Djogdja Tempo Doeloe - PERLAKUAN TERHADAP PADI DI MASA LALU
Padi merupakan jenis tanaman yang tidak bisa ditinggalkan oleh masyarakat Jawa, termasuk Yogyakarta. Jenis tanaman ini telah menjadi sumber makanan pokok bagi masyarakat Jawa sejak zaman antah berantah. Oleh karena itu pula pada masa lalu dikenal begitu banyak jenis padi di Jawa. Bahkan ada sumber yang menyatakan bahwa ada sekitar 8.000–an jenis varitas asli padi Jawa. Sayang, jenis-jenis varitas padi asli itu kini bukan lagi menjadi hak bagi petani Jawa melainkan telah menjadi hak bagi pusat penelitian padi di Filipina.
Begitu pentingnya padi bagi orang Jawa sehingga jenis tanaman ini mendapatkan perlakuan yang paling khusus, bahkan paling sakral dibandingkan dengan semua jenis tanaman yang hidup dan dibutuhkan di Jawa. Kita bisa mengamati bahwa mulai dari pemilihan benih, penggarapan lahan, penyemaian benih, perawatan, hingga pemanenan dan penyimpanannya, padi mendapatkan banyak sentuhan tangan manusia.
Pada masa lalu untuk melakukan pemanenan padi hamper tidak mungkin dilakukan dengan alat berupa sabit. Ani-anilah alat yang dianggap paling beradab, paling sopan, paling lembut untuk memotong tangkai padi. Sabit yang notabene bisa memotong tangkai padi dalam jumlah banyak sekali tebas, dianggap tidak beradab, kasar, kesusu, sekaligus serakah dan berangasan.
Tidak heran pula bila pemanenan padi di masa lalu kebanyakan dilakukan oleh kaum wanita meskipun dalam masa pemeliharaannya kaum lelaki terlibat aktif. Pemanenan dilakukan oleh kaum wanita dengan menggunakan ani-ani karena wanita dianggap lebih berperangai lembut, sabar, telaten, penuh kasih saying. Padi pun diidentikkan dengan wanita itu sendiri. Padi adalah pemberi hidup. Sama seperti wanita atau perempuan. Padi dianggap sebagai presentasi dari kesuburan dan keperempuanan. Tidak mengherankan jika ia dihubungkan dengan Dewi Kesuburan alias Dewi Sri atau Mbok Sri yakni dewi pemberi kesuburan, welas asih, dan kemakmuran.
Jika kita simak foto di atas akan terlihat atau terasa bagaimana kedekatan padi dengan manusia. Betapa ia mendapatkan perlakuan khusus. Gadis-gadis cilik di atas kelihatan begitu mengasihi padi hasil panenannya. Mereka juga begitu menyayangi alat pemotong padi (ani-ani) yang disangkutkannya pada ikatan (gelungan) rambut mereka. Pada masa itu, ketika sekolah dan kebutuhan hidup “modern” belum begitu menghentak, anak-anak perempuan semacam gadis-gadis di atas lebih banyak terjun ke sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama keluarganya.
Lihatlah pakaian mereka. Mereka belum mengenal mode semacam rok, celana panjang, blus, lebih-lebih gaun, daster, dan sebagainya. Bahu mereka pun kelihatan terbuka saja karena mereka memang belum saatnya mengenakan kebaya. Mereka hanya berpinjungan saja. Dengan pakaian seperti itu mereka pun tidak risih atau merasa terganggu ketika kulitnya harus bersentuhan dengan daun atau bulir padi yang notabene berbulu. Justru mereka kelihatan menyatu dengan semuanya itu.
Zaman terus berubah. Ada yang hilang dan ada yang muncul sebagai sesuatu yang baru. Kadang yang hilang hanya bisa dikenang sementara yang baru bisa saja sesungguhnya menjadi sesuatu yang dirasa lebih berguna atau justru wagu, saru, dan mengganggu.
sartono