Djogdja Tempo Doeloe - PROFIL TKI YOGYA PADA ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA
Jongos adalah istilah yang mengacu pada pengertian abdi, pembantu, atau babu. Akan tetapi dalam praktek kehiduoan sehari-hari istilah jongos ini mengalami penyempitan arti atau peyorasi. Jongos lebih diidentikkan sebagai babu (laki-laki).
Sebenarnya kata jongos sendiri berasal dari bahasa Belanda, jongen. Arti jongen kurang lebih adalah muda, pemuda, junior, atau semacam itu. Dari kata jongen inilah kemudian muncul istilah jongos yang artinya adalah pembantu atau babu.
Pada masa penjajahan Belanda, jongos merupakan tenaga yang sangat dibutuhkan dalam rumah tangga-rumaha tangga keluarga Belanda. Bahkan orang-orang Belanda yang tidak atau belum menikah pun sering mempekerjakan jongos untuk mempermudah aktivitas kehidupannya di bumi koloni. Orang-orang pribumi pun banyak yang senang menjadi jongos karena imbalan yang diterimanya sering lebih besar daripada jika ia mengikuti majikan pribumi.
Dalam perkembangannya jongos sering identik dengan begundal atau kaki tangan orang Belanda. Oleh karena itu jongos mengalami penyempitan makna. Makna yang berkembang kemudian menjadi sedemikian negative atau rendah. Seorang pembantu rumah tangga yang berjenis kelamin laki-laki (karena jongos memang lebih mengacu pada pengertian itu) akan merasa sangat terhina jika disebut jongos.
Gambar atau foto ini memperlihatkan profil seorang jongos dari wilayah jajahan Belanda di Yogyakarta. Penampilan jongos pada masa penjajahan Belanda hampir selalu seperti ini: berikat kepala (destar) baju menyerupai jas warna putih, celana panjang atau komprang yang di bagian luarnya ditutup dengan kain batik atau sarung dengan panjang mulai pinggang hingga di atas lutut.
Sartono
Sumber: Europese Bibliotheek-Zaltbommel, 1970, De Javansche Vorstenlanden in Oude Ansichten, Amsterdam: De Bussy Ellerman Harms n.v.