Kamis, 16 Februari 2012

Lahirnya Kesultanan Palembang Darussalam?

oleh mutawalli

12960031771523206156

Tulisan ini sedikit banyak akan memperkaya khazanah sejarah Palembang Darussalam Pernahkah kita bertanya-tanya, apa saja yang terjadi diantara ‘missing link’ 8 abad (800 tahun) antara Empayar Melayu Kuno Sri Wijaya (Shri Vijaya) dengan Kesultanan Palembang Darussalam?

Sri Wijaya adalah kerajaan yang mengalami puncaknya di Abad 7 Masehi saat rantau ini masih dominan beragama Budha/Hindu. Manakala Kesultanan Palembang Darussalam wujud di Abad 15 saat Islam mulai menyebar di Nusantara. Kedua-duanya berada di Kota Palembang, Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel).

800 tahun bukan kurun yang sebentar, malah boleh dibilang terlalu lama untuk bisa mengais kemungkinan adanya susur galur keduanya.

Jadi? Ya…Sri Wijaya adalah Sri Wijaya. Palembang Darussalam mempunyai kisah dan sejarah tersendiri. Dan ia sangat unik. Karena hanya disinilah 2 suku bangsa sekaligus magnet besar budaya Nusantara berpadu dan bercampur. Yaitu Melayu dan Jawa.

12960029061998596186

Bagaimana sih ceritanya?

Banyak ahli sejarah yang angkat tangan jikalau ditanya apa saja yang terjadi di masa kegelapan di bekas empayar maritim pertama Nusantara itu. Yang jelas, di awal abad ke-15, datanglah sekelompok panglima dan pangeran dari Kesultanan Demak, yang kalah berperang dengan Mataram Islam (mengenai mengapa 2 kesultanan Islam ini saling berperang, ceritanya agak panjang, lain masa daku kisahkan) ke Palembang. Mereka dipimpin oleh ‘Ki Gede Ing Suro’ (Ki=panggilan singkat dari Kiai; Gede=Besar; Ing=Di; Suro=Muharram atau Ikan Hiu) dan sejumlah panglima seperti Bodrowongso.

Di pinggiran Palembang, saat itu terdapat puluhan kerajaan kecil puak Melayu (ingat.. Melayu di Sumatra Selatan juga berpuak-puak/sub etnis yang ragamnya sangat banyak dengan bahasa tempatan yang juga beragam tetapi mungkin masih satu rumpun,misal Ogan, Komering, Lahat, Sekayu, Enim ataupun Melayu dan masih banyak lagi). Kumpulan puak-puak ini membentuk Batin dan biasanya pemimpinnya disebut ‘Pati’. Rombongan “Wong Jowo” (wong=orang) ini lantas mengadakan pertemuan dengan para pemimpin dari penjuru “Batang Hari Sembilan” (nama gelaran wilayah Sumatra Selatan yang dialiri 9 sungai). Tidak ada catatan berdarah dalam proses konsensus “Jawa dan Melayu” ini. Kemudian lahirlah kerajaan Palembang (belum dengan tambahan Darussalam lho…) dengan pemimpinnya Ki Gede Ing Suro sebagai konsensus politik pertama.

1296003309710749707

Bahasa Jawa saat itu tentu saja masih dikekalkan, tetapi hanya dilingkungan kraton. Dengan berjalannya waktu, maka bahasa Melayu dan Jawa ini membentuk ‘Bahaso Plembang’ yang sebagaimana di Jawa dibedakan atas Halus (Krama/Kromo) dan Umum (Ngoko) maka jenis Bahaso Palembang pun dikenal jenis Baso Alus/Kramo (Halus/Krama) dan Baso Sari-sari (Sehari-hari/umum/Ngoko). Termasuk sejumlah suku kata dan susunan bahasa yang menggabungkan 2 budaya.

Keturunan Jawa dan Palembang dari fihak Kraton/ningrat bergelar ‘Ki Emas’ atau ‘Kiemas/Kemas’ dan ‘Ki Agus’ (agus=bagus). Tetapi keturunan dari garis perempuan yang dinikahi para bangsawan kerajaan Palembang - memakai gelar baru yaitu ‘Raden’- mereka ini mendeklarasikan Kesultanan Palembang Darussalam. Inilah konsensus politik kedua di Palembang.

Sayang, tidak semuanya sepakat dengan deklarasi tersebut. Mereka yang tidak sepakat, tetap menggunakan gelar lama yakni Kimas atau Kiagus. Sikap ini diambil oleh turunan Bodrowongso atau Panglima Bawah Manggis. Yang tidak sepakat ini lari ke pedalaman. Mereka beranak-pinak di sejumlah daerah di Pagaralam, Curup, Rawas, Sekayu, Pedamaran, atau Kayuagung.

Lihatlah senarai nama sultan2nya…hmm…bergaya Melayu campur Jawa :

- Pangeran Ario Kusumo Abdurrochim/Ki Mas Endi bergelar Sultan Abdurrachman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman, sultan I

- Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago, sultan II

- Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Sultan Mahmud Badaruddin I), sultan III

- Sultan Ahmad Najamuddin Adikusumo, sultan IV

- Sultan Muhammad Bahauddin, sultan V

- Sultan Mahmud Badaruddin II (Raden Hasan Bahauddin), sultan VI

Barulah pada masa Sultan Mahmud Badaruddin II terjadi rekonsiliasi antara para Raden dengan Kimas/Kiagus. Ini diwujudkan dalam pembangunan Benteng Kuto Besak, dan Masjid Agung. Bahan baku seperti telur, dikirim dari keluarga lama yang berada di pedalaman. Bahkan, masjid Agung pun dikelola oleh para ulama dari gelar apa pun, termasuk para ulama dari Arab, dan Tiongkok.

Sesudah Sultan Mahmud Badaruddin II diasingkan Belanda ke Ternate/Maluku maka Kesultanan Palembang Darussalam diperintah oleh Sultan Najamuddin Pangeran Ratu (1819), dua tahun kemudian ia diganti Sultan Najamuddin Prabu Anom (Prabu=Sultan; Anom=Muda). Dan lagi-lagi dua tahun kemudian, pada 1823 Masehi, giliran Kramo Jayo (Jawa=Kromo Joyo) menjadi Sultan Palembang. Tampaknya politik pecah belah Belanda sangat mujarab mencerai berai zuriat Kesultanan ini untuk saling berperang satu sama lain, berebut kuasa.

Demikianlah, akibat terus berpecah-belahnya kalangan bangsawan Palembang, Belanda kemudian tidak sanggup lagi mengelolanya sehingga Kesultanan Palembang Darussalam secara paksa ditiadakan pada 1823.