Djogdja Tempo Doeloe - GADIS JOGJA MASUK FUJINKAI 1944
Masuknya Jepang ke Indonesia tahun 1942 telah menguras habis hampir seluruh sumber daya alam dan manusia Indonesia. Tidak terkecuali bagi Jogja. Tenaga pria dikerahkan sebagai cadangan tenaga prajurit perang, bantuan tempur dan teknis, logistic, kurir, penyelamatan korban perang, dan lain-lain. Tidak ketinggalan pula tenaga wanita pun dikerahkan.
Gadis-gadis dikerahkan dalam perkumpulan perempuan yang disebut fujinkai. Mereka ini ditugaskan di garis belakang untuk mengelola dapur umum, merawat korban perang, menanam pohon kapas, jarak, dan padi serta berbagai pekerjaan yang erat kaitannya dengan kegiatan kaum wanita. Mereka juga dilatih baris-berbaris. Bahkan juga bermain senjata seperti pedang dan bambu runcing. Organisasi ini dilibatkan dalam kegiatan semi militer.
Organisasi fujinkai di Jogja pernah dipimpin oleh BRA Hadikusumo dan dibantu oleh BRA Kusdarinah dengan penasihat GKR Dewi dan Ny. Prawironegoro. Organisasi perempuan ini didirikan di beberapa kecamatan di dalam kota seperti Kecamatan Keraton, Paku Alaman, dan Tugu.
Gadis-gadis dalam fujinkai ini diberi pelajaran tentang kesehatan, rumah tangga, kerajinan, dan olah raga. Mereka diterjunkan ke desa-desa untuk meringankan beban ekonomi masyarakat dengan melatih kerajinan tangan, meningkatkan produksi pertanian, industri rumah tangga, dan lain-lain.
Gambar di samping memperlihatkan bagaimana gadis-gadis yang masuk dalam organisasi fujinkai itu berlatih baris-berbaris. Pelatihan itu sendiri dimulai pada awal Agustus 1944. Rasanya memang agak lucu melihat gadis-gadis latihan baris-berbaris dengan pakaian tradisional Jawa mereka. Kebaya dan jarit tampaknya kurang klop dipakai untuk latihan semacam itu. Akan tetapi di tahun-tahun 40-an hal semacam itu bukan merupakan pemandangan yang aneh. Hal itu lumrah dan biasa-biasa saja.
Apa yang dapat Anda bayangkan jika para gadis dalam pakaian seperti harus berlari kencang karena kejaran musuh ? Mungkinkah mereka akan dapat bergerak dengan bebas dan lincah ? Tentu bagi kita sekarang hal demikian sulit dibayangkan.
Tampak bahwa latihan yang dilakukan oleh para gadis itu dilakukan dengan penuh semangat dan sepenuh hati. Barangkali di masa itu mereka tidak atau belum sadar bahwa mereka didayagunakan oleh Jepang untuk kepentingan atau keuntungan Jepang. Akan tetapi di balik itu ada hikmah juga bahwa mereka menjadi memperoleh pengalaman baru yang mungkin pada waktu berikutnya justru memajukan hidup mereka. Memajukan kehidupan negaranya.
Sumber: Suhartono WP, dkk., 2002, Yogyakarta Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta: Kanisius dengan sponsor Yayasan Soedjatmoko