Minggu, 17 Juli 2011

Djogdja Tempo Doeloe - ANAK-ANAK JOGJA TEMPO DULU TIADA BERBAJU (?)

Pada zaman ini orang sudah demikian akrab dengan perubahan mode pakaian beserta segala macam ragam dan asesorisnya. Bahan sutera, drill, belacu, mori, tetoron, nilon, wool, denim (jeans), kanvas, dan jenis-jenis kain lain sudah melekat di dalam ingatan orang. Demikian pula mode-modenya. Mulai dari kemeja dan celana biasa, pakaian untuk naik gunung, pakaian olah raga, pakaian untuk kondangan, pakaian untuk tidur, pakaian untuk jalan santai, pakaian untuk beribadah, dan sebagainya semuanya ada. Semuanya diciptakan menurut kebutuhan, waktu, dan selera orang. Dengan demikian pula ketersediaan pakaian begitu melimpah. Orang tinggal mengambilnya sesuai dengan selera dan ukuran kantongnya. Itulah yang terjadi sekarang.

Lain halnya dengan zaman dulu. Pada tahun 60-an ke belakang, kebutuhan akan sandang merupakan kebutuhan yang cukup mewah. Tidak setiap orang mampu membeli pakaian dalam jangka waktu yang pendek, misalnya sebulan atau tiga bulan sekali. Bahkan banyak orang terpaksa membeli pakaian setahun sekali. Itu pun dilakukan di Hari Raya Lebaran. Usaha untuk ke arah itu dilakukan dengan berjerih payah: menabung. Menghemat hampir semua pengeluaran.

Kondisi semacam itu merupakan kondisi sehari-hari yang terjadi tidak saja di Yogyakarta masa lalu, namun juga bahkan hampir merata di seluruh bumi Nusantara. Bagi anak atau orang-orang yang lahir di masa Orde Baru kemari, kemungkinan besar kondisi kekurangan pakaian itu nyaris tidak terasakan. Orang-orang yang lahir pada periode ini boleh dikatakan lahir pada zaman Indonesia mengalami kemakmuran. Mereka tidak lagi terpaksa telanjang. Pakaian cukup. Bahkan berlebih. Apalagi untuk urusan makan.

Foto yang ditampilkan Tembi ini menunjukkan betapa masyarakat Yogyakarta di masa lalu hidup dalam serba kekurangan (kebersahajaan). Perhatikan dua orang bocah yang ikut simbok-nya. Mereka sama sekali tidak berpakaian. Simbok atau ibunya pun tidak berbaju. Hanya berkemben saja. Untuk menyusui anaknya pun si ibu tinggal mengeluarkan payudaranya begitu saja untuk si anak. Itu pun dilakukan begitu saja ketika mereka berada di luar rumah. Terkesan sangat natural. Hal seperti ini untuk zaman sekarang mungkin tidak akan kita temukan lagi. Bukan saja karena kemakmuran atau usaha mendapatkan benda-benda untuk kebutuhan hidup menjadi lebih mudah, tetapi juga karena munculnya banyak paham atau kesadaran baru tentang kesehatan, kesopanan, dan “keberadaban”.

Sartono
Sumber: Europese Bibliotheek-Zaltbommel MCMLXXI, 1970, Amsterdam: De Bussy ellerman Harms n.v.