Minggu, 15 Desember 2013

RAJA ALI HAJI (RAH)


1. Data Diri
Nama Lengkap RAH adalah Raja Ali al-Hajj ibni Raja Ahmad al-Hajj ibni Raja Haji Fisabilillah bin Opu Daeng Celak alias Engku Haji Ali ibni Engku Haji Ahmad Riau. Ia dilahirkan pada tahun 1808 M di pusat Kesultanan Riau-Lingga di Pulau Penyengat (kini masuk dalam wilayah Kepulauan Riau, Indonesia).


Sekilas tentang Pulau Penyengat. 
Dalam buku-buku Belanda, pulau kecil ini disebut Mars. Menurut masyarakat setempat, nama pujian-pujian dari pulau ini adalah Indera Sakti. Di pulau ini banyak terlahir karya-karya sastra dan budaya Melayu yang ditulis oleh tokoh-tokoh Melayu sepanjang abad ke-19 dan dua dasawarsa abad ke-20, di mana RAH termasuk di dalamnya.


Catatan tentang hari dan bulan kelahiran RAH berbeda dengan ayahnya. Catatan mengenai kelahiran ayahnya begitu rinci, yaitu pada hari Kamis waktu Asar bulan Rajab tahun 1193 H di Istana Yang Dipertuan Muda. Raja Haji Ibni Daeng Celak. Sedangkan catatan mengenai RAH justeru singkat sekali. Bahkan, catatan kelahiran RAH lebih banyak didasarkan pada perkiraan saja. Menurut Hasan Junus (2002: 62), masa yang berbeda, keadaan yang berbeda, mengantar pada semangat zaman yang berbeda. . Semangat zaman yang berkembang pada saat itu menyebabkan orang-orang memanggil nama RAH dengan sebutan 'Raja'.
Orang-orang Melayu pada masa itu sering mengingat waktu kelahiran si anak dengan mendasarinya pada peristiwa-peristiwa penting. RAH lahir lima tahun setelah Pulau Penyengat dibuka sebagai tempat kediaman Engku Puteri. Atau ia lahir dua tahun setelah benteng Portugis  'A-Famosa' di Melaka diruntuhkan atas perintah William Farquhar. Orang-orang Melayu  juga sering memberikan nama anaknya dengan mengambil nama datuk (kakek)  apabila datuknya itu sudah meninggal. Hal inilah yang menyebabkan banyak terjadi kemiripan nama dalam masyarakat Melayu.


Tahun berapakah  meninggalnya RAH sempat menjadi perdebatan. Banyak sumber  yang menyebutkan bahwa ia meninggal pada tahun 1872. Namun, ternyata ada akta lain yang membalikkan pandangan umum tersebut. Pada tanggal 31 Desember 1872, RAH pernah menulis surat kepada Hermann von de Wall,
sarjana kebudayaan Belanda yang kemudian menjadi sahabat terdekatnya, yang meninggal di Tanjung pinang pada tahun 1873. Dari fakta ini dapat  dikatakan bahwa RAH meninggal pada tahun yang sama (1873) di Pulau Penyengat. Makam RAH berada di komplek pemakaman Engku Putri Raja Hamidah. Persisnya, terletak di luar bangunan utama Makam Engku Putri. Karya RAH, 'Gurindam Dua Belas' diabadikan di sepanjang dinding bangunan makamnya. Sehingga, setiap pengunjung yang datang dapat membaca serta mencatat  karya maha agung tersebut.


2. Silsilah dan Latar Belakang Keluarga
RAH adalah putra Raja Ahmad, yang setelah berhaji ke Mekkah bergelar Engku Haji Tua, cucu Raja Haji Fisabilillah. Ibunya bernama Encik Hamidah binti Panglima Malik Selangor atau Putri Raja Selangor yang
meninggal pada tanggal 5 Agustus 1844. Kakek (datuk) RAH bernama Raja Haji Fisabilillah, merupakan Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau IV. Ia dikenal sebagai YDM yang berhasil menjadikan Kesultanan Riau-Lingga sebagai pusat perdagangan yang sangat penting di kawasan ini. Ia juga seorang pahlawan yang terkenal berani melawan penjajah Belanda, sehingga meninggal di medan perang di Teluk Ketapang (18 Jun 1784). Ia meninggalkan dua putra, yaitu Raja Ahmad (ayah RAH) dan Raja Ja'far.Raja Ahmad (ayah RAH) dikenal sebagai intelektual Muslim yang produktif  menulis karya-karya besar, seperti :
Syair Perjalanan Engku Putri ke Lingga (1835), 
Syair Raksi (1841), dan
Syair Perang Johor (1843).


Ia juga dikenal sebagai pemerhati sejarah, terutama sejarah masa lalu. Dalam karyanya, Syair Perang Johor, ia menguraikan fakta perang Kesultanan Johor dan Kesultanan Aceh pada abad XVII, yaitu pada masa
keemasan Johor. Ia dikenal sebagai penulis pertama yang melahirkan sebuah epik yang menghubungkan sejarah Bugis di wilayah Melayu dan hubungannya dengan sultan-sultan Melayu. Keluarga Raja Ahmad terdiri dari orang-orang terpelajar dan suka dengan dunia tulis-menulis. Anggota keluarganya yang pernah menghasilkan karya adalah Raja Ahmad Engku Haji Tua, RAH, Raja Haji Daud, Raja Salehah, Raja Abdul Mutallib, Raja Kalsum, Raja Safiah, Raja Sulaiman, Raja Hasan, Hitam Khalid, Aisyah Sulaiman, Raja Ahmad Tabib, Raja Haji Umar, Abu Muhammad Adnan, dan lain sebagainya. 

Jika ditelusuri hingga keturunan Raja Haji Fisabilillah (kakek RAH), maka anggota keluarga Raja
Ahmad yang giat berkarya akan bertambah lagi, yaitu Raja Ali, Raja Abdullah, Raja Ali Kelana, R. H. M. Said, dan lain sebagainya.
Dari ayah yang sama (Raja Ahmad), Raja Ali Haji mempunyai beberapa saudara laki-laki dan perempuan, yaitu Raja Haji Daud yang menjadi tabib, Raja Haji Umar (Raja Endut), Raja Salehah (Zaleha), Raja Cik,
Raja Aisyah, Raja Haji Abdullah, Raja Ishak, Raja Muhammad Said, Raja Abu Bakar, Raja Siti, Raja Abdul Hamid, dan Raja Usman.


RAH sebenarnya berasal dari keturunan Bugis. Garis keturunan ini berasal neneknya (Opu Daeng Cellak) yang berasal dari tanah Bugis, namun kemudian menetap di Riau dan memperoleh jabatan sebagai Yang Dipertuan Agung (pembantu sultan dalam urusan pemerintahan). Cerita ini bermula ketika La Madusilat, Raja Bugis yang pertama kali masuk Islam, ternyata memiliki keturunan yang salah satunya bernama Daeng Rilaka.


Daeng Rilaka mempunyai lima anak, yaitu Opu Daeng Parani, Opu Daeng Marewah, Opu Daeng Menambun, Opu Daeng Cellak, dan Opu Daeng Kemasi. Bersama kelima anaknya itu, Daeng Rilaka meninggalkan tanah Bugis dan mengembara ke wilayah Kesultanan Riau-Johor. Keturunan ini mendapat kedudukan di istana kesultanan. Anak keempat Daeng Rilaka, Opu Daeng Cellak yang merupakan nenek RAH menjadi Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau II (1728-1745), menggantikan saudaranya Opu Daeng Marewah, YDM Muda Riau I (1723-1728). 


Jabatan tersebut merupakan realisasi dari perjanjian Kesultanan Riau-Lingga dengan Raja Bugis yang telah berhasil menaklukkan Minangkabau. Ketika itu memang terjadi perang antara Kerajaan Minangkabau dan Kesultanan Melayu. Berdasarkan garis keturunan itu, maka RAH merupakan keturunan Kesultanan Riau-Lingga yang dikenal memiliki tradisi keagamaan dan keilmuan yang sangat kuat.


RAH memiliki 17 orang putra-putri, yaitu: 
1). Raja Haji Hasan, 
2). Raja Mala, 
3). Raja Abdur Rahman,
4). Raja Abdul Majid, 
5). Raja Salamah,
6). Raja Kaltsum,
7). Raja Ibrahim Kerumung, 
8). Raja Hamidah, 
9). Raja Engku Awan ibu Raja Kaluk, 
10). Raja Khadijah, 
11). Raja Mai, 
12). Raja Cik, 
13). Raja Muhammad Daeng Menambon, 
14). Raja Aminah, 
15). Raja Haji Salman Engku Bih, 
16). Raja Siah, dan 
17). Raja Engku Amdah


Anak RAH yang pertama (Raja Haji Hasan) mempunyai 12 orang putra-putri,
yaitu: 
1). Raja Haji Abdullah Hakim, 
2). Raja Khalid Hitam (meninggal dunia di Jepun),
3). Raja Haji Abdul Muthallib,
4). Raja Mariyah, 
5).Raja Manshur, 
6). Raja Qamariyah, 
7). Raja Haji Umar, 
8). Raja Haji Andi, 
9). Raja Abdur Rasyid, 
10). Raja Kaltsum, 
11). Raja Rahah, dan
12). Raja Amimah.


Cucu-cucu RAH ini kemudian menjadi ulama-ulama dan tokoh-tokoh masyarakat.


3. Pendidikan
RAH memperoleh pendidikan dasarnya dari ayahnya sendiri. Di samping itu, ia juga mendapatkan pendidikan dari lingkungan istana Kesultanan Riau-Lingga di Pulau Penyengat. Di lingkungan kesultanan ini, secara langsung ia mendapatkan pendidikan dari tokoh-tokoh terkemuka yang pernah datang. Ketika itu banyak tokoh ulama yang merantau ke Pulau Penyengat dengan tujuan mengajar dan sekaligus belajar. Di antara ulama-ulama yang dimaksud adalah Habib Syeikh as-Saqaf, Syeikh Ahmad Jabarti, Syeikh Ismail bin Abdullah al-Minkabawi, Syeikh Abdul Ghafur bin Abbas al-Manduri, dan masih banyak lagi.


Pada saat itu, Kesultanan Riau-Lingga dikenal sebagai pusat kebudayaan Melayu yang giat mengembangkan bidang agama, bahasa, dan sastra. Oleh karena RAH merupakan bagian dari keluarga besar kesultanan,  maka ia termasuk orang pertama yang dapat bersentuhan dengan pendidikan model ini, yaitu bertemu langsung dengan tokoh-tokoh ulama yang datang ke Pulau Penyengat. Ia belajar al-Qur'an, hadits, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Pendidikan dasar yang diperoleh RAH adalah sama dengan anak-anak seusianya. RAH juga mendapatkan pendidikan dari luar lingkungan kesultanan. Ketika ia beserta rombongan ayahnya pergi ke Betawi pada tahun 1822, RAH memanfaatkan momentum ini sebagai wahana untuk belajar. Ia juga pernah belajar bahasa Arab dan ilmu agama di Mekkah, yaitu ketika ia bersama ayahnya dan sebelas kerabat lainnya mengunjungi tanah suci Mekkah pada tahun 1828 (menunaikan haji). RAH beserta ayah dan rombongannya sempat ke Mesir,setelah berkelana di Mekkah beberapa bulan. Ketika itu, RAH masih muda.


Selama berkelana di Mekkah, RAH memanfaatkan banyak waktunya untuk menambah pengetahuan keagamaannya. Di tanah suci inilah, pendidikannya seakan-akan mengalami peningkatan yang sangat tajam. Di sana ia sempat berhubungan dengan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fatani. Ia belajar kepadanya seperti pengetahuan bahasa Arab dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Ulama ini merupakan sosok ulama terkenal di kalangan masyarakat Melayu yang ada di Mekkah. Selama di Mekkah, RAH juga bersahabat dengan salah seorang anak Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari, yaitu Syeikh Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari


4. Pengalaman Pemtadbiran 


Ketika masih dalam usia muda, RAH sudah diamanahi tugas-tugas kenegaraan yang penting. Dalam usia 30 tahun, RAH mengikuti saudara sepupunya, Raja Ali bin Jafar, pergi ke seluruh kawasan Kesultanan Riau-Lingga hingga ke pulau-pulau terpencil. Keperluan mereka adalah untuk memeriksa kawasan tersebut. Ketika Raja Ali bin Jafar dipercaya menjadi Wakil Yang Dipertuan Muda di Kesultanan Riau-Lingga, RAH juga ikut membantu pekerjaan saudara sepupunya itu.Ketika usia RAH telah mencapai 32 tahun, ia beserta saudara sepupunya itu dipercaya memerintah wilayah Lingga untuk mewakili Sultan Mahmud Muzaffar Syah, yang pada saat itu masih kecil. 


Pada tanggal 26 Juni 1844 atau Hari Rabu 9 Jumadil-akhir 1260 H, RAH membuat penistiharaan yang isinya mendukung Raja Ali menjadi Wakil Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-Lingga. Ketika Raja Ali bin Jaafar diangkat sebagai Yang Dipertuan Muda Riau VIII pada tahun 1845, RAH diangkat sebagai penasehat keagamaan kesultanan. Meski diserahi tanggung jawab kenegaraan yang begitu berat karena menguras tenaga dan pikirannya, namun RAH tetap menunjukkan profesionalitinya sebagai penulis yang sangat produktif.


Bersama dengan Raja Abdullah Mursyid dan Raja Ali bin Jafar, RAH berdagang di Pulau Karimun dan Kundur. Mereka juga mengelola penambangan timah. Ketika Yang Dipertuan Muda Riau Raja Ali bin Jaafar digantikan oleh adiknya Raja Haji Abdullah Mursyid, RAH dan Raja Ali bin Jaafar kemudian membangun lembaga Ahlul Halli wa Aqdi  untuk membantu jalannya roda pemerintahan kesultanan.


Menjelang wafatnya pada tahun 1858, Yang Dipertuan Muda Raja Haji Abdullah Munsyi menulis surat wasiat yang isinya mengangkat RAH sebagai pemegang segala pekerjaan hukum, yaitu semua urusan yang menyangkut jurisprudensi Islam. Di sela-sela tugasnya sebagai abdi negara, pada tanggal 7 Mei 1868, RAH mengetuai rombongan Kesultanan Riau-Lingga menuju Teluk Belanga untuk menghadiri penobatan  Tumenggung Johor Abu Bakar sebagai Maharaja Johor. Pekerjaan sebagai penanggung jawab bidang 
hukum Islam di Kerajaan Riau-Lingga hingga ia meninggal pada tahun 1873.


5. Aktivitas Nasional dan Internasional


*5. 1. Perjalanan ke Betawi/*
RAH dikenal sangat dekat dengan ayahnya. Pada tahun 1822, RAH ikut ayahnya ke Betawi selama tiga bulan. Ayahnya membawa rombongan Kesultanan Riau-Lingga, termasuk istri dan dua orang anaknya, yaitu RAH sendiri dan Raja Muhammad. Kepergian ayahnya beserta rombongan itu adalah dalam suatu urusan Kesultanan Riau-Lingga dengan pemerintah Hindia Belanda, tepatnya dalam urusan perdagangan dan  penelitian. Secara khusus, rombongan ini akan menemui Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Godart Alexander Gerad Philip Baron van der Capellen. Mereka bertolak dari Riau dengan menggunakan sebuah penjajab, sebuah penisi, sebuah "belah semangka", dan sebuah perahu biasa. Perjalanannya dimulai dengan
bersinggah sebentar di Lingga, dan kemudian meneruskan pelayaran melalui Selat Bangka. Sesampainya di Betawi, RAH memanfaatkan sebaik-baiknya apa yang bakal dilihat atau ditemuinya di sana. Ia sempat bertemu dengan Gubernur Jenderal Godart Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen yang menjamu rombongan Raja Ahmad di Istana Gubernur Jenderal Belanda. Ia juga dapat berkenalan dengan beberapa orang Belanda yang menguasai bahasa Melayu dengan baik. Ia juga dapat mengunjungi Bogor dan menonton 
berbagai pertunjukan kesenian di sana, seperti opera. Ia juga sempat mengunjungi ulama terkenal Betawi bernama Saiyid Abdur Rahman al-Mashri.


Rekaman peristiwa dan pengalaman RAH selama di Betawi dituangkan dalam karyanya berjudul Tuhfat al-Nafis. Ada dua peristiwa penting dari pengalamannya selama di Betawi yang kelak mempengaruhi pemikiran RAH.
Pertama, kesempatannya ketika menonton opera di Gedung Schouwburg (yang kini bernama Gedung Kesenian Pasar Baru Jakarta). Bangunan gedung ini bentuknya seperti rumah yang lekuk ke dalam tanah 


Kedua, pertemuannya dengan Christiaan van Angelbeek, penerjemah resmi Biro Urusan Pribumi pada Pemerintah Hindia Belanda.


Pada abad ke-19, sebenarnya ada tiga buah gedung yang sering digunakan sebagai tempat pertunjukan kesenian di Betawi, yaitu Gedung Schouwburg, Gedung Societet de Harmonie, dan Gedung Societet Concordia. Gedung terakhir tidak mungkin ditonton oleh RAH dan rombongan Kesultanan Riau-Lingga karena baru dibangun setelah kedatangan mereka, yaitu pada tahun 1833. Gedung Societet de Harmonie sendiri dibangun pada tahun 1815 dengan kapasitas tempat duduk 250 orang dan beratapkan rumbia. Oleh 
Daendels, gedung ini difungsikan sebagai gedung pameran. Pada tahun 1821, gedung ini diubahsuai  untuk dijadikan sebagai gedung teater dengan luas 1.476 meter persegi dan diberi nama Schouwburg.


Pernah ada perdebatan tentang manakah yang benar: di Gedung Societet deHarmonie atau di Gedung Schouwburg sebagai tempat RAH dan rombongan Kesultanan Riau-Lingga menonton berbagai pertunjukan kesenian? Petikan Teks dalam Tuhfat al-Nafis  disebutkan:
Syahdan pada satu malam datang panggil Gubernur Jenderal segala anak raja utusan itu; yang disuruhnya yaitu Sayid Hasan. Maka pergilah sekalian utusan itu. Maka lalulah dibawanya kepada satu rumah main wayang, Holanda, kata orang namanya wayang komedi, dan sifat rumahnya itu lekuk ke dalam tanah....


Berdasarkan teks ini, maka jelas bahwa gedung yang ditontoh RAH dan rombongan Kesultanan Riau-Liangga adalah Gedung Schouwburg .

Negeri-negeri Melayu di Tengah dan Selatan Sumatera

Sebelum ini, penulis telah dedahkan mengenai kehancuran Kesultanan-kesultanan Melayu di wilayah Sumatera Timur iaitu Langkat, Deli, Serdang Darul Arif dan Asahan. 




Wilayah Melayu di pulau Sumatera terbentang luas daripada Temiang di sebelah utara yang bersempadan dengan Acheh, hinggalah ke Palembang di sebelah selatan yang bersempadan dengan Lampung. Selain daripada negeri-negeri Melayu di Sumatera Timur, terdapat juga enam buah negeri Melayu di kawasan tengah dan selatan pulau Sumatera iaitu bermula dengan Kesultanan Lingga (termasuk kepulauan Riau), Kesultanan Siak Sri Indrapura, Kesultanan Pelalawan, Kesultanan Indragiri, Kesultanan Jambi dan Kesultanan Palembang. Daripada enam Kesultanan Melayu tersebut, sebanyak empat daripadanya mempunyai kaitan rapat dengan Kesultanan Melaka dan pewarisnya iaitu Kesultanan Johor yang berpusat di semenanjung Tanah Melayu.

Paling menarik adalah mengenai asal kewujudan Kesultanan Indragiri. Sejarah umum menyatakan bahawa Kerajaan ini berdiri pada tahun 1298 dan didirikan oleh Putera Mahkota Kerajaan Melaka yang bernama Raja Merlang I. Ketika tempoh awal penubuhannya, Raja-raja Indragiri dikatakan masih berkedudukan di Negeri Melaka. Perhatikan tarikh penubuhan Kerajaan ini yang dikatakan bermula pada tahun 1298, sedangkan persepsi umum menerima bahawa Kesultanan Melaka hanya mula didirikan sekitar tahun 1400-an Masihi.
‘Melaka’ yang dinyatakan disini sebenarnya merujuk kepada Kerajaan Singapura Tua. Isu ini sama seperti kisah Raja Brunei iaitu Awang Alak Betatar @ Sultan Muhammad Syah yang telah memeluk Islam pada tahun 1363 hasil perkahwinannya dengan Puteri Pingai, puteri Sultan Iskandar Syah dari Negeri Johor, sedangkan Kesultanan Johor hanya bermula selepas kejatuhan Kesultanan Melaka pada tahun 1511 Masihi. Maklumat dari Pusat Sejarah Brunei bersepakat menyatakan bahawa Puteri ‘Johor’ yang dinyatakan disini adalah Kerajaan Singapura Tua iaitu waris daripada Sang Nila Utama. Waris Raja Indragiri itu tidak menolak kemungkinan tersebut. Walaubagaimanapun, beliau juga menegaskan tidak mustahil juga Raja Indragiri yang pertama ini merupakan zuriat langsung dari Maharaja Srivijaya yang berpusat di Palembang. 



Lambang Kesultanan Siak dan Kesultanan Pelalawan berbentuk naga beralih (dua naga saling mengadap). Dikatakan lambang Kesultanan Indragiri juga berbentuk begini sebagaimana yang terdapat di istana asal Indragiri yang telah runtuh ke dalam sungai pada tahun 1960-an.

Kesultanan Siak Sri Indrapura dan Kesultanan Pelalawan pula merupakan dua buah Kerajaan Melayu bersaudara. Kesultanan Siak diasaskan oleh Raja Kecil, yang dibesarkan di Pagaruyung (Minangkabau) dan mendakwa dirinya sebagai pewaris yang sah bagi Sultan Mahmud Syah II, Sultan Johor lama yang telah mangkat tanpa meninggalkan sebarang waris. Raja Kecil kemudiannya berjaya menduduki tahkta Johor lama dengan gelaran Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah I, tetapi tidak lama kemudian disingkirkan oleh bangsawan Bugis sebelum berundur ke Siak dan mendirikan Kerajaan baru. Kesultanan Pelalawan pula didirikan pada awal abad ke-19 oleh Syarif Abdul Rahman, saudara kepada Sultan Ali, Raja Siak. Baginda telah mengambil alih kedudukan Pelalawan dan menjadi penguasa di kawasan tersebut, dengan mendapat perkenan daripada Sultan Siak dan diakui oleh penjajah Belanda.


Tokoh korporat negara, Tan Sri Syed Yusuf bin Tun Syed Nasir, yang berketurunan Sultan Siak, menerima Anugerah Adat Kesultanan Siak.

Kesultanan Lingga pula wujud selepas perpecahan empayar Johor lama yang pada asalnya merangkumi Negeri Pahang moden, Johor moden, pulau Singapura, serta kepulauan Riau, tetapi telah berpecah kesan daripada perjanjian Anglo-Dutch Treaty 1824. Putera tertua kepada Sultan Mahmud Syah III dari empayar Johor lama, iaitu Tengku Hussein dilantik menjadi Raja Johor dengan berpusat di Singapura yang di bawah pengaruh Inggeris, sementara kekanda tirinya, Tengku Abdul Rahman pula yang sebelum itu mewarisi takhta Johor lama, menjadi Raja Lingga yang menguasai kepulauan Riau yang di bawah pengaruh Belanda. Perjanjian inilah yang telah memecahkan hubungan erat antara negeri-negeri Melayu di semenanjung Tanah Melayu dengan negeri-negeri Melayu di Sumatera dan membentuk sempadan politik Malaysia-Indonesia seperti yang wujud pada hari ini. Kesultanan Lingga telah dihapuskan oleh penjajah Belanda tanggal 3 Februari 1911, dan sebelum itu, penjajah Belanda juga telah menghapuskan Kesultanan Palembang pada tahun 1825 dan Kesultanan Jambi pada tahun 1906.

Menjelang fasa kemerdekaan Republik Indonesia, hanya tiga buah negeri sahaja yang masih diperintah oleh Raja-raja Melayu iaitu Siak, Pelalawan dan Indragiri. Walaubagaimanapun, berbeza dengan pendirian Raja-raja Melayu di Sumatera Timur yang masih berkeras mempertahankan kuasa dan negeri mereka, Raja-raja Siak, Pelalawan dan Indragiri pula bersedia untuk turun daripada takhta dan menyerahkan kekuasaan mereka kepada pihak Republik yang berpusat di Jakarta. Sejarah kemudian telah mencatatkan nasib dan tragedi yang menimpa Raja-raja Melayu serta kerabat mereka di Sumatera Timur.

Pada hari ini, para pewaris dan kerabat Kesultanan Melayu di wilayah tengah dan selatan Sumatera juga tidak ketinggalan untuk membangunkan kembali institusi Raja Melayu untuk melestarikan warisan dan kebudayaan negeri mereka. Terdapat sebilangan dari mereka yang sangat aktif dengan menyertai Festival-festival Keraton yang diadakan di Indonesia.


Tengku Abdul Rahman, waris Kesultanan Lingga


Tengku Mukhtar Anum, Raja Siak


Tengku Kamaruddin Haroen, Raja Pelalawan



Tengku Arief ibni Sultan Mahmud Syah, Raja Indragiri


Tengku Abdul Rahman Thaha Syaifuddin, waris Kesultanan Jambi



Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, Raja Palembang bersama isterinya

Champa : : Negara Melayu Yang Hilang Dari Peta Dunia




Ratusan tahun sebelum Bangsa Melayu menangisi kehilangan pulau Singapura, kita telah lama kehilangan satu wilayah yang cukup luas, iaitu hampir meliputi keseluruhan pantai timur Indochina. Lebih menyakitkan, wilayah tersebut menyimpan seribu satu rahsia dan bukti tamadun awal rumpun Melayu yang pernah menguasai hampir keseluruhan kawasan daratan dan perairan Asia Tenggara. Negara tersebut, tidak lain dan tidak bukan, adalah Champa, yang telah berhadapan dengan serangan dan migrasi besar-besaran secara berterusan selama ratusan tahun daripada satu kaum yang berasal dari selatan Negara China iaitu Dai-Viet. Kehilangan Champa sama seperti kehilangan Patani yang mewarisi keagungan Langkasuka juga akibat serangan dan migrasi berterusan daripada kaum Thai (Sukotai, Ayutthaya dan Chakri) yang juga berasal dari selatan China. Champa, atau apa jua panggilan kepadanya, seperti Lin Yi dan Houan-Wang (catatan China), Kembayat Negara (Syair Siti Zubaidah – Perang China), dan Tawalisi (catatan Ibnu Battutah) kini hanya tinggal sejarah dan penduduknya hidup bertaburan terutamanya di Vietnam serta Kemboja dan menjadi kaum minoriti di bumi sendiri.
Kali terakhir Champa berjaya bangkit membela nasib sendiri adalah semasa di bawah pemerintahan Raja teragung mereka iaitu Che Bo Nga, yang dinyatakan dalam lagenda Cham sebagai Binasuar, manakala Sejarah Dinasti Ming mencatatkan namanya sebagai Ngo-Ta-Ngo-Tcho, memerintah mulai sekitar tahun 1360 Masihi. Malangnya, kebangkitan Che Bo Nga ibarat seperti ‘sinar matahari yang penghabisan sebelum terbenam’. Di bawah pimpinan baginda, Champa kembali bangkit dari tahun 1361 hingga 1390 Masihi dengan melancarkan beberapa serangan balas kepada pihak Dai-Viet dan memenanginya. Malangnya, baginda akhirnya mangkat pada bulan Februari 1390 Masihi akibat pengkhianatan daripada salah seorang pengawalnya sendiri yang menyebabkan perahu baginda dikepung oleh tentera Vietnam. Apa yang menarik, kebanyakan pengkaji sejarah bersepakat bahawa Sultan Zainal Abidin, tokoh yang dinyatakan di dalam sebuah hikayat Melayu lama iaitu Syair Siti Zubaidah merujuk kepada Che Bo Nga itu sendiri.


 Mahkota Kebesaran Champa
 


Maklumat mengenai Raja-raja Champa khususnya daripada riwayat tradisi Kelantan pula menyatakan bahawa kebanyakan Raja-raja Champa semasa era Pandurangga (Phan Rang) sebagai ibukota telah beragama Islam dan mempunyai hubungan kekerabatan dan persaudaraan yang erat dengan Negeri-negeri Melayu di pantai timur semenanjung Tanah Melayu. Sebagai contoh, Raja Bo Tri Tri dikatakan adalah Wan Bo, anak kepada Ali Nurul Alam (Patih Majapahit Barat yang berpusat di Kelantan) serta cucu kepada Sayyid Hussein Jamadil Kubra, tokoh terulung penyebar syiar Islam di Nusantara. Wan Bo dikatakan telah meninggalkan Patani dan pergi ke Champa menjadi panglima perang untuk membantu bapa mertuanya iaitu Raja Chandranekalawa atau Ban-La-Tra-Toan menentang Dai-Viet. Selepas mengalami kekalahan dalam peperangan pada tahun 1471 Masihi, Wan Bo bersama-sama rakyat Champa yang lain telah berundur ke kawasan selatan yang berpusat di Pandurangga. Baginda kemudian diisytiharkan sebagai Raja Champa dengan gelaran Sultan Wan Abu Abdullah untuk menggantikan bapa mertuanya iaitu Ban-La-Tra-Toan yang telah ditawan dan mangkat dalam tahanan musuh. Pemerintahannya berakhir sehingga tahun 1478 Masihi dan digantikan oleh dua orang anak saudaranya iaitu Wan Abu Yusof dan kemudiannya Wan Abdul Kadir atau Kou Lai (1478-1515 Masihi). 

Riwayat Kelantan juga menyatakan bahawa Datu wilayah Jambu yang juga pemangku Sultan Patani iaitu Datu Nik Musthapa telah kembali ke Champa bagi membebaskan bumi Melayu-Islam tersebut daripada pencerobohan rejim Nguyen pada tahun 1570. Raja Champa, Sultan Yaakub Syahibuddin yang sudah sangat lanjut usianya telah ditawan dan mangkat dalam kurungan sangkar besi semasa diarak ke Kota Hue. Pada tahun 1577, Datu Nik Mustapha membawa 10,000 orang tentera Patani dan bersama anak saudaranya Sultan Adiluddin yang membawa 5,000 orang tentera Kelantan bertolak dari kota Pengkalan Datu, Kelantan dan menyerang Dai-Viet untuk merebut kembali Pandurangga. Sebahagian besar dari bumi Champa yang telah jatuh ke tangan Dai-Viet sejak tahun 1471 Masihi telah dapat dikuasai semula sehingga hampir ke Kota Hue. Setelah peperangan tamat dalam tahun 1580, Datu Nik Mustapha telah ditabal menjadi Raja Champa dengan gelaran Sultan Abdul Hamid Syah. Di kalangan orang-orang Cham dan Vietnam, baginda lebih dikenali degan pangilan Po Rome, manakala orang-orang Kemboja memanggil baginda Ong Tpouo.

Walaubagaimanapun, dalam tahun 1684 Masihi, Champa telah kalah dalam peperangan dengan Dai-Viet dan Negeri Kelantan telah dibanjiri oleh pelarian dari Champa termasuklah rajanya sendiri iaitu Po Ibrahim (Po Nrop). Po Ibrahim kemudian telah berangkat bersama pengikutnya meninggalkan Kelantan dan berpindah ke Kampong Brek Bak di dalam wilayah Cham di Kemboja untuk meneruskan penentangan terhadap Dai-Viet. Putera kepada Po Ibrahim iaitu Wan Muhammad telah diangkat oleh Dai-Viet menjadi Raja Champa bergelar Po Jatamuh setelah baginda bersedia mengakui untuk membayar ufti kepada Kerajaan Nguyen.

Setelah Po Jatamuh mangkat, kekandanya iaitu Wan Daim yang sebelum itu merupakan Datu Negeri Jambu telah diangkat menjadi Raja Champa bergelar Po Top. Dalam tahun 1692, baginda cuba memberontak terhadap regim Nguyen setelah membuat pakatan dengan ayahandanya Po Ibrahim yang sedang berada di Kemboja dan kemudian terjadilah serangan serentak di dalam negeri dan perbatasan Kemboja. Walaubagaimanapun, Wan Daim tewas dalam peperangan tersebut dan berundur kembali bersama keluarganya ke Patani, sementara ayahandanya Po Ibrahim yang telah tua mangkat di Kemboja dan dimakamkan di Kampong Brek Bak. Raja-raja Champa selepas itu tidak lagi memiliki kedaulatan sehinggalah Kerajaan Champa dihapuskan sepenuhnya di bawah pemerintahan rajanya yang terakhir iaitu Po Chong Chan.


Wilayah kekuasaannya telah menyusut sedikit demi sedikit sebelum hilang sepenuhnya dan kini seolah-olah menjadi tanahair asal untuk kaum Dai-Viet. Negara Champa telah merakamkan sisi gelap yang sering menyebabkan kejatuhan sesebuah Kerajaan di Nusantara, terutamanya disebabkan perpecahan di kalangan pembesar negara dan rakyatnya serta pengkhianatan yang dibuat oleh orang kepercayaan sendiri disebabkan sifat tamakkan ganjaran dunia.

Sempadan Sebenar Semenanjung Tanah Melayu

Jika pada hari ini ditanya kepada pelajar sekolah hinggalah kepada ahli politik, kawasan manakah yang dikatakan sebagai semenanjung Tanah Melayu? Pasti jawapannya adalah 11 buah negeri di semenanjung Malaysia kini. Tetapi sempadan semenanjung Tanah Melayu sebenarnya jauh lebih luas, iaitu meliputi daripada pulau Singapura di bahagian selatan hinggalah ke utara di segenting Kra yang di bawah wilayah Negara Thai dan Myanmar pada hari ini.

Pada masa dahulu, semenanjung Tanah Melayu turut meliputi wilayah Segenting Kra yang kini termasuk di dalam wilayah Negara Thai dan Myanmar. Penduduk di Negeri Patani bertutur dalam Bahasa Melayu dialek Kelantan (Yawi) sementara penduduk Melayu daripada wilayah Setul hinggalah ke Rundung dan Pulau Dua (Kawthoung) di dalam wilayah Myanmar pada hari ini bertutur dalam Bahasa Melayu dialek Kedah. Penduduk Melayu di kawasan ini bukanlah pendatang, sebaliknya merupakan kaum pribumi yang telah menduduki kawasan ini sejak zaman berzaman, iaitu warisan daripada Kerajaan Srivijaya dan Langkasuka. 

Binaan di Rundung (Ranong) yang menjelaskan sempadan sebenar bumi Melayu dan Siam

Selepas kejatuhan Kerajaan Siam yang berpusat di Ayuthia pada tahun 1767 akibat serangan Burma, telah bangkit satu kuasa Thai iaitu Kerajaan Thonburi di bawah pemerintahan Raja Taksin. Raja Taksin ini telah menyerang Kerajaan-kerajaan Melayu di Negeri Ligor, Cahaya, Rundung, Terang, Ghraibi, Bukit, Bedalung dan Singgora. Negeri Patani terselamat daripada serangan tersebut. Walaubagaimanapun, benteng terakhir negeri Melayu ini kemudiannya berhadapan dengan serangan demi serangan daripada pihak Thai.

Anglo-Siamese Treaty, 1909, yang dibuat antara British dengan pihak Thailand telah memisahkan sama sekali semenanjung Tanah Melayu kepada dua bahagian. Perjanjian ini dibuat tanpa melibatkan perbincangan dengan Raja-raja Melayu di negeri-negeri yang berkenaan. Wilayah-wilayah milik Melayu daripada Patani, Singgora, Setul hinggalah ke segenting Kra telah diakui British sebagai hak milik Thai.


Ketika era pemerintahan Phibun Songkram, Perdana Menteri Thai pada tahun 1938, dia telah menukar nama Negara Siam kepada Prathet Thai/Thailand. Secara umumnya, Thailand bermaksud “Negara Bagi Orang-orang Bebas”, tetapi secara metaforiknya, ia bermaksud “Tanah Orang-orang Thai”. Phibun Songkram memerintah secara kuku besi dan berhasrat menjadikan Thailand sebuah negara kesatuan berdasarkan kepada budaya Kaum T’ai dan agama Buddha Theravada. Kaum-kaum minoriti termasuklah Melayu telah dipaksa untuk “menjadi Thai” melalui pemaksaan dasar Thai Ratthaniyom.

Selain daripada itu, nama-nama tempat yang berbaur Melayu di kawasan segenting Kra juga telah diubah kepada sebutan dalam Bahasa Thai. Di bawah ini dinyatakan kembali nama sebenar antara sebahagian kawasan-kawasan di bahagian selatan Siam dalam Bahasa Melayu yang telah di’Thai’kan untuk peringatan dan rujukan kita semua serta generasi akan datang khasnya.

Phuket (Bukit). Nama lain ialah Tongkah.
Thalang (Tanjung Salang)
Yala (Jala)
Betong (Betung)
Bannang Sata (Benang Setar)
Raman (Reman)
Kabang (Kabae / Kabe)
Krong Pinang (Kampung Pinang)
Narathiwat (Menara)
Tak Bai (Tabal)
Rueso (Rusa)
Su-ngai Kolok (Sungai Golok)
Su-ngai Padi (Sungai Padi)
Tanyongmat (Tanjung Mas)
Buketa (Bukit Tar)
Pattani (Pantai Ini)
Sai Buri (Selindung Bayu @ Teluban)
Yaring (Jaring)
Krue Sae (Gersik)
Panare (Penarik)
Yarang (Jarang @ Binjai Lima)
Songkhla (Singgora) bermaksud ‘Bandar Singa’
Chana (Chenok)
Na Thawi (Nawi)
Thepha (Tiba)
Saba Yoi (Sebayu)
Ranot (Renut)
Sadao (Sendawa)
Samila Beach (Pantai Bismillah)
Satun (Setul)
Khuan Don (Dusun)
Phang Nga (Pungah). Ada sumber lain mengatakan daripada nama 'Kuala Bunga'.
Ko Similan (Pulau Sembilan)
Ko Panyee (Pulau Panji)
Ko Phi Phi (Pulau Pi Ah Pi)
Takua Pa (Kupa)
Phattalung (Bedalong / Merdelong)
Trang (Terang)
Ranong (Rundung)
Krabi (Ghraibi)
Chaiya (Cahaya)
Nakhon Si Thammarat (Nagara Sri Dharmaraja / Bandar Sri Raja Dharma). Nama lama bagi negeri ini ialah ‘Tambralingga / Ligor’.
Tenasserim (Tanah Seri). Di dalam wilayah negara Myanmar (Burma) pada hari ini.

Pada hari ini, British-Malaya telah merdeka dan bergabung bersama Sabah dan Sarawak untuk membentuk Malaysia. Singapura yang didiami oleh majoriti kaum Cina kemudiannya telah disingkirkan dan membentuk pemerintahan republik sendiri. Daerah Pulau Pinang dan Daerah Seberang Perai, tidak seperti Daerah Dinding yang telah dipulangkan kembali kepada Negeri Perak, tidak dipulangkan semula kepada Negeri Kedah sebaliknya kekal menjadi sebuah negeri berasingan dengan majoriti penduduknya pada hari ini berketurunan Cina.

Sementara nasib kaum Melayu yang di bawah Negara Thai masih tidak jelas. Pada hari ini, Kaum Melayu hanya masih menjadi majoriti di Negeri Setul, empat daerah di Negeri Singgora iaitu Tiba, Chenak, Sebayu dan Nawi serta di Negeri Patani (Hari ini telah dipecahkan kepada Patani, Yala dan Narathiwat). Hanya masyarakat di wilayah-wilayah ini sahaja yang masih mampu bertutur dalam Bahasa Melayu mengikut dialek tempatan. Sementara masyarakat Melayu Islam di wilayah asal Melayu lainnya disebabkan menjadi kaum minoriti, kebanyakannya telah berintegrasi dengan kaum Thai dan tidak mampu lagi untuk bertutur dalam bahasa Melayu. Hanya agama Islam sahaja yang menjadi petunjuk mereka merupakan keturunan Melayu. Walau bagaimanapun, masyarakat Melayu di wilayah Pulau Dua (Kawthoung), Myanmar, masih lagi bertutur dalam Bahasa Melayu dialek Kedah pada hari ini.

Sempadan Bumi Melayu dan Siam

Tidak ramai yang tahu di dalam wilayah Ranong (Rundung), Thailand, terdapat sebuah Batu Tanda yang amat penting kerana menyimpan satu lipatan sejarah besar yang berkaitan dengan masyarakat Melayu dan Siam di zaman silam. Batu Tanda tersebut (sebagaimana gambar di atas) dinamakan sebagai Ban Malayu di Thailand yang bermaksud sempadan Melayu. Ia merupakan tempat yang paling sempit antara bahagian timur dengan bahagian barat Segenting Kera, iaitu kira-kira 45 kilometer sahaja. Soalannya, bagaimanakah tanda sempadan Melayu ini boleh didirikan ratusan kilometer daripada wilayah sempadan Malaysia-Thailand pada hari ini?
 Jawapannya boleh dirujuk kepada maklumat sejarah di zaman silam. Jika dirujuk kepada sejarah, wilayah Segenting Kera merupakan sebuah kawasan yang amat penting kerana menjadi saksi kepada kemunculan dan perkembangan awal tamadun Melayu menerusi beberapa buah Kerajaan utama seperti Langkasuka dan Sri Wijaya. Wilayah ini juga menjadi pertembungan beberapa siri peperangan dan perebutan wilayah antara orang-orang Melayu dengan pendatang Thai yang berhijrah dari Yunnan, China, secara berterusan iaitu sejak dari era Kerajaan Sukothai, Ayutthaya, hinggalah kepada Dinasti Chakri pada hari ini.

Pencerobohan pertama pendatang Thai terhadap Segenting Kera bermula pada kurun ke-13 dan 14 di mana gerakan ketenteraan suku Thai ini telah bertembung dengan tentangan daripada beberapa buah negeri Melayu pasca-Sri Wijaya, termasuklah Grahi (Kra), Negara Sri Dharmaraja (Nakhon Si Tammarat), dan Cahaya (Ch’aiya). Pertempuran demi pertempuran telah dicatatkan dalam “Yuan-Shih”, sejarah rasmi bagi Dinasti Yuan di China. Yuan-Shih telah mencatatkan dalam Titah Diraja (Imperial Decree) pada tahun 1295 yang mengarahkan gencatan senjata antara Hsien (Siam) dengan Ma-li-yu-erh (Melayu). Bagi mengecam orang Thai, titah tersebut menyatakan “Memandangkan kamu Hsien telah menimbulkan peperangan dengan Ma-li-yu-erh selama ini, kini kamu mesti mematuhi titah ini dan berjanji tidak akan mengganggu Ma-li-yu-erh lagi”. Hsien (Siam) telah diharamkan daripada memasuki sempadan alam Melayu yang ditetapkan oleh Maharaja Dinasti Yuan pada garisan Petchburi-Ratchburi, berdekatan dengan kota Bangkok pada masa sekarang.


Kejatuhan Diansti Yuan terus membawa bencana apabila dasar perluasan kuasa terhadap Segenting Kra diteruskan oleh Raja-raja Ayutthaya. Antara Raja-raja Ayutthaya yang agresif membuat serangan terhadap negeri-negeri Melayu di Segenting Kra ialah Ramadhiraja, Naresuan, Maha Chakrapat, Prasat Thong, Narai dan Petra Raja. Peperangan yang paling terkenal antara Melayu dengan Siam semasa era Ayutthaya ini sudah tentu mengenai Sultan Muzaffar Syah (Raja Patani 1530-64) yang berjaya menewaskan tentera Siam di tempat sendiri dan menawan istana dan singgahsana Raja Maha Chakrapat (Raja Ayutthaya 1548-68). Dan diteruskan dengan peperangan antara Raja Ungu binti almarhum Sultan Mansur Syah (watak utama dalam filem Queen of Langkasuka) dengan Raja Prasat Thong. Ketika inilah meriam terbesar di Nusantara iaitu Sri Negara, Sri Patani dan Mahalela dibuat yang berakhir dengan kemenangan di pihak Melayu menewaskan armada Siam.


Akhirnya, kejatuhan Kerajaan Ayutthaya dan naiknya Raja Thaksin dan diikuti oleh Dinasti Chakri membawa petaka yang paling besar apabila satu demi satu negeri-negeri Melayu di Segenting Kera jatuh ke tangan Siam. Negeri terakhir yang jatuh ke tangan Siam adalah Patani yang dianggap sebagai kejayaan yang maha gemilang berdasarkan kepada tentangan hebat yang diterima oleh pihak Siam daripada negeri tersebut selama ini. Pertembungan antara Melayu dengan Siam berakhir pada tahun 1909 menerusi perjanjian berat sebelah yang hanya melibatkan pihak British dan Siam menerusi Anglo-Siamese Treaty yang membahagi-bahagikan semananjung Tanah Melayu sesuka hati mereka seumpama memotong-motong kek harijadi. Masyarakat Melayu-Patani di selatan daerah Legeh dan Reman bernasib baik apabila wilayah mereka dimasukkan sebagai sebahagian daripada Negeri Perak dan kini dikenali sebagai daerah Hulu Perak. Namun, malang bagi nasib masyarakat Melayu-Kelantan di daerah Tabal (Tak Bai) apabila mereka kini termasuk ke dalam wilayah Narathiwat, Thailand.

Semenanjung Tanah Melayu terus mengecut apabila pada tahun 1965, akibat daripada kesilapan sendiri, pulau Singapura diserahkan untuk diperintah oleh puak Ultra-Kiasu menerusi pemerintahan Republik yang bersifat autokratik sehingga ke hari ini. Justeru itu, jika para pembaca ada melalui sempadan Malaysia-Thailand pada hari ini menerusi Bukit Kayu Hitam ataupun Sungai Golok, ingatlah sesungguhnya sempadan wilayah milik kita sebenarnya menganjur jauh hingga ke utara Segenting Kra pada masa dahulu.