Minggu, 17 Juli 2011

Djogdja Tempo Doeloe - PASAR KLITHIKAN BERINGHARJO TAHUN 1940-AN

Pasar loak bisa ditemukan di banyak daerah/negara. Pasar dengan objek dagangan berupa barang bekas ini entah sejak zaman kapan tetap memiliki konsumennya sendiri. Maklum di zaman apa pun selalu ada orang susah. Orang yang daya belinya terbatas. Selain itu banyak juga orang yang memiliki jiwa-jiwa eksentrik. Untuk yang disebut terakhir ada beberapa di antara mereka yang menyukai barang-barang kuno atau barang antik yang pada zaman baru tidak ada atau tidak dibuat lagi. Pasar loak sering dianggap bisa memenuhi kebutuhan para konsumen yang demikian itu.

Saat Indonesia dilanad krisi moneter tahun 2007, mengakibatkan pasar loak berkembang demikian pesat. Alun-alun Selatan Jogja menjadi salah satu ruang yang kemudian disasar oleh para pedagang barang loakan. Pasar loak seperti ini oleh orang Jogja dinamakan pasar klithikan.

Disebut sebagai pasar klithikan karena pada masa lalu barang yang dijualnya umumnya bernilai rendah secara ekonomi. Selain itu mayoritas barang yang dijual terbuat dari logam, kaca, atau keramik sehingga jika benda-benda atau barang-barang itu dibongkar-muat akan menimbulkan bunyi klithik-klithik akibat perbenturan dua barang atau lebih di dalamnya.

Lorong atau gang di sisi utara Pasar beringharjo merupakan ruang yang dijadikan sebagai pasar loak atau pasar klithikan sejak lama. Jauh sebelum pasar klithikan menyebar ke berbagai tempat seperti Alun-alun Selatan, Jejeran, Bantul, Jl. Mangkubumi, Wirobrajan, dan sebagainya, sisi utara Pasar Beringharjo telah menjadi lorong pasar barang bekas atau klithikan. Di masa lalu hampir semua barang bisa didapatkan di tempat ini. Mulai dari aneka macam suku cadang kendaraan, benda elektronik, sepatu, pakaian, pecah belah, uang kuno, senjata tajam, gambar/foto kuno, kaset, buku kuno, hingga alat-alat olah raga.

Berikut ini disajikan foto pasar loak/klithikan di Pasar Beringharjo. Foto ini dibuat sekitar tahun 45-50-an. Saat itu kondisi sosial-ekonomi-politik-keamanan Indonesia (termasuk Jogja) belum bisa dibilang stabil dan baik. Banyak orang miskin. Kehadiran pasar loak semacam itu dirasakan sangat membantu. Tersedianya barang dengan harga murah (sekalipun bekas) menjadikan pasar loak menjadi jujugan orang-orang berkantong cekak.

Di masa-masa awal tumbuhnya negara Indonesia, pasar semacam itu menjadi sangat berarti. Simak saja situasi dalam foto tersebut. Kerumunan dan semangat orang yang berkerumun tampak terpancar dari wajah-wajah mereka. Semangat untuk segera mendapatkan uang dari hasil berjualan di satu sisi dan semangat untuk mendapatkan barang dengan harga murah di satu sisi lainnya.

a.sartono
sumber: Suhartono, WP., dkk, 2002, Yogyakarta Ibukota Republik Indonesia 1946-1949, Yogyakarta: Yayasan Soedjatmoko.