Rabu, 04 Januari 2012

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, Sumatera Selatan

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II berlokasi tidak jauh dari Benteng Kuto Besak. Posisinya tepat di sebelah kiri benteng tersebut. Bangunan ini dibangun pada tahun 1823. Berbeda dengan bangunan yang didirikan pada masa Kesultanan Palembang Darussalam yang umumnya memakai bahan kayu, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II memakai bahan bata dan memiliki arsitektur Indis, yang asal katanya adalah Indische Woonhuizen, maksudnya arsitektur yang merupakan asimilasi dari bangunan dengan unsur budaya barat terutama Belanda dengan budaya lokal.


Sultan Mahmud Badaruddin II adalah pimpinan kesultanan Palembang Darussalam (1803), setelah pemerintahan ayahnya Sultan Badaruddin. Dia adalah seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang berasal dari Palembang, Sumatera Selatan yang lahir tahun 1768 dengan nama kecil Raden Hasan, putra Sultan Muhammad Nadauddin. Dalam masa pemerintahannya, iya beberapa kali memimpin pertempuran Britania dan Belanda, di antaranya yang disebut Perang Menteng tahun 1821, ketika Belanda secara resmi berkuasa di Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap dan dibawa ke Batavia kemudian di asingkan di Ternate.Pada tahun 1825, status Kesultanan Palembang dibubarkan dan dianggap sebagai daerah Keresidenan. Sultan Mahmud Badaruddin II berada di pengasingan selama 31 tahun. Beliau meninggal pada tahun 1852. Atas jasa-jasanya, pemerintah Indonesia menganugerahi beliau Pahlawan Kemerdekaan Nasional.


Museum Sultan Mahmud Badaruddin II menjadi UPTD sejak tahun 2004 dengan Surat Keputusan Walikota Palembang Nomor : 19 tahun 2004.Koleksi Museum Sultan Mahmud Dararuddin berupa : Koleksi Numismatika, Koleksi Etnografika, Koleksi Keramologika, Koleksi Seni Rupa, Koleksi erkeologika dan Koleksi Biologika.


Museum ini sebelumnya merupakan lokasi Benteng Kuto Lamo berdiri keraton Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo atau Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758). Tahun 1821 keraton ini mendapat serangan dari Pemerintah Belanda dan pada tanggal 7 Oktober 1823 oleh Reguting Commisaris Belanda J.L Van Seven House diperintahkan bongkar habis untuk menghilangkan monumental Kesultanan Palembang dan membalas dendam atas dibakarnya loji Sungai Aur oleh Sultan Mahmud Badaruddin I pada tahun 1811. Bangunan ini selesai tahun 1825 dan selanjutnya dijadikan komisariat Pemerintah Hindia Belanda untuk Sumatera Bagian Selatan sekaligus sebagai kantor Residen. Pada tahun 1942-1945 gedung ini dikuasai oleh Jepang dan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI kembali dikuasai pemerintah RI, pada tahun 1949 gedung tersebut dijadikan kantor Toritorium II Sriwijaya dan tahun 1960-1974 digunakan sebagai Resimen Induk IV Sriwijaya.Berdasarkan hasil penelitian dari Tim Arkeologi Nasional tahun 1988 ditemukan pondasi batubata dari Kuto Lamo di atas tumpukan balok-balok kayu yang terbakar di lokasi tersebut. Menurut perhitungan bangunan Benteng Kuto Lamo dimasa Sultan Mahmud Badaruddin I resmi ditempati pada hari Senin tanggal 29 September 1737 maka balok-balok itu umurnya lebih dari itu. Nama Museum Sultan Mahmud Badaruddin diabadikan untuk mengingat dan menghargai jasa-jasanya.



Museum ini dulunya rumah residen Hindia Belanda di Palembang yang bernama Yohan Isaac van Sevenhoven. Rumah ini dibangun di atas reruntuhan Keraton Kuto Tengkurukyang merupakan keraton ketiga dari Kesultanan Palembang Darussalam. Selain difungsikan sebagai museum, saat ini bangunan tersebut juga digunakan sebagai Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palembang. Meskipun telah mengalami renovasi, namun bentuk asli bangunan tersebut tidak berubah. Perubahan hanya dilakukan pada bagian dalam bangunan dengan menambah sekat-sekat dan penutupan pintu-pintu penghubung. Di depan bangunan ini pun kita bisa mengamati sungai Musi dengan restoran terapungnya yang menarik.