Sejarah Kota Palembang
Kondisi alam ini bagi nenek moyang orang-orang   Palembang menjadi modal mereka untuk memanfaatkannya. Air menjadi sarana   transportasi yang sangat vital, ekonomis, efisien dan punya daya   jangkau dan punya kecepatan yang tinggi. Selain kondisi alam, juga letak   strategis kota ini yang berada dalam satu jaringan yang mampu   mengendalikan lalu lintas antara tiga kesatuan wilayah:
- Tanah tinggi Sumatera bagian Barat, yaitu : Pegunungan Bukit Barisan.
- Daerah kaki bukit atau piedmont dan pertemuan anak-anak sungai sewaktu memasuki dataran rendah.
- Daerah pesisir timur laut.
Ketiga kesatuan wilayah ini merupakan  faktor setempat  yang sangat mementukan dalam pembentukan pola  kebudayaan yang bersifat  peradaban. Faktor setempat yang berupa  jaringan dan komoditi dengan  frekuensi tinggi sudah terbentuk lebih  dulu dan berhasil mendorong  manusia setempat menciptakan pertumbuhan  pola kebudayaan tinggi di  Sumatera Selatan. Faktor setempat inilah yang  membuat Palembang menjadi  ibukota Sriwijaya, yang merupakan kekuatan  politik dan ekonomi di zaman  klasik pada wilayah Asia Tenggara.  Kejayaan Sriwijaya diambil oleh  Kesultanan Palembang Darusallam pada  zaman madya sebagai kesultanan yang  disegani dikawasan Nusantara
Ada  tulisan menarik dari kronik Cina Chu-Fan-Chi yang  ditulis oleh Chau  Ju-Kua pada abad ke 14, menceritakan tentang  Sriwijaya sebagai berikut  :Negara ini terletak di Laut selatan,  menguasai lalu lintas perdagangan  asing di Selat. Pada zaman dahulu  pelabuhannya menggunakan rantai besi  untuk menahan bajak-bajak laut yang  bermaksud jahat. Jika ada  perahu-perahu asing datang, rantai itu  diturunkan. Setelah keadaan aman  kembali, rantai itu disingkirkan.  Perahu-perahu yang lewat tanpa  singgah dipelabuhan dikepung oleh  perahu-perahu milik kerajaan dan  diserang. Semua awak-awak perahu  tersebut berani mati. Itulah sebabnya  maka negara itu menjadi pusat  pelayaran.
Tentunya  banyak lagi cerita, legenda bahkan mitos  tentang Sriwijaya.  Pelaut-pelaut Cina asing seperti Cina, Arab dan  Parsi, mencatat seluruh  perisitiwa kapanpun kisah-kisah yang mereka  lihat dan dengan. Jika  pelaut-pelaut Arab dan Parsi, menggambarkan  keadaan sungai Musi, dimana  Palembang terletak, adalah bagaikan kota di  Tiggris. Kota Palembang  digambarkan mereka adalah kota yang sangat  besar, dimana jika dimasuki  kota tersebut, kokok ayam jantan tidak  berhenti bersahut-sahutan (dalam  arti kokok sang ayam mengikuti  terbitnya matahari). Kisah-kisah  perjalanan mereka penuh dengan  keajaiban 1001 malam. Pelaut-pelaut Cina  mencatat lebih realistis  tentang kota Palembang, dimana mereka melihat  bagaimana kehiduapan  penduduk kota yang hidup diatas rakit-rakit tanpa  dipungut pajak.  Sedangkan bagi pemimpin hidup berumah ditanah kering  diatas rumah yang  bertiang. Mereka mengeja nama Palembang sesuai dengan  lidah dan aksara  mereka. Palembang disebut atau diucapkan mereka  sebagai Po-lin-fong atau  Ku-kang (berarti pelabuhan lama).Setelah  mengalami kejayaan diabad-abad  ke-7 dan 9, maka dikurun abad ke-12  Sriwijaya mengalami keruntuhan  secara perlahan-lahan. Keruntuhan  Sriwijaya ini, baik karena persaingan  dengan kerajaan di Jawa,  pertempuran dengan kerajaan Cola dari India dan  terakhir kejatuhan ini  tak terelakkan setelah bangkitnya bangkitnya  kerajaan-kerajaan Islam di  Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam yang  tadinya merupakan  bagian-bagian kecil dari kerajaan Sriwijaya,  berkembang menjadi  kerajaan besar seperti yang ada di Aceh dan  Semenanjung Malaysia.
 
