Minggu, 17 Juli 2011

Djogdja Tempo Doeloe - PAK POS DI MASA KOLONIAL BELANDA

Surat yang mewakili hubungan antarmanusia baik selaku pribadi maupun mewakili lembaga telah dikenal manusia sejak zaman dulu. Bahkan bentuk-bentuk surat yang masih sangat sederhana telah ada pada zaman Kerajaan Kutai hingga Mataram. Kala itu surat dituliskan benda-benda seperti daun lontar, bilah-bilah bambu, kulit binatang, kulit kayu, dan sebagainya. Bahkan dalam tradisi masyarakat Jawa mala lalu dikenal pula pesan-pesan singkat yang dituliskan dalam kelopak bunga pandan (pudak) atau selembar daun sirih. Pesan-pesan singkat tersebut umumnya berkait erat dengan sesuatu yang rahasia atau yang menyangkut perasaan atau suara hati yang paling pribadi, misalnya urusan cinta-mencinta.

Selain benda yang berisi pesan yang kemudian dinamakan surat itu, peran pengantar surat yang kemudian disebut sebagai tukang pos merupakan unsur yang paling penting dalam pengiriman surat. Jika saja pengantar surat adalah orang yang tidak bertangung jawab maka isi surat dapat tersebar ke mana-mana. Dengan demikian, sifat kerahasiaan dan keamanan surat merupakan tugas utama pengantar surat atau tukang pos.

Sebagai gambaran dapat disebutkan bahwa ketika VOC berkuasa di Nusantara (1602-1799) pengiriman surat dari Batavia ke Negeri Belanda memakan waktu 9-12 bulan. Sedangkan dari Batavia ke Maluku memerlukan waktu sampai 4 bulan. Tentu itu merupakan waktu yang sangat lama. Lebih-lebih jika diukur dengan parameter sekarang yang tidak asing lagi dengan teknologi handphone atau internet.

Kantor pos pertama di Hindia Belanda didirikan pada tahun 1746. Kantor ini didirikan pada zaman pemerintahan Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff serta beralamat di depan Museum Bahari, Pasar Ikan, Jakarta Utara. Menyusul kemudian kantor pos kedua didirikan di Semarang pada tahun 1750.

Jarak hubungan antar pos atau surat semakin pendek setelah dibuatnya Jalan Raya Pos pada tahun 1809 atas perintah Gubernur Jenderal Herman William Daendels. Jalan pos ini memiliki panjang 1.000 kilometer dan menghubungkan kota Anyer dengan Panarukan. Hubungan pos antara Jawa Timur dengan Jawa Barat yang semula memakan waktu 40 hari kemudian dapat diperpendek menjadi 6 hari setelah adanya jalan pos ini.

Bagaimana kira-kira tampilan orang-orang yang bertugas di kantor pos pada zaman itu. Berikut ini ditampilkan foto mandor kepala dari sebuah kantor pos di Weltevreden (sekarang meliputi Kalurahan Gambir, Jakarta Pusat). Jika dilihat tampilannya kelihatan bahwa pakaiannya tampak mentereng (lebih-lebih untuk ukuran masa itu). Pin dan tanda kepangkatan di bagian dada sebelah kiri menambah kesan kementerengannya.

Gambar tersebut juga menampilkan sekarung benda pos yang siap dikirimkan. Ikat kepala serta warna kulit dari mandor kepala ini juga menegaskan akan kelokalannya atau ke-inlanderan-nya. Dalam sumber ini diketahui bahwa mandor kepala ini bernama Simin. Jika menilik namanya yang demikian barangkali ia adalah urban dari Jawa yang mengadu nasib di Batavia waktu itu.

Pada zamannya, orang seperti Simin jelas merupakan orang yang mempunyai peranan penting di lingkungan kantor pos. Di tangan orang-orang seperti Simin pulalah peredaran surat di zaman Hindia Belanda dapat berjalan dengan baik sekalipun ada keterbatasan di sana-sini. Profil seperti Simin si mandor kepala pos ini mungkin juga mewakili profil-profil mandor kepala pos di Hindia Belanda atau Jawa (termasuk Yogyakarta) nun di kala itu. Kring...kring pos....

Sartono
Sumber: Europese Bibliotheek-Zaltbommel/Nederland, 1970, Nederlandsch-Indie In Oude Ansichten, hlm. 60.