Djogdja Tempo Doeloe - WC TAHUN 1920-AN
WC sebagai “tempat sampah” isi perut manusia tidak begitu nyaman ditampilkan atau dibicarakan secara terbuka. Maklum, namanya saja wadah kotoran. Akan tetapi WC merupakan media yang amat vital bagi manusia untuk memanajemeni kotoran manusia. WC menjadi benda yang memisahkan manusia dengan kotorannya sendiri. Ia menjadi media perlindungan bagi manusia agar jangan sampai tampil buruk, tidak sehat, dan terkesan menjijikkan. Bayangkan sendiri jika kita hidup tanpa pernah mengenal adanya WC !
Pada masa lalu masyarakat Jawa (Jogja) ternyata juga pernah (dan mungkin masih) kurang atau tidak mengenal WC. Pada masa lalu mereka biasa membuang kotorannya di kebun, ladang, atau sawah. Yang paling umum adalah menghanyutkannya di aliran sungai atau selokan. Begitu hanyut persoalannya dianggap selesai. Padahal bagian hilirlah yang akan menanggung segala akibatnya. Selain itu ada lagi yang membuang kotorannya ke alam kolam. Jadi di pinggir atau bahkan di tengah kolam mereka membuat ruang kecil yang tertutup di sekelilingnya, namun terbuka di bagian atas dan bawahnya. Untuk menuju tempat ini biasanya dibuatkan semacam jembatan atau tangga kecil. Ruang ini dilengkapi tempat nangkring sehingga orang yang mau buang hajat tinggal nangkring dan kotorannya akan meluncur dan masuk kolam: plung ! Jadilah benda yang terjun bebas itu menjadi santapan ikan di dalam kolam, amboi.
Ada pula yang menanam kotorannya di dalam tanah. Jadi sebelum membuang kotoran mereka menggali lubang terlebih dulu barang dua tiga paculan. Setelah dirasa cukup barulah mereka nongkrong di sisi lubang. Begitu kotoran dianggap dianggap telah meninggalkan tempat semula dan berpindah ke lubang, mereka menguruk lubang tersebut. Perilaku ini mungkin agak mirip dengan perilaku kucing.
Selain yang telah dituliskan di atas ada lagi WC yang dibuat secara sederhana oleh orang Jawa di masa yang yang dikenal dengan nama jumbleng. Hakikatnya jumbleng sama dengan WC yang dibuat di atas kolam seperti tertulis di atas. Hanya saja jumleng ini dibuat di atas tanah. Untuk menampung kotoran dibuatlah lubang yang cukup dalam dan kadang juga lebar. Dengan demikian jumbleng akan dapat menampung kotoran selama beberap bulan atau beberapa tahun tanpa perlu memanggil jasa sedot WC.
Agar saat buang hajat tidak ada orang yang melihat pantat yang telanjang atau organ tubuh lain dibuatlah sekadar penghalang pandangan yang terbuat dari anyaman daun kelapa, gedhek, atau anyaman bambu. Benar-benar sangat sederhana. Umumnya jumbleng ini ditempatkan agak jauh dari bangunan rumah. Biasanya di sudut kebun yang terletak di belakang rumah atau samping rumah. Jadi untuk menuju lokasi diperlukan beberapa puluh langkah. Anda bisa bayangkan sendiri jika orang diserang penyakit diare dan harus beberapa kali mendatangi jumbleng, maka orang tersebut pasti akan terkesan sedang melakukan latihan lari sprint.
Jumbleng di tahun 1920-an masih kaprah di Jawa (Jogja). Dulu hal semacam ini dianggap lumrah-lumrah saja. Akan tetapi di zaman sekarang tentu akan dianggap sebagai primitif, tidak beradab, tidak sehat, dan menjijikkan. Berikut ini disajikan foto jumbleng yang dibuat tahun 1926 oleh pemerintah Belanda. Bandingkan dengan jumbleng modern yang difoto Tembi awal Juni 2010.
a. sartono
Sumber: Gegevens Over Djokjakarta, 1926, Seri A., Kata pengantar oleh Resident van Djokjakarta, L.F. Dingemans (buku koleksi Perpustakaan Tembi Rumah Budaya).