Djogdja Tempo Doeloe - PLENGKUNG NGASEM MENJELANG ABAD 18 DAN TAHUN 2010
Plengkung atau pintu yang berfungsi untuk keluar masuk kompleks benteng Keraton Kasultanan Yogyakarta merupakan bangunan yang cukup unik. Pasalnya, plengkung ini menjadi satu-satunya jalan untuk masuk atau keluar dari benteng Keraton Yogyakarta, kecuali melalui pintu utama di Pangurakan yang nun di kala itu tidak setiap saat dan setiap orang bisa memasuki atau keluar daripadanya begitu saja.
Semua plengkung pada awalnya dilengkapi dengan daun-daun pintu yang kuat, berat, dan cukup besar. Dengan demikian, plengkung-plengkung tersebut memang berfungsi sebagai pintu. Plengkung-plengkung tersebut pada masanya dijaga oleh prajuirt jaga. Plengkung hanya dibuka dan ditutup pada jam-jam yang sudah ditentukan. Waktu buka plengkung adalah jam 05.00. Sedangkan waktu tutupnya adalah jam 20.00. Artinya, selepas jam 20.00 plengkung sudah dalam keadaan tertutup rapat.
Plengkung dinamakan demikian karena bangunan yang berfungsi sebagai pintu ini memiliki struktur atau wujud langit-langit yang melengkung (seperti kubah). Selain itu plengkung juga berwujud memanjang (seperti lorong). Jadi, orang yang keluar masuk plengkung akan merasakan sensasi seperti ketika memasuki terowongan (sekalipun bukan terowongan yang panjang).
Gambar berikut menunjukkan Plengkung Ngasem atau yang dikenal juga dengan nama Plengkung Jaga Sura. Semula wujud plengkung ini sama dengan plengkung-plengkung lain seperti Plengkung Wijilan, Plengkung Gading, dan plengkung-plengkung yang lainnnya. Akan tetapi Plengkung Ngasem telah mengalami perubahan total dari bentuk aslinya. Jika semula plengkung ini berbentuk gapura padureksa, kini Plengkung Ngasem tidak bisa lagi dikatakan sebagai plengkung karena bentuknya telah menjadi gapura bentar. Tidak ada lagi atap melengkung di atasnya. Tidak ada lagi lorong seperti terowongan. Kondisi yang sama semacam ini juga dialami oleh Plengkung Tamansari (Jagabaya).
Dunia terus berubah. Ada yang hilang memang, namun banyak juga hal-hal baru yang hadir. Banyak hal baru yang lebih berguna dan menguntungkan. Namun hal-hal yang lama sering tanpa disadari juga memberikan guna yang baru disadari setelah semuanya tidak ada.
a. sartono
Sumber: Europese Bibliotheek-Zaltbommel, 1970, De Javaansche Vorstenlanden in Oude Ansichten, Amsterdam: De Bussy Ellerman Harms, n.v.