Djogdja Tempo Doeloe - PENGANGKUT MERIAM PADA PERANG JAWA (1825-1830)
Perang Diponegoro yang dikenal pula sebagai Perang Jawa atau de Java Oorlog (1825-1830) telah menorehkan banyak kisah pahit getir Jawa waktu itu. Tak ayal perang ini telah menewaskan 200.000-an orang Jawa, 8.000-an prajurit Eropa, 7.000 prajurit pribumi. Perang ini telah banyak menyita sekian banyak tenaga, biaya, nyawa, dan harta benda di kedua belah pihak. Bahkan Belanda mengalami krisis uang kas karena perang yang berkepanjangan yang dikobarkan dari Yogyakarta ini.
Kita tidak bisa menggambarkan bagaimana suasana perang di zaman itu mengingat dokumentasi foto situasi pertempuran waktu boleh dikatakan tidak ada. Kita hanya bisa merekonstruksi berdasarkan catatan tertulis, peta-peta kuno, gambar-gambar kuno yang sebagian besar dimiliki dan dibuat oleh bangsa Belanda (Eropa). Kita juga tidak bisa menggambarkan bagaimana kira-kira wujud konvoi atau barisan prajurit ketika maju ke medan perang bersama peralatannya yang nota bene belum bermesin. Meriam-meriam diangkut dengan tenaga kuda atau bahkan sapi. Demikian pula logistik hampir semuanya diangkut dengan kendaraan berupa kuda, gerobak, cikar, bahkan dipikul atau digendong.
Medan yang sulit, cuaca yang tidak bersahabat, peralatan yang sederhana cukup menyita waktu dan tenaga para pelaku perang. Dalam kondisi seperti ini tenaga manusia dan binatang seperti kuda menjadi andalan utama. Gambar yang disajikan berikut ini melukiskan tentang kuda-kuda yang digunakan untuk mengangkut meriam ketika Perang Diponegoro terjadi. Gambar ini dibuat oleh pihak Belanda. Kemungkinan besar gambar dibuat pada waktu perang tersebut terjadi. Mungkin, pada masanya hal semacam itu akan mudah sekali dilihat atau ditemukan di seputaran Yogyakarta maupun Jawa pada umumnya.
Melihat perbandingan antara gambar kuda dan gambar meriamnya, kelihatan bahwa meriam tersebut tidaklah terlalu besar. Artinya, meriam tersebut tidak terlampau berat. Sekalipun demikian, diperlukan dua ekor kuda untuk menyeretnya di atas gerobak (wadah meriamnya). Menyimak kondisi semacam itu dapat diketahui bahwa meriam tersebut cukup ringan dan mudah dibawa kemana-mana. Senjata berupa meriam merupakan senjata yang efektif pada masa itu terutama dalam perang-perang frontal dan terbuka. Daya jangkau dan daya bunuh serta perusaknya yang cukup kuat dibandingkan lontaran panah, tombak, dan lembing cukup menggentarkan orang.
Gambar tersebut menegaskan bagaimana pihak Belanda mempersiapkan diri, melengkapi diri dengan sebaik-baiknya untuk menghadapi pihak Diponegoro. Persenjataan dan alat angkut semacam itu pada masa sekarang mungkin sudah tidak akan dapat kita temui lagi karena semuanya telah digantikan mesin, komputer (elektronik). Era modern telah membuat semuanya serba cepat, praktis, dan mudah. Pada zamannya, situasi yang dilukiskan oleh gambar itu mungkin juga sudah mewakili kemudahan, kecepatan, dan kepraktisan dalam berkiprah perang saat itu.
a sartono
sumber: P.J.F. Louw, t.t., Kaarten en Teekeningen Behoorende bij De Java-Oorlog van 1825-1830.