Minggu, 17 Juli 2011

Djogdja Tempo Doeloe - RAMPOGAN MACAN SUDAH TIDAK ADA LAGI

Tidak pernah diketahui dengan pasti kapan tradisi rampogan mulai tumbuh di Nusantara, khususnya di Jawa. Ada dugaan bahwa tradisi ini telah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan Hindu Buda. Namun ada juga duggan lain yang menyatakan bahwa tradisi mulai ada sejak kerajaan Demak hingga Mataram. Dari kedua dugaan itu, belum didapatkan pembuktian yang akurat.

Tradisi ini tentu bukan merupakan tradisi rakyat, melainkan tradisi para ningrat, khususnya lagi para raja. Sebab penyelenggaraan tradisi semacam ini memerlukan berbagai sarana yang tidak murah dan mudah. Kecuali itu tradisi ini memang menjadi semacam hak khusus raja. Tidak mengherankan juga jika penyelenggaraannya dilakukan secara besar-besaran dan mengambil tempat di alun-alun keraton.

Istilah rampogan sendiri sering diartikan sebagai rayahan ‘rebutan atau berebutan’. Akan tetapi dalam rampogan macan yang sering diselenggarakan raja untuk menyambut tamu agung bisa diartikan sebagai mengadu binatang buas (biasanya macan loreng, tutul, atau kumbang) dengan banteng dan sering dilanjutkan dengan pengeroyokan macan oleh para prajurit keraton.

Sudah menjadi kelaziman di zaman dulu bahwa di lingkungan keraton biasanya juga terdapat kandang-kandang binatang. Entah itu kandang kuda, kandang gajah, banteng, dan aneka satwa lain sebagi satwa-satwa kelangenan atau objek hiburan dan tunggangan raja. Macan merupakan salah satu satwa eksotis yang sering dipelihara oleh raja untuk kesenangan (hiburan) raja. Kandang macan ini biasanya ditempatkan di sisi tenggara dari alun-alun utama (alun-alun utara).

Rampogan macan umumnya akan dipadati oleh penonton dari berbagai lapisan masyarakat. Mula-mula kandang macan beserta isinya ditempatkan di tengah alun-alun. Kemudian di sisi lain ditempatkan kandang banteng berikut bantengnya tentu saja. Di sisi lain ditempatkan setumpuk jerami dan kayu untuk menyalakan api. Kemudian ada satu atau dua orang abdi keraton yang berjalan dengan berjoget (tayungan) menuju kandang macan dan meloncat ke atasnya. Dengan cekatan tali pintu kandang macan diputusnya. Sementara itu api juga telah dinyalakan diharapkan dengan nyala api di sisi kandang macan itu sang macan menjadi marah, takut atau gelisah sehingga macan pun keluar dari kandang.

Sementara itu di sisi lain sang banteng telah ditusuk dengan besi panas oleh abdi lain sehingga banteng pun marah. Kadang-kadang tubuh banteng disiram dengan air yang telah dibubuhi ulegan cabe rawit sekian kilo sehingga sehingga banteng pun merasakan panas luar biasa pada kulitnya. Sering pula kulitnya akan digepyoki ’dipukuli’ dengan daun tertentu yang menimbulkan rasa gatal luar biasa. Harapannya, dengan itu semua sang banteng marah besar.

Macan yang gelisah melihat api kadang-kadang tidak segera tertarik untuk menyerang banteng. Untuk itu besi panas pun siap disundutkan ke kulitnya sehingga macan marah dan segera menyerang banteng. Pertarungan banteng dan macan ini kadang bisa dimenangkan oleh banteng. Akan tetapi pada umumnya bantenglah yang kalah. Kadang macan menderita luka sekalipun bantengnya bisa dimatikannya. Namun nasib macan pun tidak akan baik juga sebab seusai macan membunuh banteng sang macan pun akan diranjab ’diserbu’ dengan sekian ratus atau ribu mata tombak yang dibawa oleh para prajurit yang mengepung alun-alun. Nah, terbantailah sang macan dengan sadisnya. Penonton pun senang (atau mungkin ngeri).

Menurut beberapa catatan rampogan macan ini masih dapat disaksikan di kerajaan-kerajaan Jawa hingga zaman Paku Buwana IX (1861-1893) bertahta di Surakarta. Untuk Yogyakarta sendiri pada masa-masa itu mungkin rampogan macan juga masih diselenggarakan atau mungkin juga justru sudah tidak ada lagi.

Hilangnya tradisi rampogan macan diduga oleh karena populasinya semakin tipis oleh perburuan. Ada juga yang menyatakan bahwa hilangnya tradisi ini oleh karena dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda.

Kini, tradisi rampogan ini tidak akan pernah dapat disaksikan lagi. Rampogan mungkin hanya bisa kita saksikan lagi di dunia pewayangan, khususnya wayang kulit.

a. sartono
Sumber: Europese Bibliotheek-Zaltbommel, 1970, De Javaansche Vorstenlanden in Oude Ansichten, Amsterdam: De Bussy Ellerman Harms, n.v.