Minggu, 17 Juli 2011

Djogdja Tempo Doeloe - PEDAGANG MAKANAN KELILINGAN DI YOGYAKARTA MASA LALU

Pedagang keliling sudah dikenal di Yogyakarta entah sejak zaman kapan. Kemungkinan sudah sejak zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Budha berdiri. Berdagang dengan cara berkeliling ini mungkin kalau dalam konsep manajemen model sekarang diistilahkan sebagai menjemput bola. Konsep itu ternyata telah dilakukan sejak masa lalu, sungguhpun orang-orang tersebut tidak pernah dikenalkan pada teori ekonomi atau marketing modern.

Berikut ini disajikan gambar tentang profil pedagang makanan di Yogyakarta pada masa lalu yang menjajaknnya dengan cara berkeliling dari kampung ke kampung. Secara esensial mungkin tidak berbeda dengan pedagang kelilingan di Yogyakarta pada zaman sekarang. Akan tetapi jika kita cermati ternyata memang ada beberapa perbedaannya.

Setidaknya, pedagang kelilingan zaman sekarang tentu mengenakan baju atau kaus sebagai perlindungan terhadap anggota badan bagian atasnya. Lagi pula dalam pengertian sekarang, orang yang tidak berbaju atau berkaus kemudian berkeliling dan bertemu dengan orang lain dianggap tidak sopan. Sementara pedagang kelilingan yang ditampilkan dalam gambar ini tidak berbaju atau berkaus. Demikian juga dengan anak laki-laki remaja (yang kemungkinan anaknya) juga tidak berbaju atau berkaus.

Pada masa itu kemungkinan besar kebanyakan kaum laki-lakinya memang tidak berbaju atau berkaus jika sedang bekerja. Mereka baru mengenakan baju jika akan menghadap pembesar, menemui tamu, atau kondangan. Dalam keseharian mungkin mereka terbiasa untuk tidak berbaju. Maklum negara tropis hawanya cukup panas (sumuk). Demikian juga dengan kondisi di Yogyakarta.

Dalam konsepsi sekarang, orang yang berjualan makanan dengan tidak mengenakan baju atau kaus mungkin bisa dianggap tidak sopan sekaligus tidak sehat (higienis) dan juga, menjijikkan. Orang bisa membayangkan sendiri bagaimana jadinya ketika ia sedang meramu atau meracik makanan untuk konsumen tiba-tiba keringatnya menetes dan jatuh di atas makanan yang sedang diraciknya itu. Tentu jauh dari sedap bukan ? Bukan hanya itu. Keringat yang berleleran dari pedagang makanan yang tidak berbaju juga memberikan dampak buruk pada aroma dan tampilan makanan serta profil penjualnya secara keseluruhan. Hal ini jelas mengganggu imajinasi konsumen yang akan menyantap makanan yang dibelinya.

Pada masa lalu kemungkinan besar hal itu belum menjadikan masalah yang serius karena hampir semua laki-laki memang tidak berbaju ketika bekerja di luar ruangan. Pada masa lalu hal semacam itu dianggap sebagai sesuatu yang biasa saja atau umum-umum saja. Akan tetapi pada masa kini hal semacam itu dianggap luar biasa. Mungkin malah dianggap tidak beradab, tidak sopan, dan menjijikkan.

Jika pada masa kini orang masih menemukan penjual makanan yang berpenampilan seperti gambar tersebut mungkin itu sebuah kekecualian atau justru sebuah keistimewaan. Jika orang membeli makanan dari penjual yang demikian, hendaknya ia tidak berimajinasi atau membayangkan sesuatu yang buruk atau yang menjijikkan agar dalam mencicipi makanan yang dibelinya orang tersebut tidak merasa terganggu.

Sumber:
Europese Bibliotheek-Zaltbommel MCML XXI, 1970, De Javaansche Vorstenlanden in Oude Ansichten, Amsterdam: De Bussy Ellerman Harms n.v., halaman160.

Sartono