Djogdja Tempo Doeloe - PAKAIAN PERANG ALA JAWA ABAD 18
Gambar di samping merupakan gambaran pakaian perang Jawa. Demikian seperti yang dituliskan Thomas Stamford Raffles dalam bukunya, History of Java. Pakaian perang merupakan pakaian khusus yang digunakan ketika akan maju ke medan perang. Pakaian perang ala Jawa ini terdiri atas celana yang berkancing. Panjangnya dari pinggang hingga mata kaki. Selain celana panjang umumnya celana untuk berperang yang disebut kathok juga dilengkapi dengan celana pendek. Hanya saja celana pendek tersebut diletakkan (dipakai) di luar celana panjang. Jadi kira-kira seperti pakaian Super Man dengan celana dalam diletakkan di luar celana panjangnya.
Celana-celana tersebut umumnya terbuat dari bahan kain yang halus atau bahkan sutera. Selain itu pakaian perang Jawa juga dilengkapi dengan amben, yakni semacam sabuk yang dililitkan mengelilingi tubuh sebanyak 7-8 kali. Amben ini berfungsi untuk melindungi bagian tubuh dari pinggang hingga dada dan punggung. Jadi fungsinya mirip seperti baju zirah. Umumnya amben juga terbuat dari kain yang bagus atau sutera.
Pakaian perang ala Jawa juga dilengkapi dengan rompi ketat tanpa kancing yang sering disebut sangsang. Di atas sangsang terdapat rompi dengan kancing yang dimulai dari leher sampai perut. Rompi semacam ini sering juga disebut kutang berkancing. Di atas semua jenis baju itu dikenakan baju lengan panjang yang disebut sikepan. Baju lengan panjang ini jika dilihat model atau potongannya agak mirip dengan jaket panjang. Baju ini menutupi seluruh tubuh bagian atas. Umumnya pakaian perang juga dilengkapi dengan tutup kepala. Kadang penutup kepala ini rangkap. Penutup kepala pertama umumnya berupa kain yang diikat dan disimpulkan. Kemudian penutup kepala paling luar umumnya berupa tutup kepala semacam topi atau kuluk.
Untuk menempatkan pedang, maka tali pedang yang disebut angger dililitkan di pinggang. Pedang umumnya ditaruh di pinggang bagian kiri. Tiga bilah keris diletakkan di kanan kiri pinggang dan satu bilah lagi diletakkan di belakang. Keris yang dikenakan ini umumnya terdiri atas satu keris pribadi, satu keris warisan leluhur, dan satu keris yang diberikan oleh ayah mertuanya ketika orang tersebut menikah. Keris dari mertua ini umumnya diletakkan di pinggang bagian kiri.
Selain senjata berupa keris, pedang, dan wedung, umumnya prajurit Jawa juga membawa tombak bertangkai panjang untuk berperang. Di samping tentu saja, perisai dan panah.
Untuk menunjukkan superioritasnya pakaian perang ini sering masih dilengkapi dengan perhiasan berupa cincin atau kalung emas yang dimiliki orang tersebut. Melihat hal yang demikian kelihatan juga bahwa untuk berperang pun orang merasa ”perlu” untuk bersombong diri atau pamer.
Tampaknya hal ihwal yang ada dan terjadi di Jawa kala itu sangat menarik perhatian Raffles sehingga ia tertarik untuk mendokumentasikannya melalui tulisan dan gambar/lukisan. Pada saat dituliskan kemungkinan hal-hal demikian terasa biasa saja. Akan tetapi setelah masa itu lewat 200 tahun lamanya, maka hal-hal yang dicatatnya menjadi terasa luar biasa karena kita tidak akan pernah mendapati lagi secara nyata apa yang dituliskan Raffles tersebut. Jawa yang identik dengan Jogja-Solo-Jateng-Jatim telah menyita begitu banyak perhatian Raffles. Daripadanya kita memperoleh catatan historis yang sangat berharga. Jawa yang eksotis di kala itu kini menjadi demikian modern lengkap dengan segala kemajuan dan kerusakannya.
a sartono