MODEL KARNAVAL TAHUN 1937
Ketika seseorang dikuasai, dijajah, ia tidak kuasa apa-apa. Demikian pun dengan keberadaan suatu bangsa. Indonesia yang masih dikuasai Belanda juga tidak bisa apa-apa. Dalam rentang sejarahnya yang panjang yang di dalamnya juga berisi catatan-catatan tentang perlawanan, semuanya kandas tiada hasil. Kelihaian Belanda dalam bermain strategi baik perang maupun politik dan bahkan juga sosial kultural, mampu mencabik-cabik dan melumpuhkan bangsa Indonesia yang penduduknya jauh lebih besar serta wilayah geografisnya juga jauh lebih luas.
Bangsa pribumi dibuat sedemikian rupa sehingga mengalami rasa minder, asor, rendah di hadapan bangsa kulit putih, Belanda. Kepercayaan diri menjadi hilang. Bangsa inlander dibuat menjadi “hamba-hamba” sahaya yang hanya bisa bilang,”Inggih Den. Sendika dhawuh. Dherek karsa paduka.” Sekalipun kemauan sang penjajah bendara Tuan Belanda itu merugikan bangsa baik secara intelektual, material, kultural, dan sebagainya.
Sebuah foto berikut menunjukkan peristiwa karnaval yang terjadi di Jogja pada tahun 1937, tepatnya pada bulan Januari. Karnaval ini dilakukan sebagai wujud untuk memeriahkan atau merayakan pernikahan Putri Juliana dan Pangeran Bernhard (dinasti penguasa Kerajaan Belanda). Pada sisi ini kelihatan bahwa bangsa pribumi (Jogja) waktu itu tidak bisa tidak melakukan perayaan yang demikian. Jika bangsa pribumi tidak melakukan hal demikian mungkin bisa dianggap ”mbalela” pada Belanda yang konsekuensinya bisa macam-macam.
Karnaval itu sebagai bentuk perayaan terhadap pernikahan keluarga Kerajaan Belanda dapatlah dianggap sebagai bentuk kegiatan puja-puji. Dengan puja-puji maka sang Tuan Penjajah bisa senang hatinya. Lunak hatinya dan tidak menimpakan marah pada bangsa yang dianggap sebagai hamba sahaya.
Perhatikan gaya berpakaian peserta karnaval waktu itu. Ada gadis-gadis yang bergaya modern (dengan mengenakan rok), tetapi ada pula gadis-gadis yang berpakaian tradisional (kebaya dan jarit). Mungkin saat melakukan hal demikian yang ada di dalam diri para pelaku adalah kegembiraan semata. Mereka tidak sadar bahwa hal demikian dapat menjadi penegasan siapa Belanda siapa bangsa inlander terjajah. Siapa lebih superior, siapa inferior.
a.sartono
sumber: M.P. van Bruggen, R.S. Wassing, dkk., 1998, Djokdja en Solo, Nederland: Asia Major.