Kamis, 05 Januari 2012

Hilang Budaya, Hilang Bangsa

HL | 09 December 2010 | 17:35 424 23 7 dari 7 Kompasianer menilai Aktual

BENTENG KUTO BESAK, Jembatan Ampera, dan Sungai Musi siang itu menjadi saksi berkumpulnya para delegasi tetua adat dan Raja-raja dari Kesultanan/Kerajaan se-Nusantara di perhelatan Festival Keraton Nusantara ke VII (FKN) 26-29 November 2010 lalu di kota Palembang yang merupakan acara rutin dua tahunan. Terpilihnya kota Palembang sebagai tuan rumah merupakan prestise tersendiri bagi warga dan kota Palembang dan tentu prestise tersendiri bagi raja-raja se-Nusantara yang sadar bergerak, sadar berjuang, dan sadar mempersatukan kembali nilai-nilai budaya dan kultural sebagai pemersatu bangsa. Dari 155 delegasi ketua-ketua lembaga adat kerajaan dari dalam Negeri, hadir pula perwakilan kerajaan Negara tetangga Kerajaan Serawak (Malaysia) dan kerajaan Brunei Darussalam.

Sabtu 27 November 2010 ratusan warga memadati pelataran Benteng Kuto Besak yang berseberangan dengan sungai Musi. Mereka sangat antusias tak perduli lagi akan terik matahari yang menyengat kulit siang itu. Bagi masyarakat Palembang acara FKN merupakan hal dan tontonan baru. Bahkan dua orang penonton berkata kepada temannya “memang di Palembang ada Kerajaan?”. Namun, mata mereka terbelalak memandang ratusan prajurit yang bersiap melakukan kirab agung dengan segala keindahan pernak-perniknya yang amat mempesona. Keindahan yang tidak pernah dilihat sebelumnya. Keindahan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Gong di bunyikan, tanah dan air diserahkan kepada Keraton Kesultanan Palembang Darussalam yang diwakili Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin dan Gubernur Sumsel Alex Noerdin sebagai deklarasi demi membela Tanah Air. Festival Keraton Nusantara ke VII resmi dibuka, Kirab agung dimulai. Satu persatu delegasi memperagakan kirab agung di hadapan para raja dan masyarakat. Palembang seakan kembali pada masa Madya saat Kesultanan Palembang Darussalam disegani dikawasan Nusantara pada saat Palembang berfungsi sebagai pusat kerajaan Sriwijaya abad ke 7 (tahun 683 Masehi) hingga sekitar abad ke-12 di bawah Wangsa Syailendra/Turunan Dapunta Syailendra dengan Bala Putra Dewa sebagai raja Pertama.

Saat utusan Cirebon dari keraton Kasepuhan memperagakan kirab agung. Manggalayudha menyiapkan pasukan. Manggalayudha berteriak.

“Baladika!”

“Ya!”

“Manced gunung (tegak)”

“Ya!”

“Siaga (siap)”

“Haiiiit!” seruan Surakbala

“Allahu akbar!”

Allahu akbar!”

Serempak semua pasukan berjalan sambil bershalawat dihadapan utusan raja-raja se-Nusantara yang menyaksikan dari tenda kehormatan. Surakbala menyeruak tembok ratusan warga. Tampak seorang Punggawa membawa umbul-umbul pusaka Waring Kuning yang melambangkan kesederhanaan. Disusul oleh seorang Panji membawa lambang Singa Barwang dwajilullah dwaja kebesaran kerajaan islam Cirebon. Seorang Mantri Panewu membawa payung kropak dan Tunggul Gada lambang kedaulatan Negara. Umbul-umbul Gula Kelapa dibawa oleh seorang Suratani perlambang dari kesatuan dan persatuan. Umbul-umbul Pandan Binetot lambang dari kebhinekaan dibawa oleh Mantri Panatus. Dengan kawalan ketat para Balapati, para Manggala, Ki Ageng, Nyi Ageng, Ki Kuwu, Ki Buyut, tampak seorang Senopati selaku panglima tertinggi dipandu Aden Ayu juru pamayung. Di belakangnya tampak pasukan Tegang Pati pasukan gerak cepat Suranenggala dengan lambang Wisaba dwaja rupa. Di susul pasukan Sarwajala dengan lambang Tatsaka dwaja rupa atau pasukan penjaga lautan pesisir Cirebon. Korp musik pengiring pasukan mengakhiri barisan pasukan Wiraraja pasukan khusus pengawal raja atau Bhayangkara dengan lambang Bramara dwaja rupa.

Kontingen Kesultanan Kasepuhan membacakan sinopsis tentang berdirinya kerajaan Kasepuhan Cirebon ketika melintas di 155 raja-raja yang duduk tenda kehormatan sambil mendengarkan dengan khidmat sinopsis dan menyaksikan kirab agung dari Keraton Kasepuhan Cirebon: Dua april seribu empat ratus delapan puluh dua masehi dibawah kendali keadilan Sunan Jati Purba Syekh Maulana Syarif Hidayatullah, ditandai dengan berkibarnya umbul-umbul waring pusaka dan ditancapkannya payung kropak agung dialun-alun Pakungwati, Cirebon memproklamirkan diri sebagai kerajaan Islam yang berdaulat penuh terlepas dari kerajaan Pakuan Pajajaran maka untuk menjaga kedaulatan wilayah, kerajaan Islam Cirebon membentuk kelompok-kelompok prajurit yang tangguh. Pembaca sinopsis berteriak dari atas panggung:

“Inilah kirab agung prajurit Kasultanan Kasepuhan Cirebon!”.

***

Bicara tentang Keraton dan kekayaan budayanya tak bisa lepas dari sejarah perkembangan Kerajaan-kerajaan di Nusantara dahulu. Siapakah raja dahulu dan siapakah raja sekarang dan siapakah raja di masa hadapan? retiap raja, kapan dan di mana pun, baik yang amanah menghayati kekuasaan secara sungguh-sungguh maupun yang sekarep dewek (sekehendak hati tidak memperdulikan rakyatnya) akan mendapatkan dirinya berhadapan muka dengan masalah-masalah asasi. Dengan membaca sejarah secara tenang dan arif tanpa dibebani prasangka dan vested interest, pada akhirnya akan mengantar kembali membangun peradaban yang berbudaya sehingga tak hilang Bangsa.

Dalam konteks inilah, membaca kembali atau bahkan membongkar sejarah Kerajaan/Kesultanan dengan jernih menjadi penting dan niscaya, ketimbang mengais-kais kejayaan masa lampau yang telah silam kemudian menghamburkan jargon-jargon murahan dengan kepongahan luar biasa. Sebagai pembaca sejarah dengan memahami dasar konsepsinya, kita pun ditantang untuk secara rendah hati menjawab sebuah pertanyaan sederhana: relevansi apakah yang ada pada esensi sejarah masa lalu dengan masa kini yang harus dipertahankan dan dikembangkan serta yang harus “ditanggalkan dan ditinggalkan” demi masa depan Bangsa?

Serentak dengan itu sejarah seolah-olah bangkit atau dibangkitkan. Masa lampau hadir bersama masa kini dan impian-harapan masa depan. Celakanya, masa lampau yang (di)hadir(kan) senantiasa berupa kepingan-kepingan yang garang: kisah-kisah seputar perang, ke-digjaya-an, senjata, keseraman ilmu mejik, dan yang sejenis dengan itu.

Pada titik ini, Sebuah kerajaan beserta seluruh sejarahnya, disadari atau tidak, telah dirumuskan secara serampangan dan irasional. Seakan kerajaan hanyalah hal-hal serupa itu. Lantas disebarkan ke tengah-tengah publik dan diterima pula secara taken for granted. Sebuah lingkungan budaya pun terbentuk, yakni budaya yang semakin memuja.

“Feodalisme” atau “Pendekarisme” atau apa pun istilahnya. Lingkungan budaya seperti itulah yang dipelihara dengan penuh kebanggaan lantas mengeras menjadi semacam identitas bersama bagi sebuah Kerajaan. Sehingga kepingan-kepingan lainnya yang boleh jadi sesungguhnya adalah bagian penting dan utama dari sejarah dan kebudayaan bangsa dengan seluruh kebesarannya pada masa itu justru ter(di)sisihkan, ter(di)abaikan, bahkan ter(di)lupakan.

Semoga saja dari event rutin dua tahunan ini membentuk raja-raja yang bersahaja untuk negerinya, karena tidak ada negeri yang memiliki tatanan dan budaya yang baik, tanpa seorang raja. Harus ada raja sejati. Yang tidak tinggal di balik istana. Raja yang dikenal dengan baik. Yang dapat ditemui tanpa birokrasi yang njelimet. Seorang raja di abad modern ini tentunya yang dapat membebaskan dirinya dari rasa malu berbudaya, sombong dan ingkar. Seorang raja yang pasti akan di limpahkan cahaya bagi raja yang sanggup melepaskan belenggu diri. Raja yang demikian akan bebas dari baik dan buruk, karena berada di jalan kekasihNya. Sehingga menjelma menjadi sosok raja insan kamil. *