Keperkasaan Benteng Kuto Besak
- Oleh: Drs. Mutawalli
Setelah runtuhnya kerajaan maritime terbesar se-nusantara Sriwijaya sekitar abad 13 praktis Palembang tidak menjadi tempat yang ramai seperti kalah Sriwijaya berkuasa. Namun, selang berpuluh tahun kemudian berdiri lagi sebuah kerajaan yang kelak cukup disegani dengan nuansa islami yang begitu kental yaitu Kesultanan Palembang Darussalam.
Kerajaan islam Palembang inilah yang kembali menghidupkan denyut nadi kehidupan di Palembang khususnya dan Sumatera Selatan pada umumnya. Pengaruh kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam terasa bukan hanya di kawasaan Sumatera Selatan bahkan hingga seluruh kepulauan nusantara. Dari kerajaan islam ini kemudian lahir tokoh-tokoh islam yang cukup disegani bahkan hingga ke Jarizarah Arab seperti Abdul al-Somad al-Palembani, Syihabuddin Abdullah Muhammad, Kemas Fachruddin, Muhammad Muhyidin Syaikh Syihabuddin, dan lain-lain. Tidak hanya tokoh muslim Kesultanan Palembang Darussalam pun melahirkan tokoh nasional yang turut serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan mengibarkan semangat perjuangan guna mengusir penjajah Belanda dari bumi nusantara, diantara tokoh nasional yang cukup disegani diantaranya adalah Sultan Mahmud Badaruddin I dan Sultan Mahmud Badaruddin II (Yang wajahnya terpampang di uang Rp10.000,00).
Kesultanan Palembang Darussalam adalah sebuah kerajaan islam yang cukup besar pengaruhnya dalam pengembangan ajaran islam di bumi nusantara tidak hanya itu kesultanan ini pun cukup disegani dan bisa disejajarkan dengan kerajaan islam lain yang lebih dahulu berdiri seperti kerajaan islam di Pulau Jawa maupun yang ada di Sumatera. Kejayaan Kesultanan Palembang Darussalam bisa dikatakan terjadi sekitan tahun 1700-an hingga awal 1800-an sebelum penjajah Belanda mulai mengusik ketentraman yang ada di bumi Palembang. Sebelum Belanda masuk keadaan Palembang di bawah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam begitu tentram dimana rakyat hidup bahagia dan makmur. Perdagangan yang merupakan tombak utama keberlangsungan hidup rakyat di wilayah Palembang pada khususnya dan Sumatera Selatan pada umumnya berlangsung dengan adil dan makmur dibawah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam, Sungai Musi yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi rakyat pun turut menunjang kemakmuran daerah ini.
Akan tetapi, jejak kejayaan Kesultanan Palembang Darusaslam tidak banyak yang bisa ditinggalkan untuk generasi selanjutnya dikarenakan sangat sedikit sekali peninggalan sejarah dari Kesultanan Palembang Darussalam yang masih tersisa. Semua itu terjadi karena ulah bengis dari Kompeni Belanda yang telah mengusik dan menghancurkan keharmonisan yang ada di Palembang di bawah kekuasaan Kesultanan Palembang Darusalam. Praktis peninggalan besar dari Kesultanan Palembang Darusalam yang masih bisa kita saksikan saat ini hanyalah Masjid Agung (Masjid Sultan dahulu) dan Benteng Kuto Besak yang hingga sekarang masih berdiri kokoh dipinggiran sungai musi dimana benteng ini menyimpan begitu banyak kisah dari sebuah kerajaan besar yang pernah berdiri di bumi Palembang.
Padahal dahulu saat masih berjaya Kesultanan Palembang Darussalam merupakan kerajaan besar yang memiliki sebuah area kerajaan yang megah biasa disebut keraton. Dalam catatan sejarah ditulis bahwa keraton pertama yang dimiliki oleh Kesultanan Palembang Darussalam merupakan Keraton Kuto Gawang terletak di lokasi yang saat ini dijadikan Pabrik Pupuk Sriwijaya (PUSRI) akan tetapi pada tahun 1651 karena ada perselisihan dengan pihak Belanda akhirnya keraton ini diserbu dan dibumi hanguskan oleh kompeni. Kemudian Kesultanan Palembang Darussalam kembali membuat sebuah keraton baru yang bernama Keraton Beringin Janggut terletak di tepian Sungai Tengkuruk di sekitar pasar 16 Ilir sekarang. Lalu selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I atau Jayo Wikramo (1724-1758) dipindahkan ke Keraton Kuto Lamo (Keraton Kuto Tengkuruk) yang didirikan pada tahun 1737 di lokasi yang sekarang menjadi lokasi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Dan kemudian pusat pemerintahan dipindahkan lagi ke lokasi baru yang sampai sekarang dikenal dengan nama Kuto Besak. Dahulu keberadaan Keraton Kuto Lamo di sisi Timur (Sekarang berdiri Museum Sultan Mahmud Badaruddin II) dan Keraton Kuto Besak di sisi Barat berdampingan dengan dilindungi oleh dinding benteng yang kuat dan kokoh.
Benteng Kuto Besak sendiri merupakan lapisan dinding tebal yang melindungi keberadaan Keraton Kuto Baru dan Keraton Kuto Lamo di dalamnya. Benteng Kuto Besak sendiri dibangun selama kurang lebih 17 tahun, dimulai pada tahun 1780 dan diresmikan pemakaiannya pada hari senin tanggal 21 Februari 1797. Pemprakarsa pembangunan Benteng Kuto Besak adalah Sultan Mahmud Badaruddin I yang diteruskan dan diselesaikan oleh anaknya Sultan Mahmud Badaruddin II. Adapun arsiteknya konon merupakan berasal dari Eropa dengan pengawas pembangunan adalah orang-orang Cina. Biaya pembangunan benteng ini sendiri berasal dari kas pribadi sultan. Ada hal unik dari pembangunan benteng ini dimana semen perekatnya menggunakan batu kapur yang ada di daerah pedalaman Sungai Ogan Komering Ilir ditambah dengan putih telur (Mungkin inilah wilayah penghasil semen yang menjadi cikal bakal berdirinya Semen Baturaja). Maksud dan tujuan dari pembangunan benteng ini dapat diperkirakan adalah usaha sultan agar keberadaan keraton sebagai pusat pemerintahan kerajaan tetap aman saat sewaktu-waktu Belanda datang menyerang, sultan tampaknya tidak ingin kecolongan lagi seperti yang terjadi saat Keraton Kuto Gawang diserang dan dibumi hanguskan oleh Kompeni Belanda.
Keberadaan Benteng Kuto Besak sendiri begitu unik karena berdiri di atas sebuah tanah yang dikelilingi oleh sungai dimana seolah-olah benteng ini berdiri atas sebuah pulau kecil. Wilayah Benteng Kuto Besak diapit oleh sungai yang diantaranya Sungai Musi (dibagian muka atau selatan), Sungai Sekanak (dibagian barat), Sungai Tengkuruk (dibagian timur) dan Sungai Kapuran (dibagian belakang atau bagian utara) kawasan ini disebut dengan istilah “Tanah Keraton”. Konon katanya dahulu tempat penimbunan bahan kapur semen untuk perekat benteng diletakan dibagian belakang Keraton, itulah yang diperkirakan menjadi cikal bakal nama Kampung Kapuran selain dari adanya keberadaan anak Sungai Musi yang bernama Sungai Kapuran. Dahulu memang Palembang dikenal dengan julukan Het Indische Venetie (Venesia Dari Timur) karena keberadaan sungai yang banyak mengalir di wilayah Palembang membuat kota ini seolah-olah terapung bagaikan di Venesia, Italia. Akan tetapi keberadaan sungai yang dahulu begitu banyak di Palembang sekarang hanya tinggal kenangan karena banyak dari anak Sungai Musi yang mengering dan ditimbun, salah satu sungai legendaris yang sekarang tidak ada lagi atau hanya tinggal kenangan adalah Sungai Kapuran dan Sungai Tengkuruk, Sungai Tengkuruk sendiri ditimbun oleh Belanda pada tahun 1928 untuk keperluan pembuatan jalan yang sekarang lebih dikenal dengan nama Jalan Jendral Sudirman.
Sebenarnya pembangunan Benteng Kuto Besak di atas lahan yang dikelilingi oleh sungai ada maksud dan tujuan tersendiri, hal ini menunjukan bahwa saat itu Sultan Mahmud Badaruddin I telah memperhitungkan dengan cermat tentang bagaimana cara melindungi pusat pemerintahannya. Pendirian benteng yang berada di lahan yang dikelilingi oleh sungai-sungai jelas menunjukkan bahwa siapapun yang ini masuk ke Keraton Sultan tidak dapat secara langsung mendekati bangunan tersebut tetapi harus melalui titik-titik tertentu sehingga mudah dipantau dan cepat diantisipasi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan antara lain seperti penyerangan mendadak.
Beberapa tahun berselang setelah peresmian pertama Benteng Kuto Besak, pada tahun 1819 Belanda kembali ingin mengusik ketentraman di Palembang, mereka berusaha menaklukan Kesultanan Palembang Darussalam yang saat itu sedang berada dimasa puncak, Belanda kembali berupayah untuk menundukan Palembang seperti saat mereka membumi hanguskan Keraton Kuto Gawang Pada 1651, akan tetapi kali ini Kesultanan Palembang Darussalam sudah jauh lebih siap dengan adanya benteng pertahanan yang kokoh siap untuk membendung serangan Kompeni Belanda. Belanda pun tidak mengira bahwa saat itu Kesultanan Palembang Darussalam sudah jauh lebih siap dengan adanya Benteng Kuto Besak, terbukti saat “Perang Palembang Pertama 1819” itu Belanda dibuat kewalahan, Benteng Kuto Besak dicoba oleh peluru-peluru korvet Belanda tetapi tidak ada satu pun peluru yang dapat menembus, baik dinding maupun pintunya. Akibatnya Belanda kehabisan peluru dan mesiu, armada Belanda pun dipukul mundur, mereka melarikan diri kembali ke Batavia yang saat itu memang sudah menjadi pangkalan utama Kompeni Belanda.
Namun, saat "Perang Palembang Ke dua 1821" Belanda datang dengan armada perang yang jauh lebih siap dan tangguh, mereka datang kali ini untuk membalaskan dendam atas kekalahan yang mereka alami saat perang pertama di tahun 1819, kekalahan pada perang pertama telah mencorengkan wajah Kompeni Belanda sehingga pada perang kedua ini mereka datang dengan persiapan yang jauh lebih tangguh dan datang kali ini dengan tujuan untuk menang dan menjatuhkan kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam dari Bumi Palembang. Terang saja dengan persiapan yang jauh lebih siap mereka membabi buta dan mengila, mereka serang habis-habisan Benteng Kuto Besak, benteng yang tangguh itupun akhirnya kewalahan, benteng yang telah dipertahankan mati-matian ini akhirnya jatuh ditangan Belanda dan Kesultanan Palembang Darussalam akhirnya ditaklukan Belanda pada tahun 1921 dengan ditandai ditangkapnya Sultan Mahmud Badaruddin II dan kemudian diasingkan di Ternate hingga akhir hayatnya Beliau dimakamkan di sana bukan di Palembang tempat kelahirannya.
Setelah kekalahan Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1821 itu Palembang akhirnya dikuasai penuh oleh Belanda, Keraton Kuto Lamo yang berada di sisi Timur Benteng Kuto Besak (Keraton Kuto Baru) dibumi hanguskan dibuat rata dengan tanah, tetapi tidak untuk Benteng Kuto Besak, Belanda menganggap Benteng Kuto Besak merupakan bangunan kokoh yang sangat hebat dan sayang untuk dihancurkan sehingga mereka dapat menggunakannnya sebagai basis kekuasaan mereka di Palembang.
Kemudian di atas reruntuhan puing Keraton Kuto Lamo dibangun rumah Komisaris Belanda (regeering commisaris). Bahan bangunan seperti lantainya diambil dari lantai bekas Keraton Kuto Lamo. Adapun Komisaris Belanda yang pertama kali menempati bangunan ini pada tahun 1825 adalah J.L. van Sevenhoven. Pada saat ini bangunan ini telah berubah fungsi menjadi bangunan Mesum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Keadaan Benteng Kuto Besak saat ini telah mengalami banyak perubahan. Secara kronologi tinggalan-tinggalan arkeologi yang berada di Benteng Kuto Besak berasal dari masa Kesultanan Palembang Darussalam dan Kolonial Belanda. Secara khusus tinggalan arkeologi yang berasal dari masa Kesultanan Palembang Darussalam adalah tembok sekeliling benteng dan pintu gerbang bagian barat daya. Dahulu di sisi timur, selatan dan barat Benteng Kuto Besak terdapat pintu masuk benteng. Pintu gerbang utama yang disebut “Lawang Kuto” terletak si sisi selatan menghadap ke Sungai Musi. Pintu masuk lainnya yang disebut lawang buratan jumlahnya ada dua, tetapi yang masih tersisa hanya tinggal satu buah yang di sisi sebelah barat daya. Sedangkan untuk tinggalan yang berasal dari masa Kolonial Belanda adalah gerbang masuk utama Benteng Kuto Besak yang menghadap ke arah Sungai Musi dan beberapa bangunan yang terdapat di dalam benteng. Berdasarkan gaya arsitekturnya, bangunan-bangunan di dalam Benteng Kuto Besak diidentifikasikan bergaya Indis yang berkembang di Indonesia pada awal abad ke-20.
Orang Palembang patut berbangga walaupun tidak banyak yang dapat kita temui dari sisa peninggalan kejayaan Kesultanan Palembang Darussalam namun kisah dan bangunan kokoh Benteng Kuto Besak cukup mewakili bagaimana dahulu di Palembang pernah berdiri kerajaan Islam besar yang disegani oleh lawan maupun kawan. Belanda pun mengakuinya betapa hebatnya Kesultanan Palembang Darussalam saat itu, betapa tangguhnya Benteng Kuto Besak saat mereka melawannya.
Dan, tahukah Anda?? Bila Benteng Belgica (Pentagon Indonesia) di Banda Neira, Maluku, Benteng Fort Rotterdam di Makasar, Sulawesi Selatan, Benteng Vederbugh di Yogyakarta, Benteng Fort Malborough di Bengkulu, dll. semuanya adalah benteng tangguh peninggalan penjajah dan diberikan nama keeropa-eropaan, tetapi tidak untuk Benteng Kuto Besak di Palembang, Sumatera Selatan. Benteng Kuto Besak adalah satu-satunya benteng di Indonesia yang berdinding batu dan memenuhi syarat perbentengan pertahanan yang dibangun atas biaya sendiri untuk keperluan pertahanan dari serangan musuh bangsa Eropa dan tidak diberi nama pahlawan Eropa, suatu kebanggaan untuk masyarakat Palembang pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Benteng Kuto Besak Saat Ini
Setelah melewati masa pejajahan daerah kawasan Benteng Kuto Besak pernah terbengkalai dan sangat kumuh dimana di sana banyak terdapat pedagang kaki lima yang menjual dagangannya dengan semerawut. Keadaan saat itu sangat menyedihkan dan memprihatinkan para pedagang terutama pedagang buah pisang yang banyak terdapat disekitar kawasan Benteng Kuto Besak saat itu seolah tidak peduli dengan keberadaan cagar budaya yang sangat berharga itu. Namun para pedagang juga tidak bisa 100 persen disalahkan karena mereka hidup hanya untuk mempertahankan diri, apa yang mereka lakukan tidak lain dan bukan hanya untuk mencari sesuap nasi, sebenarnya yang patut disalahkan saat itu adalah pemerintah yang tidak bisa menata kotanya menjadi lebih rapih. Untung saja memasuki masa melenium abad baru sekitar tahun 2000-an pemerintah Kota Palembang mulai sadar untuk menata kota menjadi lebih indah.
Akhirnya kawasan yang tadinya kumuh itu sekarang sangat bersih dan terawat. Kawasan tersebut sekarang lebih dikenal dengan nama Plaza Benteng Kuto Besak. Kawasan disekitaran Benteng Kuto Besak yang tadi kumuh dibersihkan dan dibuat blok-blok batu yang tertata rapi, terciptalah kemudian sebuah lapangan luas yang bersih menghadap Sungai Musi dan Jembatan Ampera. Tempat yang sekarang bernama Plaza Benteng Kuto besak itu kemudian menjadi tempat kumpul para muda-mudi dan keluarga-keluarga Palembang untuk sekedar melepas penat. Keindahan dan kesegaran angin yang berhembus dari Sungai Musi ini pula pasti yang telah lama dirindukan oleh Benteng Kuto Besak, kalau benteng itu bisa berbicara mungkin ia akan meluapkan perasaannya "Inilah keadaan yang sudah lama aku rindukan" karena memang dahulu saat masa Kesultanan Palembang Darussalam benteng tersebut langsung menghadap Sungai Musi tanpa penghalang sehingga dari dalam benteng para keluarga dan orang-orang yang berada di dalam benteng bisa langsung melihat keindahan dan menghirup udara segar langsung dari Sungai Musi.
Plaza Benteng Kuto Besak menjadi magnet baru dikalangan masyarakat Palembang baik lokal maupun pendatang karena tempat ini memang strategis berhadapan langsung dengan Sungai Musi dan Jembatan Ampera, dan terdapat bangunan bersejarah Benteng Kuto Besak juga Museum Sultan Mahmud Badaruddin II yang kokoh tegak berdiri di sekitarannya. Menyambut Sea Games XXVI di Palembang benteng ini juga kebagian tugas, baru-baru ini di kawasan Plaza Benteng Kuto Besak diadakan "Kejuaraan Olahraga Ekstrem se-Asia Tenggara 2011" yang baru pertama kali dilakukan di Indonesia. Para olahragawan ekstrem ini pun seolah merespon positif sambutan hangat para warga yang datang di Plaza bersejarah Beteng Kuto Besak, para olahragawan ekstrem menunjukan aksi-aksi terbaik mereka yang ekstrim itu, salah satu peserta lomba yang cukup saya segani adalah atlet sepatu roda ekstrim dari Cina si “Chang Chun” yang begitu menawan dan berani menujukkan aksi-aksi ekstremnya hingga pada suatu loncatan 360 derajat ia terjatuh kehilangan kendali namun karena tidak ingin melihat penonton kecewah walaupun dalam keadaan cedera ia tetap berkompetisi dengan menujukan aksi terbaiknya sehingga para penonton di Plaza Benteng Kuto Besak kagum dan memberikan big applause kepadanya. Semangat yang ditunjukan oleh “Chang Chun” si Cina itu membuat saya membayangkan bagaimana semangatnya orang-orang Cina dahulu yang mendapat tugas dari sultan untuk membangun Benteng Kuto Besak hingga menjadi sebuah bangunan yang kuat dan kokoh sehingga mampu tegak berdiri hingga sekarang walaupun dahulu sempat dihantam peluru dan meriam-meriam Belanda.
Ada satu impian yang saat ini belum kesampaian saya ingin sekali memasuki dan mengelilingi bagian dalam Benteng Kuto Besak namun semua itu belum kesampaian hingga sekarang ini semua karena bagian dalam benteng tersebut selepas masa penjajahan diambil ahli oleh Angkatan Bersenjatan Republik Indonesia sehingga kesan eksklusif begitu terasa di dalam dimana tidak sembarang orang yang bisa memasukinya, hanya orang yang dianggap memiliki kepentingan saja yang mampu masuk ke sana, padahal pada masa sultan dahulu bagian dalam benteng terbuka untuk semua kalangan tidak terkecuali rakyat biasa kecuali bagian dalam keraton.
Semoga suatu saat Benteng Kuto Besak bisa kembali ke tangan para keturunan Kesultanan Palembang Darussalam karena pada kenyataannya memang Benteng Kuto Besak adalah hak milik para keturunan Kesultanan Palembang Darussalam dimana dahulu yang membangunannya adalah para leluhur meraka Sultan Mahmud Badaruddin I dan II. Kelak impian saya semoga Benteng Kuto Besak bisa diahli fungsikan sebagaimana benteng-benteng lain di Indonesia menjadi tempat kawasan wisata terpadu yang mendidik dimana di dalamnya dibangun Museum Kesultanan Palembang Darussalam sehingga orang-orang bisa lebih mengenal bagaimana sejarah dan kejayaan Kesultanan Palembang Darussalam dahulu dan yang lebih penting lagi semoga semua peninggalan bersejarah langsung dari jaman Kesultanan Palembang Darussalam yang berada di dalam benteng tersebut bisa lebih terawat dan terus terjaga karena ada di beberapa titik keadaan benteng ini sudah sangat memprihatinkan seolah kurang diperhatikan padahal ini merupakan salah modal utama Palembang didatangi oleh para turis yang ingin melihat sisa-sisa bangunan bersejarah yang hanya sedikit terdapat di kota tua Palembang.
Salah satu titik yang saat ini sangat mengenaskan adalah bangunan gerbang barat (yang merupakan gerbang asli dari pertama kali benteng ini berdiri) dan dinding bagian barat dari Benteng Kuto Besak ini sangat memprihatinkan dimana banyak lapisan dinding yang terkelupas dan ditumbuhi pepohonan, di sisi lain tempat itu berbau menyengat karena banyaknya orang yang tidak peduli dengan kecing sembarangan di sana, sangat memprihatinkan semoga pemerintah tidak menutup mata dan lebih memperhatikan peninggalan-peninggalan sejarah yang ada di Palembang karena semua itu kalau digarap dan dikelolah dengan baik bisa menjadi manget penarik para wisatawan baik lokal maupun asing yang ingin ke Palembang.