat menikmati.
Sumber: Eupese Bibliotheek-Zaltboommel MCMLXXI, 1970, De Javaansche Vorstenlanden in Oude Ansichten, Nederland.
Djogdja Tempo Doeloe - BRANKAS KAYU TAHUN 1904
Saat mendengar istilah brankas, orang akan segera mengingat lemari besi. Memang, brankas yang kita kenal adalah jenis brankas yang menggunakan bahan dari besi dan memiliki kode untuk membukanya, sehingga tidak setiap orang –tanpa mengetahui kodenya— akan bisa membuka brankas.
Rupanya ada brankas yang dibuat dari kayu nangka. Satu abad yang lalu, atau mungkin kalau hendak disebut dengan agak rinci, 104 tahun yang lalu, ada orang yang memiliki brankas, dan terbuat dari kayu.
Brankas --mungkin bisa disebut sebagai tabungan (celengan, jw), atau pendeknya, tempat menyimpan uang-- itu sekarang disimpan di rumah Ribut Marsudi (76 th) di Dusun Bergan, Wijirejo, Pandak, Bantul. Sudah kelihatan lusuh. Maklum usianya sudah satu abad lebih. Tidak terawat secara baik. Kayu nangka yang berwarna kuning tidak lagi kelihatan. Ada bagian yang sudah dimakan rayap, meski hanya sedikit.
Dulunya, di tahun 1904 atau bisa juga jauh sebelum tahun itu, brankas itu dipakai menyimpan uang oleh Ambyah Setraikrama. Ambyah lahir tahun 1825 dan meninggal tahun 1953. Kemungkinan, sebelum 1904 brankas kayu sudah ada.
Ribut Sumardi adalah cucu dari Ambyah Setraikrama. Dulu, demikian Ribut Marsudi mengkisahkan, brankas itu oleh Ambyah dipakai untuk menyimpan uang, yang dulu dikenal dengan sebutan duit abang (uang merah) dan duit putih (uang putih). Uang merah adalah uang tembaga, yang terdiri dari benggol, sen, dan bribil. Uang putih terbuat dari nekel dan perak. Nekel nilainya sen, sedang perak terdiri dari ringgit, rupiah, sukon dan ketip.
Tiap hari uang hasil kerja Ambyah disimpan di brankas kayu. Sampai tahun 1947, brankas itu penuh. Hampir 40 tahun lebih, Ambyah dengan sabar, tiap hari, sedikit demi sedikit menyimpan uang ke dalam brankas. Lubang yang ada di pojok brankas untuk memasukkan uang. Sedang lubang lain untuk memasukkan kayu dan mengikat dengan rantai, sehingga brankas menjadi tidak bisa dibuka, kecuali oleh Ambyah.
Hasil dari uang yang ada di brankas, oleh Ambyah dipakai membeli gamelan satu pangkon slendro, yang terbuat dari perunggu. Untuk nilai uang sekarang, gamelan perunggu harganya puluhan juta rupiah.
Setelah Ambyah meninggal, brankas tersebut oleh anaknya, Tukijan Sastroarjo namanya, tidak dipakai tempat untuk menyimpan uang. Tetapi oleh Tukijan dialihfungsikan sebagai lesung untuk menumbuk padi. Jadi, pada generasi kedua, brankas tersebut sudah beralih fungsi.
Dan Ribut Marsudi adalah anak dari Tukijan Sastroarjo. Awalnya, ia juga meneruskan tradisi ayahnya: menggunakan brankas sebagai lesung. Tetapi sekarang, brankas/lesung tidak difungsikan sebagai piranti petani. Oleh Ribut Sumardi hanya disimpan sebagai benda bersejarah, yang akan kembali dihaluskan supaya warna kayu nangkanya kelihatan.
Brankas itu sekarang ditaruh di bawah pohon melinjo. Terkesan lusuh memang. Namun dalam kelusuhan itu tersimpan sejarah.
Ons Untoro
Djogdja Tempo Doeloe - ANAK-ANAK JOGJA TEMPO DULU TIADA BERBAJU (?)
Pada zaman ini orang sudah demikian akrab dengan perubahan mode pakaian beserta segala macam ragam dan asesorisnya. Bahan sutera, drill, belacu, mori, tetoron, nilon, wool, denim (jeans), kanvas, dan jenis-jenis kain lain sudah melekat di dalam ingatan orang. Demikian pula mode-modenya. Mulai dari kemeja dan celana biasa, pakaian untuk naik gunung, pakaian olah raga, pakaian untuk kondangan, pakaian untuk tidur, pakaian untuk jalan santai, pakaian untuk beribadah, dan sebagainya semuanya ada. Semuanya diciptakan menurut kebutuhan, waktu, dan selera orang. Dengan demikian pula ketersediaan pakaian begitu melimpah. Orang tinggal mengambilnya sesuai dengan selera dan ukuran kantongnya. Itulah yang terjadi sekarang.
Lain halnya dengan zaman dulu. Pada tahun 60-an ke belakang, kebutuhan akan sandang merupakan kebutuhan yang cukup mewah. Tidak setiap orang mampu membeli pakaian dalam jangka waktu yang pendek, misalnya sebulan atau tiga bulan sekali. Bahkan banyak orang terpaksa membeli pakaian setahun sekali. Itu pun dilakukan di Hari Raya Lebaran. Usaha untuk ke arah itu dilakukan dengan berjerih payah: menabung. Menghemat hampir semua pengeluaran.
Kondisi semacam itu merupakan kondisi sehari-hari yang terjadi tidak saja di Yogyakarta masa lalu, namun juga bahkan hampir merata di seluruh bumi Nusantara. Bagi anak atau orang-orang yang lahir di masa Orde Baru kemari, kemungkinan besar kondisi kekurangan pakaian itu nyaris tidak terasakan. Orang-orang yang lahir pada periode ini boleh dikatakan lahir pada zaman Indonesia mengalami kemakmuran. Mereka tidak lagi terpaksa telanjang. Pakaian cukup. Bahkan berlebih. Apalagi untuk urusan makan.
Foto yang ditampilkan Tembi ini menunjukkan betapa masyarakat Yogyakarta di masa lalu hidup dalam serba kekurangan (kebersahajaan). Perhatikan dua orang bocah yang ikut simbok-nya. Mereka sama sekali tidak berpakaian. Simbok atau ibunya pun tidak berbaju. Hanya berkemben saja. Untuk menyusui anaknya pun si ibu tinggal mengeluarkan payudaranya begitu saja untuk si anak. Itu pun dilakukan begitu saja ketika mereka berada di luar rumah. Terkesan sangat natural. Hal seperti ini untuk zaman sekarang mungkin tidak akan kita temukan lagi. Bukan saja karena kemakmuran atau usaha mendapatkan benda-benda untuk kebutuhan hidup menjadi lebih mudah, tetapi juga karena munculnya banyak paham atau kesadaran baru tentang kesehatan, kesopanan, dan “keberadaban”.
Sartono
Sumber: Europese Bibliotheek-Zaltbommel MCMLXXI, 1970, Amsterdam: De Bussy ellerman Harms n.v.