Sabtu, 28 Juli 2012

KAWAH TEKUREP: MAKAM KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM



Palembang bukan hanya dikenal dengan sejarah panjang Kerajaan Sriwijaya yang berjaya di Nusantara pada abad VI hingga abad XIII saja, namun kota yang dialiri Sungai Musi ini memiliki cerita lain tentang Kesultanan Palembang Darussalam. Kesultanan ini berdiri pada tahun 1675 sebagai sebuah kerajaan Islam yang dipimpin oleh Sultan Abdurrahman (1659-1706) di awal pemerintahannya. Akan tetapi kekuasaan kolonial Belanda menghapus kesultanan ini di periode 7 Oktober 1823.

Kompleks Makam Kesultanan Palembang Darussalam

Keberadaan kesultanan ini masih tetap dirasakan hingga kini. Kompleks pemakaman kesultanan menjadi bukti bahwa nilai-nilai Islam begitu kuat di masa Kesultanan Palembang Darussalam.

Tidak sulit untuk menemukan kompleks pemakaman ini, walaupun letaknya terlindungi kompleks pergudangan peti kemas Pelabuhan Bom Baru di kawasan Kelurahan III Ilir, Kecamatan Ilir Timur II. Dari pinggiran jalan raya, kita harus berjalan sekitar 200 meter untuk dapat melihat langsung kompleks pemakaman ini. Jika lebih memilih dari tepian Sungai Musi, maka kompleks ini berjarak tak lebih dari 100 meter.

Makam selalu dirawat dan jaga kebersihannya

Masyarakat Palembang mengenal kompleks pemakaman ini dengan sebutan Kawah Tekurep. Nama tersebut berasal dari bentuk atap bangunan utama pemakaman yang berbentuk cungkup (kubah) melengkung berwarna hijau. Jika diperhatikan dengan seksama, maka bentuknya menyerupai wajan yang terbalik atau dalam bahasa lokalnya kawah tekurep. Berdasarkan informasi dari kuncen (juru kunci) makam, pemakaman ini dibangun tahun 1728 atas perintah Sultan Mahmud Badaruddin I Jaya Wikramo. Kemudian dilanjutkan pembangunan Gubah Tengah di areal pemakaman oleh Sultan Ahmad Najamuddin I Adi Kesumo. Keunikan arsitektur bangunan makam menjadi keindahan yang berhasil menggabungkan gaya arsitektur Melayu, India, dan China.

Untuk bisa memasuki kompleks pemakaman, kita harus melewati gerbang utama yang letaknya di sisi selatan atau bagian yang berhadapan langsung dengan Sungai Musi. Setelah melewati gapura, maka di depan bangunan makam kita bisa melihat silsilah keluarga Kesultanan Palembang Darussalam yang terukir di batu marmer.

Silsilah Makan Kesultanan Palembang Darusslam di Lingkungan Kawah Tekurep
Di dalam kompleks pemakaman terdapat empat cungkup. Tiga cungkup diperuntukkan bagi makam para sultan dan satu cungkup untuk putra-putri sultan, para pejabat dan hulubalang. Di cungkup pertama terdapat makam Sultan Mahmud Badaruddin I (yang wafat di tahun 1756), Ratu Sepuh, istri pertama yang berasal dari Jawa Tengah. Kemudian ada makam Ratu Gading, istri kedua yang berasal dari Kelantan (Malaysia), ada juga makam Mas Ayu Ratu (Liem Ban Nio), istri ketiga yang berasal dari China-Melayu. Selain itu ada juga makam Nyimas Naimah, istri keempat yang berasal dari I Ilir (kini Guguk Jero Pager Kota Palembang Lamo), dan makam Imam Sayyid Idrus Al-Idrus dari Yaman yang tak lain guru dari Sultan.

Sisi Lain di Luar Bangunan Utama
Cungkup kedua, kita dapat melihat makam Pangeran Ratu Kamuk (wafat tahun 1755), di sebelahnya terdapat makam Ratu Mudo (istri dari Pangeran Kamuk), dan makam Sayyid Yusuf Al-Angkawi (imam sultan). Sementara itu, makam Sultan Ahmad Najamuddin (wafat tahun 1776), makam Masayu Dalem (istri Najamuddin), dan makam Sayyid Abdur Rahman Maulana Tugaah (Imam Sultan dari Yaman), berada di cungkup ketiga. Adapun cungkup keempat terdapat makam Sultan Muhammadi Bahauddin (wafat tahun 1803), makam Ratu Agung (istri Bahauddin), makam Datuk Murni Hadad (imam sultan dari Arab Saudi), dan beberapa makam lain yang tidak terbaca namanya. Selain keempat cungkup tersebut, masih ada beberapa makam seperti makam Susuhunan Husin Diauddin, yang wafat dalam pembuangan Belanda di Jakarta, 4 Juli 1826. Semula, Husin Diauddin dimakamkan di Krukut tetapi kemudian dipindahkan ke Palembang.

Sultan Mahmud Badarudin II di Ternate





Sultan Mahmud Badaruddin II (Lahir: Palembang, 1767, wafat: Ternate, 26 November 1862) adalah pemimpin kesultanan Palembang-Darussalam (1803-1819), setelah masa pemerintahan ayahnya, Sultan Mahmud Badaruddin.

Dalam masa pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin pertempuran melawan Britania dan Belanda, diantaranya yang disebut Perang Menteng. Tahun 1821, ketika Belanda secara resmi berkuasa di Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap dan diasingkan ke Ternate.

Namanya kini diabadikan sebagai nama bandara internasional di Palembang, Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II.

Mata uang rupiah pecahan 10.000-an yang dikeluarkan pada 20 Oktober 2005 menggunakan Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai gambar hiasannya. Penggunaan gambar ini sempat menjadi kasus pelanggaran hak cipta, karena gambar tersebut digunakan tanpa izin pelukisnya.

Sejak timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18, Palembang dan wilayahnya menjadi incaran Britania dan Belanda. Berdalih menjalin kontrak dagang, bangsa Eropa ini berniat menguasai Palembang. Awal bercokolnya penjajahan bangsa Eropa biasanya ditandai dengan penempatan loji (kantor dagang). Di Palembang, loji pertama Belanda dibangun pada tahun 1742 di tepi Sungai Aur (10 Ulu).

Orang Eropa pertama yang dihadapi Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) adalah Sir Thomas Stamford Raffles. Raffles tahu persis tabiat Sultan Palembang ini. Karena itu, Raffles sangat menaruh hormat di samping ada kekhawatiran sebagaimana tertuang dalam laporan kepada atasannya, Lord Minto, tanggal 15 Desember 1810:

Sultan Palembang adalah salah seorang pangeran Melayu yang terkaya dan benar apa yang dikatakan bahwa gudangnya penuh dengan dollar dan emas yang telah ditimbun oleh para leluhurnya. Saya anggap inilah yang merupakan satu pokok yang penting untuk menghalangi Daendels memanfaatkan pengadaan sumber yang besar tersebut.

Bersamaan dengan adanya kontak antara Britania dan Palembang, hal yang sama juga dilakukan Belanda. Dalam hal ini, melalui utusannya, Raffles berusaha membujuk SMB II untuk mengusir Belanda dari Palembang (surat Raffles tanggal 3 Maret 1811).

Dengan bijaksana, SMB II membalas surat Raffles yang intinya mengatakan bahwa Palembang tidak ingin terlibat dalam permusuhan antara Britania dan Belanda, serta tidak ada niatan bekerja sama dengan Belanda. Namun akhirnya terjalin kerja sama Britania-Palembang, di mana pihak Palembang lebih diuntungkan.

Pada 14 September 1811, terjadi peristiwa pembumihangusan dan pembantaian di loji Sungai Alur. Belanda menuduh Britanialah yang memprovokasi Palembang supaya mengusir Belanda. Sebaliknya, Britania cuci tangan, bahkan langsung menuduh SMB II yang berinisiatif melakukannya.

Raffles terpojok dengan peristiwa loji Sungai Aur, tetapi masih berharap dapat berunding dengan SMB II dan mendapatkan Bangka sebagai kompensasi kepada Britania. Harapan Raffles ini tentu saja ditolak SMB II. Akibatnya, Britania mengirimkan armada perangnya di bawah pimpinan Gillespie dengan alasan menghukum SMB II. Dalam sebuah pertempuran singkat, Palembang berhasil dikuasai dan SMB II menyingkir ke Muara Rawas, jauh di hulu Sungai Musi.

Setelah berhasil menduduki Palembang, Britania merasa perlu mengangkat penguasa boneka yang baru. Setelah menandatangani perjanjian dengan syarat-syarat yang menguntungkan Britania, tanggal 14 Mei 1812 Pangeran Adipati (adik kandung SMB II) diangkat menjadi sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin II atau Husin Diauddin. Pulau Bangka berhasil dikuasai dan namanya diganti menjadi Duke of Yorks Island. Di Mentok, yang kemudian dinamakan Minto, ditempatkan Meares sebagai residen.

Meares berambisi menangkap SMB II yang telah membuat kubu di Muara Rawas. Pada 28 Agustus 1812 ia membawa pasukan dan persenjataan yang diangkut dengan perahu untuk menyerbu Muara Rawas. Dalam sebuah pertempuran di Buay Langu, Meares tertembak dan akhirnya tewas setelah dibawa kembali ke Mentok. Kedudukannya digantikan oleh Mayor Robison.

Belajar dari pengalaman Meares, Robison mau berdamai dengan SMB II. Melalui serangkaian perundingan, SMB II kembali ke Palembang dan naik takhta kembali pada 13 Juli 1813 hingga dilengserkan kembali pada Agustus 1813. Sementara itu, Robison dipecat dan ditahan Raffles karena mandat yang diberikannya tidak sesuai.

Konvensi London 13 Agustus 1814 membuat Britania menyerahkan kembali kepada Belanda semua koloninya di seberang lautan sejak Januari 1803. Kebijakan ini tidak menyenangkan Raffles karena harus menyerahkan Palembang kepada Belanda. Serah terima terjadi pada 19 Agustus 1816 setelah tertunda dua tahun, itu pun setelah Raffles digantikan oleh John Fendall.

Belanda kemudian mengangkat Edelheer Mutinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah mendamaikan kedua sultan, SMB II dan Husin Diauddin. Tindakannya berhasil, SMB II berhasil naik takhta kembali pada 7 Juni 1818. Sementara itu, Husin Diauddin yang pernah bersekutu dengan Britania berhasil dibujuk oleh Mutinghe ke Batavia dan akhirnya dibuang ke Cianjur.

Pada dasarnya pemerintah kolonial Belanda tidak percaya kepada raja-raja Melayu. Mutinghe mengujinya dengan melakukan penjajakan ke pedalaman wilayah Kesultanan Palembang dengan alasan inspeksi dan inventarisasi daerah. Ternyata di daerah Muara Rawas ia dan pasukannya diserang pengikut SMB II yang masih setia. Sekembalinya ke Palembang, ia menuntut agar Putra Mahkota diserahkan kepadanya. Ini dimaksudkan sebagai jaminan kesetiaan sultan kepada Belanda. Bertepatan dengan habisnya waktu ultimatum Mutinghe untuk penyerahan Putra Mahkota, SMB mulai menyerang Belanda

Pertempuran melawan Belanda yang dikenal sebagai Perang Menteng (dari kata Mutinghe) pecah pada 12 Juni 1819. Perang ini merupakan perang paling dahsyat pada waktu itu, di mana korban terbanyak ada pada pihak Belanda. Pertempuran berlanjut hingga keesokan hari, tetapi pertahanan Palembang tetap sulit ditembus, sampai akhirnya Mutinghe kembali ke Batavia tanpa membawa kemenangan.

Belanda tidak menerima kenyataan itu. Gubernur Jenderal Van der Capellen merundingkannya dengan Laksamana JC Wolterbeek dan Mayjen Herman Merkus de Kock dan diputuskan mengirimkan ekspedisi ke Palembang dengan kekuatan dilipatgandakan. Tujuannya melengserkan dan menghukum SMB II, kemudian mengangkat keponakannya (Pangeran Jayaningrat) sebagai penggantinya.

SMB II telah memperhitungkan akan ada serangan balik. Karena itu, ia menyiapkan sistem perbentengan yang tangguh. Di beberapa tempat di Sungai Musi, sebelum masuk Palembang, dibuat benteng-benteng pertahanan yang dikomandani keluarga sultan. Kelak, benteng-benteng ini sangat berperan dalam pertahanan Palembang.

Pertempuran sungai dimulai pada tanggal 21 Oktober 1819 oleh Belanda dengan tembakan atas perintah Wolterbeek. Serangan ini disambut dengan tembakan-tembakan meriam dari tepi Musi. Pertempuran baru berlangsung satu hari, Wolterbeek menghentikan penyerangan dan akhirnya kembali ke Batavia pada 30 Oktober 1819.

SMB II masih memperhitungkan dan mempersiapkan diri akan adanya serangan balasan. Persiapan pertama adalah restrukturisasi dalam pemerintahan. Putra Mahkota, Pangeran Ratu, pada Desember 1819 diangkat sebagai sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin III. SMB II lengser dan bergelar susuhunan. Penanggung jawab benteng-benteng dirotasi, tetapi masih dalam lingkungan keluarga sultan.

Setelah melalui penggarapan bangsawan dan orang Arab Palembang melalui pekerjaan spionase, serta persiapan angkatan perang yang kuat, Belanda datang ke Palembang dengan kekuatan yang lebih besar. Tanggal 16 Mei 1821 armada Belanda sudah memasuki perairan Musi. Kontak senjata pertama terjadi pada 11 Juni 1821 hingga menghebatnya pertempuran pada 20 Juni 1821. Pada pertempuran 20 Juni ini, sekali lagi, Belanda mengalami kekalahan. De Kock tidak memutuskan untuk kembali ke Batavia, melainkan mengatur strategi penyerangan.

Bulan Juni 1821 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Hari Jumat dan Minggu dimanfaatkan oleh dua pihak yang bertikai untuk beribadah. De Kock memanfaatkan kesempatan ini. Ia memerintahkan pasukannya untuk tidak menyerang pada hari Jumat dengan harapan SMB II juga tidak menyerang pada hari Minggu. Pada waktu dini hari Minggu 24 Juni, ketika rakyat Palembang sedang makan sahur, Belanda secara tiba-tiba menyerang Palembang.

Serangan dadakan ini tentu saja melumpuhkan Palembang karena mengira di hari Minggu orang Belanda tidak menyerang. Setelah melalui perlawanan yang hebat, tanggal 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda. Kemudian pada 1 Juli 1821 berkibarlah bendera rod, wit, en blau di bastion Kuto Besak, maka resmilah kolonialisme Hindia Belanda di Palembang.

Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam, SMB II beserta keluarganya menaiki kapal Dageraad dengan tujuan Batavia. Dari Batavia SMB II dan keluarganya diasingkan ke Ternate sampai akhir hayatnya 26 September 1852.

Makam Sultan Mahmud Badarudin II di Ternate by mutawalli
Makam Sultan Mahmud Badarudin II di Ternate by mutawalli 
Makam Para Pengikut Sultan Mahmud Badarudin II by mutawalli 
Makam Sultan Mahmud Badarudin II di Ternate by mutawalli 
Makam Istri Sultan, Makam Sultan, Makam Guru Pengikut Sultan
Sultan Mahmud Badarudin II di Ternateby mutawalli 
Makam Pengikut Sultan,by mutawalli 
Makam Putra Sultan di Ternateby mutawalli 

Kesultanan Palembang



































Iskandar Mahmud Badaruddin

Kesultanan Palembang Darussalam Bangkit Lagi?

KESULTANAN Palembang Darussalam sudah lama bubar. Tepatnya dibubarkan penjajah kolonial Belanda pada 1825. Dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, Palembang tak tercantum sebagai daerah istimewa sebagaimana Yogyakarta atau Aceh. Namun, selama tiga tahun terakhir, ada orang-orang yang ingin menghidupkan kembali kesultanan tersebut.

Pada mulanya Raden Mas Syafei Prabu Diraja, seorang perwira polisi, menyatakan dirinya sebagai Sultan Mahmud Badaruddin III. Dia mengangkat dirinya sendiri sebagai sultan setelah menerima wangsit. Itu terjadi pada tahun 2003 lalu.

Banyak yang mempertanyakan keabsahan pengukuhan Syafei Prabu Diraja sebagai Sultan Mahmud Badaruddin III. Ada yang mendukungnya, tapi ada pula yang mencela.

Lalu, sejumlah zuriat wong Palembang yang berhimpun dalam Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam pada Oktober 2006 lalu, melakukan rapat atau pertemuan. Mereka mengukuhkan Raden Mahmud Badaruddin sebagai Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin.

Akibatnya, Palembang jadi punya dua sultan. Polemik pun terjadi di media lokal maupun di forum diskusi. Siapa sebenarnya ahli nasab Kesultanan Palembang Darussalam yang berhak menerima gelar sultan? Syafei atau Mahmud?

Semua orang akhirnya tahu bahwa keduanya bukan ahli nasab. Syafei adalah keturunan dari istri keenam Sultan Mahmud Badaruddin II, sementara Mahmud keturunan sultan sebelumnya, Sultan Mansyur Jayo Ing Lago.

Perdebatan malah melebar. Kini orang mempertanyakan siapa sultan terakhir Palembang? Apakah Sultan Mahmud Badaruddin II, Sultan Najamuddin Pangeran Ratu atau Sultan Najamuddin Prabu Anom? Posisi ini sangat penting. Jika Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan sultan terakhir Palembang, maka Syafei merasa berhak jadi sultan. Menurut Syafei dan pendukungnya, Sultan Najamuddin Pangeran Ratu maupun Najamuddin Prabu Anom adalah pengkhianat alias diangkat sultan oleh Belanda.

Mahmud Badaruddin ditunjuk sebagai sultan berdasarkan konsensus. Alasannya, Kesultanan Palembang Darussalam secara resmi sudah bubar dan bila dihidupkan kembali hanya sebagai simbol budaya. Satu-satunya legitimasi menghidupkan kesultanan sebagai simbol budaya hanya melalui sebuah kesepakatan politik, bukan wangsit.

Polemik ini membuat saya tertarik menelusuri sumber-sumber sejarah yang jadi bahan perdebatan.

KETIKA Belanda menguasai Palembang pada 1821, semua catatan atau dokumen sejarah Kesultanan Palembang Darussalam hilang. Tepatnya, setelah Sultan Najamuddin Prabu Anom, yang mencoba melawan Belanda, dibuang ke Manado bersama pengikutnya.
Demi kepentingan ilmu pengetahuan, para peneliti Belanda mencoba menelusuri kembali sejarah Kesultanan Palembang Darussalam.

Metode yang dilakukan mereka cukup sederhana. Para peneliti Belanda, dari tahun 1825 sampai 1840, melakukan wawancara dengan para priyayi yang masih hidup. Dari penuturan kaum priyayi ini sejarah Kesultanan Palembang Darussalam disusun.

Hal tadi diungkapkan M.O. Woelders, penulis buku Het Sultanaat Palembang 1811-1825, saat ditemui Djohan Hanafiah di Belanda pada tahun 1987. Woelders juga mewawancarai para priyayi Palembang untuk keperluan penelitiannya, sedangkan Djohan orang Palembang yang tertarik pada sejarah.

Tetapi pantaskah kita mempercayai semua penuturan priyayi tersebut? Sejauh mana kebenaran versi sejarah yang dituturkan mereka?

Jangan-jangan mereka selamat karena berkompromi dengan penjajah. Jangan-jangan mereka itu para pengkhianat sultan. Dan bagaimana mungkin cerita mereka bisa dipercaya? Namun, tak semua priyayi mau jadi kaki tangan Belanda. Sebagian pengikut Najamuddin Prabu Anom yang tak mau menyerah memutuskan melarikan diri ke selatan Sumatera.

Tentu saja sultan yang punya banyak keturunan adalah yang paling beruntung. Semakin banyak keturunan semakin banyak pula pencerita yang akan jadi sumber sejarah.
Setahu saya, Sultan Mahmud Badaruddin II yang punya istri terbanyak. Sembilan orang. Sebagian istri dan anaknya tetap di Palembang ketika dia dibuang ke Ternate.

SELAIN kelompok priyayi kesultanan atau lingkungan keraton, di Palembang juga ada kelompok priyayi di masyarakat, yang diberi gelar Kemas, Kiagus, dan Masagus. Kelompok priyayi ini merupakan keturunan Ki Bodrowongso atau Pangeran Bawah Manggis.
Sebelum Kesultanan Palembang Darussalam berdiri, tepatnya pada abad ke-16, berdiri kerajaan Palembang. Pendirinya adalah Ki Gede Ing Suro dan beberapa panglima perang dari Jawa, tepatnya dari Demak dan Pajang.

Sekitar tahun 1622 sampai 1643, ketika Pangeran Ratu Sultan Jamaluddin Mangkurat IV atau Pangeran Sido Ing Kenayan berkuasa, hiduplah seorang panglima perang yang bernama Ki Bodrowongso atau Ki Bagus Abdurrahman Bodrowongso bin Pangeran Fatahillah atau juga dikenal sebagai Panglima Bawah Manggis.

Selain Ki Bodrowongso, seorang panglima perang lain bernama Jaladeri cukup terkenal di masa itu.

Buku Sejarah Melayu Palembang yang ditulis R.M. Akib menyebutkan bahwa Jaladeri memiliki seorang istri dan dua anak. Sang istri, Nyi Marta, suatu hari meminta Jaladeri beristri lagi. Menurut Nyi Marta, cukup memalukan jika seorang panglima hanya memiliki satu istri.

Akhirnya Jaladeri menikahi seorang gadis cantik sebagai istri kedua. Pesta perkawinan dilangsungkan di Pedaleman atau istana Pangeran Sido Ing Kenayan atau yang dikenal sebagai Kuto Gawang, yang kini lokasinya dijadikan tempat beroperasi pabrik Pupuk Sriwijaya.

Usai pesta, istri kedua Jaladeri tidak langsung dibawa pulang. Dia ditahan di istana. Para perempuan di istana masih menaruh kekaguman atas kecantikan dan keelokan sang mempelai wanita. Mereka ingin melihat dan bercengkrama lebih lama dengannya.
Tindakan tersebut membuat Nyi Marta menaruh curiga. Dia menduga ada rencana jahat orang-orang istana terhadap istri kedua suaminya itu. Dia juga curiga raja ingin merebut madunya.

Nyi Marta menuturkan kecurigaannya pada sang suami. Hati Jaladeri terbakar. Tanpa pikir panjang, dia mengamuk di istana. Sebagian besar penghuni istana meninggal dunia, termasuk Pangeran Sido Ing Kenayan dan istrinya, Ratu Sinuhun, yang tidak memiliki keturunan. Sebelum mengamuk Jaladeri bahkan sempat membunuh kedua anaknya sendiri yang masih kecil.

Di antara mereka yang selamat kemudian ada yang melapor kepada Ki Bodrowongso. Tindakan tegas segera diambil. Jaladeri pun tewas di tangan Bodrowongso.

Meski demikian, Bodrowongso tak mau jadi raja. Dia menyerahkan kerajaan kepada kerabat Pangeran Sido Ing Kenaya. Dia tak ingin keturunannya terlibat konflik kekuasaan.
Ketika tutup usia, Ki Bodrowongso dimakamkan di Sabokingking, Palembang, satu areal dengan makam Pangeran Sido Ing Kenayan dan Ratu Sinuhun.

Bodrowongso memiliki seorang istri dan lima anak. Dari kelima anaknya, tiga menurunkan gelar untuk masing-masing keturunannya. Ki Panggung mewariskan gelar Kemas, Ki Mantuk menurunkan Masagus, dan Kiagus Abdul Gani menurunkan Kiagus. Khalifah Gemuk dan Ki Bodrowongso Mudo sama sekali tak mewariskan gelar untuk keturunan mereka. Kedua keturunan Bodrowongso ini bahkan tak muncul dalam buku sejarah Palembang yang ditulis Belanda, mungkin karena mereka tak punya gelar priyayi.

Lucunya, gelar-gelar ini membuat sebagian orang merasa derajatnya lebih tinggi dibanding yang lain. Bahkan, orang yang menyandang gelar tertentu menganggap dirinya punya derajat lebih tinggi dibanding yang menggunakan gelar lain. Kemas, misalnya, dianggap berderajat lebih tinggi dibanding Kiagus atau Masagus.

Orang-orang Palembang tanpa gelar kebangsawanan atau priyayi disebut “Palembang Buntung”, yang artinya orang biasa, rakyat jelata.

Sebagian keturunan Ki Bodrowongso percaya bahwa kakek moyang mereka menyerahkan kekuasaan kepada kerabat Pangeran Sido Ing Kenayan, dengan syarat orang yang nanti jadi raja harus menjunjung adat istiadat yang ditulis Ratu Sinuhun dalam buku Simbur Cahaya. Buku ini berisi perpaduan ajaran Islam dan kearifan bangsa Melayu.

Jika ada sultan atau raja Palembang yang melenceng dari kesepakatan ini, mereka akan mangkat dalam kehinaan.

Percaya atau tidak, dari 10 sultan yang pernah berkuasa di Palembang, hampir semuanya mangkat dalam kehinaan. Jika tidak mati diracun, ya mati dibunuh atau dibuang ke tanah pengasingan seperti yang dialami tiga sultan Palembang itu.

Lantas, untuk apa membangkitkan lagi sebuah kerajaan bila sejarahnya penuh darah, intrik, kesedihan, dan tipu-muslihat? Ketimbang membangkitkan kembali kesultanan dan bernostalgia tentang kebesaran masa lalu, lebih baik kita sama-sama memikirkan jalan keluar persoalan yang dihadapi orang dan negara Indonesia hari ini. Bagaimana mengatasi banjir, hutan terbakar, semburan lumpur, flu burung, demam berdarah, kemiskinan, kebodohan?** *) Dimuat www.pantau.or.id

KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM


 A. Asal-Usul 


 
 
 
 
 
 
 
Menurut catatan sejarah, cerita tentang Kesultanan Palembang muncul melalui proses yang panjang dan berkaitan erat pula dengan kerajaan-kerajaan besar lain, terutama di Pulau Jawa, seperti Kerajaan Majapahit, Demak, pajang dan Mataram.
Raja Majapahit, Prabu Brawijaya yang terakhir memiliki putera bernama Aria Damar atau setelah memeluk Islam disebut Aria Dilah dikirim kembali ke Palembang untuk menjadi penguasa. Di sini ia menikah dengan saudara Demang Lebar Daun yang bernama Puteri Sandang Biduk, dan diangkat menjadi raja (1445-1486). Pada saat Aria Dilah memerintah Palembang, ia mendapat kiriman seorang puteri Cina yang sedang hamil, yakni isteri ayahnya yang diamanatkan kepadanya untuk mengasuh dan merawatnya. Sang puteri ini melahirkan seorang putera di Pulau Seribu, yang diberi nama Raden Fatah atau bergelar Panembahan Palembang, yang kemudian menjadi raja pertama di Demak dan menjadi menantu Sunan Ampel.

Pada saat Raden Fatah menjadi raja Demak I (1478-1518), ia berhasil memperbesar kekuasaannya dan menjadikan Demak kerajaan Islam pertama di Jawa. Akan tetapi, kerajaan Demak tidak dapat bertahan lama karena terjadinya kemelut perang saudara dimana setelah Pangeran Trenggono Sultan Demak III anak Raden Fatah wafat, terjadilah kekacauan dan perebutan kekuasaan antara saudaranya dan anaknya. Saudaranya, mengakibatkan sejumlah bangsawan Demak melarikan diri kembali ke Palembang. 
Rombongan dari Demak yang berjumlah 80 Kepala Keluarga ini diketuai oleh Pangeran Sedo Ing Lautan (1547-1552) menetap di Palembang Lama (1 ilir) yang saat itu Palembang dibawah pimpinan Dipati Karang Widara, keturunan Demang Lebar Daun. Mereka mendirikan Kerajaan Palembang yang bercorak Islam serta mendirikan Istana Kuto Gawang dan Masjid di Candi Laras (PUSRI sekarang). Pengganti Pangeran Sedo Ing Lautan sebagai Raja adalah anaknya, Ki Gede Ing Sura Tuo selama 22 tahun (1552-1573). Oleh karena beliau tidak berputera, maka ia mengangkat keponakannya menjadi penggantinya dengan bergelar pula Ki. Gede Ing Suro Mudo (1573-1590). Setelah wafatnya ia di ganti oleh Kemas Adipati selama 12 tahun. Kemudian digantikan oleh anaknya Den Arya lamanya 1 tahun. Selanjutnya ia diganti oleh Pangeran Ratu Madi Ing Angsoko Jamaluddin Mangkurat I (1596-1629) yang wafat teraniaya di bawah pohon Angsoka. Pengganti selanjutnya ialah adiknya Pangeran Madi Alit Jamaluddin Mangkurat II (1629-1630). Setelah wafat diteruskan pula oleh adiknya yang bernama Pangeran Sedo Ing Puro Jamaluddin Mangkurat III (1630-1639), wafat di Indra laya. Lalu digantikan oleh kemenakannya yang bernama Pangeran Sedo Ing Kenayan Jamaluddin Mangkurat IV (1639-1650) bersama dengan isterinya Ratu Senuhun. Ratu Senuhun inilah yang menyusun "Undang-undang Simbur Cahaya" yang mengatur adat pergaulan bujang gadis, ad at perkawinan, piagam dan lain sebagainya.
Sebagai ganti Pangeran Sido Ing Kenayan ialah Pangeran Sedo Ing Pesarean Jamaluddin Mangkurat V (1651-1652) bin Tumenggung Manca Negara. Tongkat estafet selanjutnya dipegang oleh puteranya yang bernama pangeran Sedo Ing Rejek Jamaluddin Mangkurat VI (1652-1659) sebagai raja Palembang. Beliau raja yang alim dan wara'. Pada masanya ini terjadilah pertempuran pertama dengan Belanda pada tahun 1659 yang mengakibatkan Keraton Kuto Gawang hangus terbakar. Pangeran Sido Ing Rejek menyerahkan kepemimpinannya kepada adiknya, Pangeran Kesumo Abdurrohim Kemas Hindi. Sedangkan ia mengungsi ke Saka Tiga sampai akhir hayatnya dan di sana pula jasadnya dikebumikan.


B. Latar Belakang Terbentuknya Kesultanan Palembang Darussalam


Perang yang Pertama Antara Kerajaan Palembang dan Belanda



KERATON KUTO GAWANG (1659)


Pada tahun 1658 datang diperairan sungai musidi pelimbang kapal-kapal kompeni Belanda dari Batavia (jakarta sekarang) yang dipimpin oleh Cornelisz Oc-kerse. Diantara kapal-kapal itu terdapat dua kapal besar bernama ’Jakarta’ dan ’de Wachter’
          Kedatangan Cornelisz Oc-kerse ke Pelimbang itu adalah dalam rangka memenuhi pelaksanaan kontrak dagang antara kompeni belanda dan kerajaan pelimbang, diantaranya adalah timah putih dan rempah- rempah seperti lada putih dan lada hitam.
          Kito atau keraton pelimbang pada abad ke 16 dan awal abad ke 17 terletak di seberang ilir atau sebelah kiri dari sungai musi dan bernama waktu itu KUTO GAWANG (Pusri Sekarang). Yang kemudian setelah Kuto tersebut berpindah lagi ke tempat yang baru, bernama Kuto Cerancangan pada akhir abad ke 18, maka Kuto Gawang diberi nama PELIMBANG LAMA.
          Keraton Kuto Gawang ini terletak diantara dua sungai yaitu bernama Sungai Buah dan Sungai Linta dan ditengah-tengah kuto tersebut terdapat sungai Rengas.
          Kuto  atau Keraton Kerajaan Pelimbang tersebut panjang dan lebarnya sama yaitu 700 Depa atau k.l. 1100 m lebar, dan dikelilingi oleh tembok atau benteng terbikin dari kayu setinggi 7,25 m, dan terdiri atas balok-balok dari kayu besi atau kayu unglen  (kayu tulen) berukuran 30x30 cm.
Dibelakang benteng kayu ini yang disusun secara rapih sekali dan teratur, terdapat pula tembok dari tanah dimana tersusun meriam-meriam pertahanannya. Dibagian pinggir sungai musi terdapat pula tiga  (BULUARTI) atau anjungan (bastion). Satu diantaranya yang terletak dibagian tengah adalah dibikin dari batu. Ketiga buluarti ini dilengkapi pula dem\ngan alat-alat persenjataannya seperti meriam, lelo, dan lain sebagainya.
          Pintu utama masuk ke dalam kuto ini adalah dari sungai rengas, dan begitulah terdapat pula pintu-pintu lainnya dari samping kiri kanan dan belakang.
          Disebelah timur dari kuto ini terdapat pula kembara yang pada masa jauh sebelum kedatangan belanda ini telah dibangun kubu-kubu pertahanan yang dilengkapi dengan lapisan-lapisan cerucug dari kayu unglen terbentang dari pantai sebelah hilir sungai musi sampai kepantai seberang hulu sungai musi berikut rantainya. Ketiga kubu pertahanan atau istilah sekarang benteng yang terletak di pulau kembara, bernama benteng ”manguntama” yang kedua terletak disebelah hilir bagus kuning yaitu bernama benteng pertahanan ”Martapura” dan yang terletak di muara pelaju adalah benteng pertahanan yang terbesar bernama ”Tambakbaja”.
          Seperti kita ketahui bukan saja di pelimbang. Kompeni belanda dalam melakukan kontraknya selalu berbuat curang dan melakukan penyelundupan-penyelundupan, baik oleh pihak kompeninya sendiri. Maupun pribadi orangnya sendiri, tetapi rata-rata diseluruh wilayah nusantara kita ini. Maka atas penipuan-penipuan tersebut timbulah amarah rakyat pelimbang terhadap kompeni belanda. Pada bulan desember 1658 kapl-kapal belanda  diserbu secara serentak oleh kerajaan pelimbang bersama-sama rakyat dibawah pimpinan Pangeran Ario Kusuma Abdulrochim Kiayi Mas Endi dengan dibantu oleh :
1.            Adiknya Putri Ratu Emas Temenggung Bagus Kuning Pangluku
2.            Pangeran Mangku Bumi Nembing Kapal.
3.            Kiyai Demang Kecek.

Didalam pertempuran tersebut maka sebahagian dari anak kapal Cornelisz Oc-kerse dapat ditewaskan, sebagian ditawan sebagian lagi  dapat lolos melalui Jambi kemarkasnya di Betawi. Dua kapal besar belanda dari angkatan lautnya yaitu, ’JAKARTA’ dan ’ de WACHTER’ dapat dikuasai dan dimenangkan oleh pelimbang dalam peperangan tersebut. Kemudian kedua kapal tersebut disimpan di pulau kembara. Kesemuanya ini adalah akibat kecurangan dari pihak kompeni belanda yang dalam pelaksanaan kontrak dagangnya dengan kerajaan pelimbang tidak mematuhi peraturan kontraknya sendiri.
          Rupanya kompeni tidak melupakan kejadian tersebut begitu saja, satu tahun kemudian pada tanggal 10 november 1659 menyusul satu armada kapal perang dibawah pimpinan commandeur JOHAN vender LAAN dimuka kubu pertahanan (benteng) Manguntama, dan benteng tambak jaya yang terletak di pulau kembara dan muara sungai komering, menggempur benteng pertahanan pelimbang tersebut. Pada hari permulaan Belanda keisian dan dipukul mundur sampai posisi pulau salah nama sebab kapal-kapal perang mereka banyak yang rusak tenggelam, orang-orangnya banyak yang cidera karena tembakan oleh meriam Sri Pelimbang yang sangat dibanggakan oleh rakyat pelimbang dan diakui oleh musuh kehebatannya itu, baik dari segi kaliber kekuatan maupun keampuhannya sehingga pada jaman itu meriam musuh yang dapat menandinginya.
          Dalam keadaan posisi yang parah itu maka pihak pihak musuh mencari siasat dan jalan keluar berupa mengincar letak pusat penyimpanan obat mesiu pelimbang. Walaupun bagaimana sulitnya untuk mendapatkan rahasia penyimpanan tersebut, akhirnya letak dari gudang-gudang obat mesiu itu dapat juga diketahui oleh mereka, diledakkan oleh musuh pusat pennyimpanan mesiu di benteng tambak baya di muara pelaju itu.
Oleh karena itu maka posisi pertempuran beberapa kali berubah –ubah dan akhirnya dikarenakan gudang-gudang mesiu pelimbang terbakar, maka palembang harus bertempur dengn senjata tajam, seperti keris, pedang, panah, tombak nibung, yaitu semacam tombak bambu runcing yang berbisa sekali. Dikarenakan kuto gawang hampir habis terbakar itu maka pasukan dan rakyat palemban berangsur mengundurkan diri kepedalaman. Raja pelimbang, sido ing rejek berikut rakyatnya kemudian mendirikan kuto baru di pedalaman yang diberi nama indralaya yang dijadikan tempat kedudukan raja pelimbang. Sebagian besar rakyat pelimbang dibawa oleh raja mengungsi ke saka tiga, pedamaran, tanjung batu dan pondok, tetapi kemudian sebagian besar dari mereka tinggal menetap ditempat-tempat tersebut hingga sekarang telah berkeluarga, turun temurun menjadi penduduk ditempat-tempat tersebut. Setelah pelimbang dan kuto gawang hampir dikosongkan dengan mengungsinya sebagian besar penduduknya ke pedalaman, maka dalam pada itu raja mengambil siasat melakukan sistem peperangan secara pengepungan (blokade) dan gerilya terhadap kompeni belanda dan raja sendiri pindah ke saka tiga. Ternyata masih banyak peniggalannya di tempat tersebut yaitu. Makam perkuburannya sendiri, masjid, balainya dan lain-lain. Pada siang harinya rakyat dan tentara pelimbang menghilang tidak menampakkan diri di kuto yang sebagian telah dibakar dan dibumi hanguskan itu, dan baru pada malam harinya diadakan kesibukan-kesibukan. Sandang dan pangan tidak di jual belikan kepada kompeni belanda, sehingga mereka lama kelamaan menderita kekurangan persediaan.
Di indralaya, saka tiga, pedamaran, pondok, tanjung batu, dan daerah sekitarnya rakyat sibuk membuat alat-alat persenjataan untuk perang dan pembangunan. Di pondok khususnya untuk pertemuan, oleh raja sendiri diadakan dan dipimpin musyawarah besar bersama dengan alim ulama, hulubalang, pemimpin pasukan, pemuka rakyat perihal bagaimana cara melakukan siasat peperangan melawan musuh. Jikalau tadinya hanya kaum pria saja yang berperang, maka didalam musyawarah di pondok tersebut diambil keputusan antara lain, bahwa didalam peperangan yang akan diadakan nanti kaum wanita juga akan ikut serta yang pimpinananya akan ditunjuk adalah adik dari kyai kemas endi pangeran ario kusumo abdul rochim, ratu bagus kuning dengan gelar Tumenggung Bagus Pangluklu, yaitu adik dari Pangeran Sido Ing Rejek.
Maka didalam menghadapi peperangan yang akan dilakuakan pada hari-hari mendatang melawan belanda itu setelah diadakan persiapan-persiapan itu da;lam waktu yang cukuo lama dan matang dengan cara kerja sama dan persaudaraan yang baik itu, maka di aturlah pimpinan oleh empat orang yaitu :
  1.  Pangeran Ario Kesumo Abdul Rochim adik raja sendiri, selaku pimpinan umum
  2. Pangeran Mangku Bumi Nembing Kapal dengan alim ulama, hulubalang dan pasukan sabililahnya
  3. Ki Demang Kecek dengan pasukan dan rakyatnya sebagian dari jambi dan sekutu-sekutunya.
  4. Ratu Tumenggung Bagus Kuning Pangluku, dengan srikandi-srikandi pimpinan serta pasukan-pasukannya.
Maka didalam peperangan berlangsung begitu dahsyat dan agak lama banyak jatu korban dikedua belah pihak. Lama kelamaan dipihak belanda tidak bertahan dengan serangan dari rakyat pelimbang secara gerilya maupun secara langsung terus menerus dari pedalaman dan segala penjuru. Disamping itu menilik pula bahwa posisi belanda selama di blokade itu banyak diantara mereka yang sakit akibat kekurangan obat dan pangan dan selama itu tidak dapat turun ke daratan dan kekurangan perlengkapan. Melihat hal demikian serangan dari pihak palembang berjalan terus , maka armada belanda kemudian tidak dapat bertahan lebih lama lagi dengan banyak korban Comandeur JOHAN vander LAAN
Menundurkan diri ke perairan yang aman di luar jarak tembakan meriam dari ketiga benteng pertahanan pelimbang yaitu : Tambak baya, pulau kembara laut dan kembara darat dan mangun tama. Dua hari kemudian armada angkatan perang belanda dipimpin oleh Comandeur JOHAN vander LAAN dan wakil komandeurnya JOHAN TEREUYTMAN meninggalkan perairan musi  dan mengundurkan diri ke Batavia (Betawi).
Sejak terbakar habisnya keraton Kuto Gawang, Palembang telah rata dengan tanah. Akan tetapi Palembang harus bangkit dan perlu kepemimpinan. Kemas Hindi dengan upaya dan kharismanya yang tinggi, menegakkan kembali harkat dan martabat Palembang. Ia berhasil memimpin, membentuk serta membangun kembali peradaban Palembang pasca perang 1659, dan memutuskan keterikatan dengan Jawa terutama Mataram. Kemudian pada tahun 1666, Pangeran Ario Kusumo Kemas Hindi memproklamirkan Palembang menjadi Kesultanan Palembang Darussalam dan beliau dilantik sebagai sultan oleh Badan Musyawarah Kepala-kepala Negeri Palembang dengan gelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam serta mendapat legalitas pula dari Kerajaan Istambul (Turki Usmani). Sebuah keraton baru Kuto Cerancangan di Beringin Janggut dibangunnya dalam tahun 1660, dan sebuah masjid negara (1663). Masjid ini kemudian dikenal dengan Masjid Lama (17 ilir sekarang) dan kini hanya tinggal namanya saja.
Bapak pembangunan Kesultanan Palembang Darussalam ini setelah wafatnya disebut dengan Sunan Candi Walang, makamnya terdapat di Gubah Candi Walang 24 ilir Palembang, pemerintahannya selama 45 tahun. Dibawah kepemimpinan beliaulah Islam telah menjadi agama Kesultanan Palembang Darussalam (Darussalam = negeri yang aman, damai dan sejahtera) dan pelaksanaan hukum syareat Islam berdasarkan ketentuan resmi. Beliaulah yang memantapkan menyusun, mengatur serta mengorganisir struktur pemerintahan modern secara luas dan menyeluruh, hukum dan pengadilan ditegakkan, pertahanan, pertanian, perhutanan dan hasil bumi lainnya ditata dengan serius. Struktur pemerintahan di tata sesuai menurut adat istiadat negeri yang lazim diatur leluhur kita di Palembang ini. Sultan mempunyai seorang penasehat Agama dan seorang sekretaris. Juga didampingi pelaksana pemerintahan sehari-hari sebagai pelaksana harian dan didampingi oleh Kepala Pemerintahan setempat sebagai Kepala Daerah. Tiga orang sebagai anggota Dewan Menteri terdiri dari pangeran Natadiraja, pangeran Wiradinata dan pangeran Penghulu Nata Agama yang mengatur tentang seluruh permasalahan Agama Islam.


PERANG PALEMBANG PERTAMA – VOC (1659)
 






KERATON PALEMBANG (1821)

Darimanakah lahirnya Kesultanan Palembang Darussalam?

 
Tulisan ini sedikit jawaban dari pertanyaan mangcek Karim (klik sini) yang gundah tentang sejarah negerinya.... Untuk itu saya ingin berkongsi dengan anda semua, dan ada baiknya untuk lebih memperkaya khazanah sejarah Palembang Darussalam  baca juga buku ini (klik sini).
Pernahkah kita bertanya-tanya, apa saja yang terjadi diantara ‘missing link’  8 abad (800 tahun) antara Empayar Melayu Kuno Sri Wijaya (Shri Vijaya) dengan Kesultanan Palembang Darussalam?
Sri Wijaya adalah kerajaan yang mengalami puncaknya di Abad 7 Masehi saat rantau ini masih dominan beragama Budha/Hindu. Manakala Kesultanan Palembang Darussalam wujud di Abad 15 saat Islam mulai menyebar di Nusantara. Kedua-duanya berada di Kota Palembang, Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel).
800 tahun bukan kurun yang sebentar, malah boleh dibilang terlalu lama untuk bisa mengais kemungkinan adanya susur galur keduanya.
Jadi? Ya...Sri Wijaya adalah Sri Wijaya.  Palembang Darussalam mempunyai kisah dan sejarah tersendiri. Dan ia sangat unik. Karena hanya disinilah 2 suku bangsa sekaligus magnet besar budaya Nusantara berpadu dan bercampur. Yaitu Melayu dan Jawa.
Bagaimana sih ceritanya?
Banyak ahli sejarah yang angkat tangan jikalau ditanya apa saja yang terjadi di masa kegelapan di bekas empayar maritim pertama Nusantara itu.  Yang jelas, di awal abad ke-15, datanglah sekelompok panglima dan pangeran dari Kesultanan Demak, yang kalah berperang dengan Mataram Islam (mengenai mengapa 2 kesultanan Islam ini saling berperang, ceritanya agak panjang, lain masa daku kisahkan) ke Palembang. Mereka dipimpin oleh ‘Ki Gede Ing Suro’ (Ki=panggilan singkat dari Kiai; Gede=Besar; Ing=Di; Suro=Muharram atau Ikan Hiu) dan sejumlah panglima seperti Bodrowongso.
Di pinggiran Palembang, saat itu terdapat puluhan kerajaan kecil puak Melayu (ingat.. Melayu di Sumatra Selatan juga berpuak-puak/sub etnis yang ragamnya sangat banyak dengan bahasa tempatan yang juga beragam tetapi mungkin masih satu rumpun,misal Ogan, Komering, Lahat, Sekayu, Enim ataupun Melayu dan masih banyak lagi). Kumpulan puak-puak ini membentuk Batin dan biasanya pemimpinnya disebut ‘Pati’. Rombongan "Wong Jowo” (wong=orang) ini lantas mengadakan pertemuan dengan para pemimpin dari penjuru "Batang Hari Sembilan" (nama gelaran wilayah Sumatra Selatan yang dialiri 9 sungai). Tidak ada catatan berdarah dalam proses konsensus "Jawa dan Melayu" ini. Kemudian lahirlah kerajaan Palembang (belum dengan tambahan Darussalam lho...) dengan pemimpinnya Ki Gede Ing Suro sebagai konsensus politik pertama.
Bahasa Jawa saat itu tentu saja masih dikekalkan, tetapi hanya dilingkungan kraton. Dengan berjalannya waktu, maka bahasa Melayu dan Jawa ini membentuk ‘Bahaso Plembang’ yang sebagaimana di Jawa dibedakan atas Halus (Krama/Kromo) dan Umum (Ngoko) maka jenis Bahaso Palembang pun dikenal jenis Baso Alus/Kramo (Halus/Krama) dan Baso Sari-sari (Sehari-hari/umum/Ngoko). Termasuk sejumlah suku kata dan susunan bahasa yang menggabungkan 2 budaya.
Keturunan Jawa dan Palembang dari fihak Kraton/ningrat bergelar ‘Ki Emas’ atau ‘Kiemas/Kemas’ dan ‘Ki Agus’ (agus=bagus). Tetapi keturunan dari garis perempuan yang dinikahi para bangsawan kerajaan Palembang – memakai gelar baru yaitu ‘Raden’- mereka ini mendeklarasikan Kesultanan Palembang Darussalam. Inilah konsensus politik kedua di Palembang.
 
Sayang, tidak semuanya sepakat dengan deklarasi tersebut. Mereka yang tidak sepakat, tetap menggunakan gelar lama yakni Kimas atau Kiagus. Sikap ini diambil oleh turunan Bodrowongso atau Panglima Bawah Manggis. Yang tidak sepakat ini  lari ke pedalaman. Mereka beranak-pinak di sejumlah daerah di Pagaralam, Curup, Rawas, Sekayu, Pedamaran, atau Kayuagung.
Lihatlah senarai nama sultan2nya…hmm…bergaya Melayu campur Jawa :
-          Pangeran Ario Kusumo Abdurrochim/Ki Mas Endi bergelar Sultan Abdurrachman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman, sultan I
-          Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago, sultan II
-          Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Sultan Mahmud Badaruddin I), sultan III
-          Sultan Ahmad Najamuddin Adikusumo, sultan IV
-          Sultan Muhammad Bahauddin, sultan V
-          Sultan Mahmud Badaruddin II (Raden Hasan Bahauddin), sultan VI 
Barulah pada masa Sultan Mahmud Badaruddin II terjadi rekonsiliasi antara para Raden dengan Kimas/Kiagus. Ini diwujudkan dalam pembangunan Benteng Kuto Besak, dan Masjid Agung. Bahan baku seperti telur, dikirim dari keluarga lama yang berada di pedalaman. Bahkan, masjid Agung pun dikelola oleh para ulama dari gelar apa pun, termasuk para ulama dari Arab, dan Tiongkok.
Sesudah Sultan Mahmud Badaruddin II diasingkan Belanda ke Ternate/Maluku maka Kesultanan Palembang Darussalam diperintah oleh Sultan Najamuddin Pangeran Ratu (1819), dua tahun kemudian ia diganti Sultan Najamuddin Prabu Anom (Prabu=Sultan; Anom=Muda). Dan lagi-lagi dua tahun kemudian, pada 1823 Masehi, giliran Kramo Jayo (Jawa=Kromo Joyo) menjadi Sultan Palembang. Tampaknya politik pecah belah Belanda sangat mujarab mencerai berai zuriat Kesultanan ini untuk saling berperang satu sama lain, berebut kuasa. 
Demikianlah, akibat terus berpecah-belahnya kalangan bangsawan Palembang, Belanda kemudian tidak sanggup lagi mengelolanya sehingga Kesultanan Palembang Darussalam secara paksa ditiadakan pada 1823.

Kesultanan Palembang Darussalam (1550 – 1823)


Posted by infokito™ pada 6 September 2007
Sejarah mengenai Kesultanan Palembang dapat dimulai pada pertengahan abad ke-15 pada masa hidupnya seorang tokoh bernama Ario Dillah atau Ario Damar. Beliau adalah seorang putera dari raja Majapahit yang terakhir, yang mewakili kerajaan Majapahit bergelar Adipati Ario Damar yang berkuasa antara tahun 1455-1486 di Palembang Lamo, yang sekarang ini letaknya di kawasan 1 ilir. Pada saat kedatangan Ario Damar ke Palembang, penduduk dan rakyat Palembang sudah banyak yang memeluk agama Islam dan Adipati Ario Damar pun mungkin kemudian memeluk agama Islam, konon namanya berubah menjadi Ario Abdillah atau Ario Dillah (Dalam bahasa Jawa damar = dillah = lampu).
Ario Dillah mendapat hadiah dari Raja Majapahit terakhir Prabu Kertabumi Brawijaya V salah seorang isterinya keturunan Cina (kadang-kadang disebut juga Puteri Champa) yang telah memeluk Islam dan dibuatkan istana untuk Puteri. Pada saat putri ini diboyong ke Palembang ia sedang mengandung, kemudian lahir anaknya yang bernama Raden Fatah. Menurut cerita tutur yang ada di Palembang, Raden Fatah ini lahir di istana Ario Dillah di kawasan Palembang lama (1 ilir), tempat itu dahulu dinamakan Candi ing Laras, yaitu sekarang terletak di antara PUSRI I dan PUSRI II. Raden Fatah dipelihara dan dididik oleh Ario Dillah menurut agama Islam dan menjadi seorang ulama Islam. Sementara itu hasil perkawinan Ario Dillah dengan putri Cina tersebut, lahir Raden Kusen yaitu adik Raden Fatah lain bapak.
Setelah kerajaan Majapahit bubar karena desakan kerajaan-kerajaan Islam, Sunan Ngampel, sebagai wakil Walisongo, mengangkat Raden Fatah menjadi penguasa seluruh Jawa, menggantikan ayahnya. Pusat kerajaan Jawa dipindahkan ke Demak. Atas bantuan dari daerah-daerah lainnya yang sudah lepas dari Majapahit seperti Jepara, Tuban, Gresik, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam dengan Demak sebagai pusatnya (kira-kira tahun 1481). Raden Fatah memperoleh gelar Senapati Jimbun Ngabdu’r-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata’Gama.

Hubungan Palembang dengan Demak

Raja Kerajaan Demak Raden Fatah wafat tahun 1518 dan digantikan puteranya Pati-Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang wafat tahun 1521, kemudian digantikan saudara Pati-Unus yaitu Pangeran Trenggono yang wafat pada tahun 1546 (makam-makam mereka ada di halaman Mesjid Demak). Setelah Pangeran Trenggono wafat terjadi perebutan kekuasaan antara saudaranya (Pangeran Seda ing Lepen) dan anaknya (Pangeran Prawata). Pangeran Seda ing Lepen akhirnya dibunuh oleh Pangeran Prawata. Kemudian Pangeran Prawata beserta keluarganya dibunuh pada tahun 1549 oleh anak Pangeran Seda ing Lepen yang bernama Arya Penangsang atau Arya Jipang. Demikian juga menantu Raden Trenggono yang bernama Pangeran Kalinyamat dari Jepara juga dibunuh. Arya Penangsang sendiri dibunuh oleh Adiwijaya juga seorang menantu Pangeran Trenggono atau terkenal dengan sebutan Jaka Tingkir yang menjabat Adipati penguasa Pajang. Akhirnya Keraton Demak dipindah oleh Jaka Tingkir ke Pajang dan habislah riwayat Kerajaan Demak. Kerajaan Demak hanya berumur 65 tahun yaitu dari tahun 1481 sampai 1546.
Dalam kemelut yang terjadi atas penyerangan Demak oleh Pajang ini, berpindahlah 24 orang keturunan Pangeran Trenggono (atau Keturunan Raden Fatah) dari kerajaan Demak ke Palembang, dipimpin oleh Ki Gede Sedo ing Lautan yang datang melalui Surabaya ke Palembang dan membuat kekuatan baru dengan mendirikan Kerajaan Palembang, yang kemudian menurunkan raja-raja, atau sultan-sultan Palembang. Keraton pertamanya di Kuto Gawang, pada saat ini situsnya tepat berada di kompleks PT. Pusri, Palembang. Dari bentuk keraton Jawa di tepi sungai Musi, para penguasanya beradaptasi dengan lingkungan melayu di sekitarnya. Terjadilah suatu akulturasi dan asimilasi kebudayaan jawa dan melayu, yang dikenal sebagai kebudayaan Palembang.

Hubungan Palembang dengan Mataram

Pindahnya pusat kerajaan Jawa dari Demak ke Pajang menimbulkan pergolakan baru setelah wafatnya Jaka Tingkir. Pajang yang diperintah Arya Pangiri diserang oleh gabungan dua kekuatan, dari Pangeran Benowo (putra Jaka Tingkir yang tersingkir) dan kekuatan Mataram (dipimpin Panembahan Senapati atau Senapati Mataram, putra Kyai Ageng Pemanahan atau Kyai Gede Mataram). Akhirnya Arya Pangiri menyerah kepada Senapati Mataram dan Kraton Pajang dipindahkan ke Mataram (1587) dan mulailah sejarah Kerajaan Jawa Mataram. Senapati Mataram sendiri merupakan keturunan Raden Fatah dan Raden Trenggono yang masih meneruskan dinastinya di Jawa, sehingga dapat dipahami eratnya pertalian antara Palembang dan Mataram pada masa itu, yang terus berlanjut hingga masa pemerintahan Raja Amangkurat I (silsilah raja yang keempat). Sampai akhir 1677 Palembang masih setia kepada Mataram yang dianggap sebagai pelindungnya, terutama dari serangan kerajaan Banten. Sultan Muhammad (1580 – 1596) dari Kesultanan Banten pada tahun 1596 pernah menyerbu Palembang (diperintah Pangeran Madi Angsoko) dengan membawa 990 armada perahu, yang berakhir dengan kekalahan Banten dan wafatnya Sultan Muhammad. Penyerbuan ini dilakukan atas anjuran Pangeran Mas, putra Arya Pangiri dari Demak.
Tetapi tidak lama kemudian terdapat golongan yang ingin memisahkan diri dari ikatan dengan Jawa khususnya generasi mudanya. Sementara itu kekuasaan raja-raja Mataram juga berangsur berkurang karena makin bertambahnya ikut campur kekuasaan VOC Belanda di Mataram, sehingga dengan demikian kekuasaan dan hubungan dengan daerah-daerah seberang termasuk Palembang juga merenggang.

Hubungan Palembang dengan VOC

Palembang yang semula merupakan bagian dari kekuasaan Mataram mulai mengadakan hubungan dengan VOC, dengan demikian timbul kecurigaan dari penguasa Mataram dan dampaknya adalah makin renggangnya hubungan Palembang dengan Mataram. Kontak pertama Palembang dengan VOC pada tahun 1610. Pada awalnya VOC tidak banyak berhubungan dengan penguasa Palembang, selain saingan dari Inggris dan Portugis serta Cina, juga sikap penguasa Palembang yang tidak memberikan kesempatan banyak kepada VOC. VOC menganggap penguasa Palembang terlalu sombong; dan menurut VOC hanya dengan kekerasan senjatalah kesombongan Palembang dapat dikurangi, sebaliknya Palembang tidak mudah digertak begitu saja.
Semasa pemerintahan Pangeran Sideng Kenayan yang didampingi istrinya Ratu Sinuhun di Palembang dan Gubernur Jendral di Batavia Jacob Specx (1629-1632) telah dibuka Kantor perwakilan Dagang VOC (Factorij) di Palembang. Kontrak ditanda tangani tahun 1642, tetapi pelaksanaanya baru pada tahun 1662. Anthonij Boeij sejak tahun 1655 ditunjuk sebagai wakil pedagang VOC di Palembang dan sementara tetap tinggal di kapal karena belum punya tempat (loji) di darat. VOC sendiri telah sejak tahun 1619 ingin mendirikan loji (kantor) dan gudang di Palembang. Pembangunan loji dari batu mengalami kesulitan karena pada saat yang sama didirikan bangunan-bangunan antara lain kraton di Beringin Janggut, Masjid Agung dan lain lainnya. Mula-mula loji didirikan di atas rakit, kemudian bangunan dari kayu yang letaknya di 10 Ulu sekarang diatas sebuah pulau yang dikelilingi sungai Musi, sungai Aur, sungai Lumpur serta sambungan dari sungai Tembok. Bangunan permanen dari batu baru dibuat pada tahun 1742. Tindak-tanduk mereka ini tidak menyenangkan orang Palembang karena antara lain ia menyita sebuah jung Cina bermuatan lada.
Kemudian VOC menggantikannya dengan Cornelis Ockerz (dijuluki — si Kapitein Panjang) yang tadinya dicadangkan untuk jadi perwakilan di Jambi. Ockerz datang dua kali di bulan Juni 1658 ke Palembang yang terakhir ia menahan beberapa kapal diantaranya milik putra mahkota Mataram. Terjadi bentrokan yang kemudian dapat didamaikan. Pada tanggal 22 Agustus 1658 beberapa bangsawan Palembang (a.l. Putri Ratu Emas, Tumenggung Bagus Kuning Pangkulu, Pangeran Mangkubumi Nembing Kapal, Kiai Demang Kecek) naik ke atas kapal yacht Belanda, yang bernama Jacatra dan de Wachter, dan membunuh Ockerz beserta 42 orang Belanda lainnya serta menawan 28 orang Belanda. Peristiwa ini disebabkan karena kecurangan-kecurangan serta kelicikan orang-orang Belanda termasuk Ockerz. Kemudian untuk membalas tindakan orang Palembang ini Belanda mengirimkan armadanya yang dipimpin Laksamana Johan Van der Laen dan pada tanggal 24 November 1659 membakar habis kota dan istana Sultan di Kota Gawang (1 llir). Pangeran Mangkurat Seda ing Rajek akhirnya menyingkir ke Indralaya (makamnya di Saka Tiga).

Sketsa yang tertua mengenai Kraton Palembang, dibuat pada tahun 1659, sesaat sebelum Kraton dan Kota Palembang Lama ini dibakar habis oleh Kompeni




Suasana Perang Palembang – VOC tahun 1659
Perang Palembang — Kompeni yang pertama dimulai 4 November 1659, akibat perlawanan Palembang atas kekurangajaran hasil wakil VOC di Palembang, dengan armada terbesar di bawah pimpinan Laksamana Joan van der Laen. Palembang akhirnya dapat direbut Belanda pada tanggal 23 November 1659. Keraton Kuto Gawang dan permukiman penduduk, dan tempat orang-orang Cina, Portugis, Arab, dan bangsa-bangsa lain yang ada di seberang Kuta tersebut dibakar habis selama 3 hari dan 3 malam. Sultan Abdurrahman memindahkan keratonnya ke Beringin Janggut (sekarang sebagai pusat perdangangan). [triyono-infokito]
Wallahua’lam