Minggu, 17 Juli 2011

Djogdja Tempo Doeloe - BABU DAN BALITA BULE

Hubungan kawula-bendara, majikan-babu, atasan-bawahan telah dan terus berlangsung selama manusia masih ada. Dalam tatanan sosial manapun selalu ada garis-garis tanggung jawab sesuai keletakan atau kedudukan mereka masing-masing. Dalam tatanan pemerintahan ada presiden ada mentri. Ada lurah ada RT, RW. Begitu seterusnya.

Tampaknya dalam rumah tangga-rumah tangga orang-orang mampu mereka selalu membutuhkan pembantu yang dalam istilah masa lampau sering dikatakan sebagai babu. Orang-orang kaya atau mampu ini merasa tidak mampu mengurusi dirinya sendiri. Begitu banyak kerepotan yang tidak bisa ditanganinya sendiri. Kecuali itu kelimpahan harta bendanya menyebabkannya mampu mempekerjakan orang untuk membantu kerepotannya sekaligus menikmatkan hidupnya.

Dalam keluarga-keluarga Belanda di Nusantara pada masa lalu juga hampir selalu didapatkan tenaga-tenaga pembantu yang disebut babu. Bahkan keluarga-keluarga Belanda yang notabene hampir selalu merupakan keluarga kaya (dibandingkan pribumi), sering memiliki pembantu (babu) lebih dari 1 orang. Tidak mengherankan jika ada pembantu yang memiliki tugas khusus mengurus kebun, perkarangan, dan taman. Ada pula pembantu yang hanya mengurus soal masak-memasak, mengurus bayi dan anak-anak majikannya, mengurus kendaraan majikannya, dan sebagainya.

Gambar di atas menunjukkan visualisasi babu dengan seorang balita bule (Belanda). Dalam konteks ini hubungan mereka jelas merupakan hubungan antara majikan-bawahan. Sekalipun demikian, hubungan tersebut sering tidak hanya sebatas hubungan hirarkis bawahan-atasan, namun lebih daripada itu. Hubungan-hubungan itu tanpa disadari sering melibatkan pertalian emosional mereka menjadi erat. Bahkan tidak jarang para babu kemudian dianggap seperti keluarga sendiri. Sekalipun tugasnya sebagai babu atau pembantu mereka juga mendapatkan penghargaan yang baik dari tuannya. Pembantu atau babu pun bersedia menjalankan tugas yang dibebankan majikannya dengan tulus hati.

Kasus-kasus perlakuan tidak manusiawi oleh majikan kepada pembantu mungkin kerapkali terjadi. Akan tetapi kasus-kasus pembantu yang kemudian mendapatkan kesuksesan hidup, diangkat sebagai istri, saudara, dan seterusnya juga kerapkali terjadi.

Gambar di atas menunjukkan bagaimana hubungan bule-inlander tersebut seperti tidak berjarak. Balita bule (londo) itu kelihatan begitu percaya dan menikmati gendongan babunya. Sang babu dalam menggendong si balita bule juga kelihatan enjoy-enjoy saja. Kelihatan tanpa beban. Semuanya menerima kedudukan masing-masing dengan kerelaan dan suka cita.

Inlander menjadi babu orang bule sudah biasa terjadi di Nusantara masa lalu. Demikian juga yang terjadi di Jawa, termasuk Yogyakarta kala itu. Gambar di atas hanya merupakan salah satu contoh tentang bagaimana hubungan inlander-hollander kala itu. Barangkali Anda mempunyai kenangan akan hubungan-hubungan yang demikian, semoga gambar tersebut makin mengerat kenangan dan hubungan Anda dengan sesama dalam keikhlasan.

a sartono
sumber: Europese Bibliotheek-Zaltbommel, 1970, Nederlandsch-Indie in Oude Ansichten, Nederland.