Minggu, 17 Juli 2011

Djogdja Tempo Doeloe - RIBETNYA MENGENAKAN TUTUP KEPALA DI MASA LALU

Ikat kepala atau tutup kepala merupakan asesori atau kelengkapan manusia dalam berpakaian. Di samping itu, ikat atau tutup kepala juga berfungsi untuk melindungi kepala dari terpaan sinar matahari, hembusan angina, atau titik hujan.

Dalam masyarakat Jawa Ikat kepala atau tutup kepala juga menjadi bagian yang penting dalam berbusana. Boleh dikatakan di masa lalu ikat kepala atau tutup kepala ini menjadi bagian yang tidak bisa ditinggalkan dalam berbusana. Orang Jawa (baik Jogja-Solo-Jawa Tengah-Jawa Timur) di masa lalu hamper tidak bisa meninggalkan ikat kepala, destar, atau tutup kepala terutama jika mereka akan bepergian (bertamu, pisowanan, atau sekadar berpesiar).

Tidak ada catatan yang akurat, kapan ikat kepala atau destar ini mulai dikenal dan menjadi bagian yang penting dalam berbusana, terutama dalam masyarakat Jawa. Kemungkinan besar ikat kepala atau destar merupakan perkembangan dari bentuk-bentuk asesori yang digunakan untuk menghias kepala, seperti mahkota atau jamang. Mungkin juga perkembangan itu sejalan pula dengan masuknya berbagai berbagai mode atau model tutup kepala yang berasal dari unsur asing (Cina, Arab, Eropa).

Dalam foto berikut ditampilkan bagaimana seorang Jawa yang sedang sibuk mempersiapkan destar atau ikat kepalanya. Dalam foto tersebut kita bisa melihat bagaimana sibuk atau ribetnya orang tersebut dalam mempersiapkan penutup kepalanya. Untuk menutup kepalanya sendiri ia harus mengerahkan keterampilan kedua tangannya berikut jemari kakinya. Bahkan tidak jarang juga mulutnya pun difungsikan untuk memegang atau menarik simpul ujung kain agar terbentuk penutup kepala yang rapi dan kencang atau kuat.

Ikat kepala atau destar yang cara mengenakannya seperti gambar tersebut untuk zaman sekarang sudah sangat sulit ditemukan. Sekarang sudah banyak dijual penutup kepala yang sudah jadi dan tinggal makai. Ambil contoh topi, peci, blangkon, helm, atau mondolan. Keterampilan untuk mengenakan destar yang berasal dari lembaran kain batik berbentuk segitiga nyaris tidak bisa kita lihat lagi, kecuali (mungkin) hanya pada tukang-tukang rias untuk artis atau actor kesenian tradisional seperti ketoprak atau wayang wong.

Anda bisa membayangkan sendiri jika Anda mesti melakukan hal yang sama seperti foto tersebut jika Anda akan pergi keluar rumah. Padahal di masa lalu hal seperti itu sangat umum terjadi atau dilakukan pria-pria Jawa, baik Jogja, Solo, Jateng, maupun Jatim.

sartono