Djogdja Tempo Doeloe - PAKAIAN PRIA JAWA MASA LALU (ABAD 18)
Menurut catatan Thomas Stamford Raffles dalam buku terkenalnya, The History of Java (1817), orang Jawa ternyata suka mengenakan pakaian rapi, bersih, dan mewah. Bagi orang Jawa berpakaian tidak bersih dan rapi dianggap sebagai suatu aib. Lebih-lebih dalam perhelatan atau dalam pergaulan dengan orang lain. Pada masa itu bahan baku pakaian lebih banyak berasal dari hasil kebun/tegal/ladang yakni berupa serat kapas yang dipintal (tenun) sendiri selain berasal dari kain-kain impor.
Umumnya pakaian gaya Eropa banyak ditiru (karena disukai) oleh para penguasa atau elit Jawa masa itu. Gaya Eropa ini ditegaskan oleh Raffles dalam sebuah peristiwa kunjungan para pejabat pemerintah yang masuk ke pedalaman umumnya akan disambut oleh pejabat-pejabat desa dengan pakaian ala Eropa, yakni topi berbulu, pantaloon, dan kaus kaki berwarna putih. Pakaian seperti ini tampaknya juga terus merambah ke kostum penari. Kini pun kita bisa melihat penari-penari jatilan, kubro siswo, angguk, dan dolalak menggunakan kaus kaki sebagai salah satu kelengkapan cara berpakaiannya. Barangkali kaus kaki di masa itu menjadi symbol kemodernan, kemajuan, kemewahan, dan sekaligus ”gebyar” seperti awal-awal datangnya HP, televisi, sepeda motor, AC, kulkas, dan lain-lain.
Pada masa itu kaum wanita diwajibkan menyediakan pakaian bagi anak-anak maupun suaminya. Baik itu untuk keluarga-keluarga biasa maupun bangsawan. Tidak mengherankan jika kaum laki-laki keluar rumah untuk bertamu ia akan mengenakan pakaian buatan istrinya dengan rasa bangga. Dengan demikian, ada semacam kompetisi dalam membuat pakaian antaribu-ibu rumah tangga masa lalu. Demikian pula dalam keluarga pria-pria bangsawan yang seringkali mempunyai istri atau selir lebih dari satu orang.
Berikut ini adalah gambaran pria Jawa dalam pakaian tardisionalnya menurut tangkapan atau gambaran Raffles. Tampak bahwa bajunya mirip dengan gaya jas Eropa. Udeng atau tutup kepalanya merupakan tutup kepala yang diikatkan dengan sistem simpul (tidak berupa mondolan, kuluk, atau blangkon). Wiru atau lipatan kain yang bertumpuk di bagian tengah (antara dua kaki) kelihatan hanya dilipat begitu saja (tidak disetrika/dijepit). Ikat pinggang (sabuk), epek, kamus, dan stagen seperti yang dikenal dalam pakaian tradisional Jawa sekarang tidak kelihatan menonjol. Kain yang dikenakannya kelihatan hanya diikat sabuk secara agak asal. Pria tersebut juga tidak mengenakan alas kaki (sandal atau selop). Keris tampak diselipkan di bagian depan badan (di depan perut).
Tampaknya gaya berpakaian semacam itu di masa lalu sudah merupakan gaya berpakaian yang cukup rapi dan mewah. Keris yang diselipkan di bagian depan (depan perut) tampaknya juga merupakan kelaziman di masa itu sekalipun kemudian di masa kini pemakaian keris untuk kelengkapan berpakaian adat Jawa hampir selalu diletakkan di punggung bawah.
Gambaran pemandangan sebagai latar belakang dari gambar pria Jawa ini menegaskan bahwa eksotisme Jawa kala itu sungguh menyihir perhatian Raffles pada Tanah Jawa.