Minggu, 17 Juli 2011

jogdja Tempo Doeloe - PROFIL PENGEMIS DI MASA LALU

Kemiskinan, kekurangan adalah hal yang lumrah terjadi dan menghinggapi manusia sejak zaman dulu kala. Ada orang yang bisa lepas dari urusan kemiskinan sehingga orang yang bersangkutan bisa memenuhi kebutuhan hidup selama hidupnya. Ada pula yang justru berkelebihan sehingga ia justru bisa mewariskna kepemilikannya sampai anak cucunya. Akan tetapi tidak sedikit pula yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan pada kebutuhan primernnya sekalipun.

Mengemis atau meminta-minta sering menjadi usaha terakhir dari orang yang sudah merasa putus asa karena gagal mencari kerja, tidak punya modal dan sebagainya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Mengemis tentu bukanlah profesi yang diingankan oleh manusia di mana pun. Tidak ada modal apa pun untuk mengemis kecuali tebal muka. Untuk bertebal muka orang pun harus mau menjual harga dirinya.

Pada masa lalu banyak orang masih merasa sangat malu untuk mengemis sehingga jarang ditemukan pengemis. Pengemis banyak ditemukan ketika negara dalam keadaan kacau balau. Akan tetapi dalam negara yang aman tenteram, pengemis jarang sekali ditemukan. Kini, di tengah negara yang aman dan tenteram kita banyak menjumpai pengemis. Di zaman ini ketika negara kacau juga banyak ditemukan pengemis. Gejala sosial ini tampaknya tidak berkorelasi dengan aman tidaknya sebuah negara. Tampaknya mengemis justru dijadikan sebagai salah satu cara (katakanlah profesi) untuk mencari uang dengan mudah.

Gambar di atas menunjukkan bagaimana pengemis di masa lalu. Menitik pakaian dan gaya rumah dalam gambar itu kemungkinan tempat pengambilan gambar atau foto itu adalah Pulau Jawa (bisa di masyarakat Jabar, Jateng, DIY, maupun Jatim). Tampak dalam gambar bahwa orang yang mengemis bertindak demikian sopan (dengan berjongkok dan menadahkan tangan). Salah satu tangannya memegang tongkat yang dipegang oleh orang tua (mungkin ibunya). Mungkin tongkat tersebut merupakan alat penuntun bagi ibunya yang buta.

Sementara itu orang yang memberikan sedekah juga tampak demikian tersentuh oleh kondisi pengemis tersebut. Rumah orang yang memberi sedekah jika dilihat dari kacamata sekarang mungkin tampak sederhana. Akan tetapi di masa itu mungkin sekali rumah bergaya demikian itu merupakan rumah dari orang yang berpunya. Lantai plester, pot-pot bunga yang tampak di foto menunjukkan bahwa rumah seperti itu termasuk istimewa di zamannya. Lebih-lebih jika mengingat bahwa sampai tahun 1970-an pun masih banyak rumah berlantai tanah dan beratapkan rumbia, alang-alang, atau ijuk.

Hal-hal demikian barangkali memang bisa ditemukan di Yogyakarta di masa lalu. Artinya, di Yogyakarta masa lalu ada pengemis yang benar-benar pengemis karena kondisinya yang benar-benar kesrakat ’sangat minim’. Akan tetapi di Yogyakarta sekarang akan banyak kita temui pengemis yang bukan sungguh-sungguh pengemis.

Sartono
Sumber: Europese Bibliotheek-Zaltbommel/Nederland, 1970, Nederlandsch-Indie In Oude Ansichten, hlm. 101.