Minggu, 17 Juli 2011

Djogdja Tempo Doeloe - DOLANAN ANAK-ANAK MASA LALU YANG TELAH DILUPAKAN

Dolanan anak-anak tradisional pada saat sekarang ini sudah banyak ditinggalkan atau dilupakan orang. Kemajuan zaman yang setara juga dengan kemajuan teknologi, perubahan gaya hidup, dan lain-lain telah mengubah perilaku manusia hampir di segala bidang. Dalam hal bermain pun banyak yang telah berubah. Alat-alat permainan yang menggunakan mesin, komponen elektronik mampu menggantikan alat-alat permainan tradisional.

Dakon (congklak), gamparan, jethungan, macanan, ganjilan, cuthit, gendiran, gobak sodor, jamuran, ancak-ancak alis, dan sebagainya boleh dikatakan tidak lagi dikenali oleh anak-anak Jawa. Mereka lebih mengenal play station, ding dong, mobil-mobilan elektronik, dan sebagainya. Permainan versi modern ini bisa dimainkan seorangan di rumah tanpa perlu keluar rumah.

Permainan versi modern ini secara teknologi memangmemberi dampak pada kemampuan anak untuk mengenali dan mengakrabi teknologi modern. Akan tetapi ada dampak negatif yang mungkin tidak disadari dari permainan ini. Dampak negative itu misalnya anak menjadi terasing, sangat individual (egois), kepekaan sosialnya berkurang, tidak mudah bergaul, rasa gotong royongnya tidak tumbuh, tidak sportif, dan sebagainya.

Permainan atau dolanan anak-anak tradisional pada umumnya melibatkan lebih dari satu anak. Dengan demikian, anak-anak tersebut harus selalu bertenggang rasa, berbagi, jujur, sportif, adil, dan bisa menerima kekalahan atau hukuman. Selain itu permainan yang demikian juga mendekatkan rasa persahabatan antaranak sehingga anak memiliki kepedulian atau perhatian kepada sesamanya.

Pada permainan-permainan yang menggunakan hitungan seperti dakon (congklak) anak dididik untuk dapat berhitung dengan cermat. Membagi dan menambah dengan adil dan merata. Membuat sesuatu menjadi cukup untuk digunakan bersama. Selain itu dalam permainan semacam ini juga terkandung sportivitas untuk mengakui keunggulan lawan dan menyadari kelemahan atau kekalahannya.

Demikian pula dalam permainan semacam ancak-ancak alis yang mirip dengan ular tangga. Anak yang “diambil” karena habis syair lagu harus menerima hukuman dengan dikurung. Ia baru bisa bebas setelah kawan lain yang menjadi pelindungnya mengambilnya. Pelindung ini pun bisa tertangkap dan harus menjadi korban atau pesakitan yang dikurung jika ia tidak cekatan. Pada sisi ini dibutuhkan kebersamaan yang padu, kecermatan strategi dan kecepatan gerak. Pada sisi inilah unsure olahraga, kegotongroyongan terbangun. Unsur simpati atau bahkan empati juga terbina. Rasa belas kasih kepada orang lain yang sedang menderita menjadi terasah.

Berikut ini ditampilkan foto permainan atau dolanan anak-anak tradisional yang pernah populer di masa lalu. Permainan ini sekalipun melibatkan banyak anak-anak, permainannya sendiri tidak perlu menggunakan alat kecuali anggota tubuh anak-anak itu sendiri. Kecuali itu dengan bernyanyi, berbaris, dan menari mereka secara tidak langsung telah dididik untuk mencintai kesenian (seni suara dan tari) sekaligus kedisiplinan (berbaris-mengantre). Pendeknya permainan semacam itu menghaluskan dan mempertajam budi pekerti mereka sekaligus menyehatkan dan menyenangkan.

Foto tersebut merupakan foto yang diambil pada sebuah sekolah (sekolah dasar) yang diselenggarakan oleh organisasi Suster Fransiskan di Yogyakarta pada sekitar tahun 1914-1918-an. Perhatikan betapa polos. Lugu, dan sederhananya anak-anak yang bersekolah pada masa itu. Dengan pakaian tradisional dan nyaris tanpa dandan (make-up).

Teks: a sartono
Foto: Europese Bibliotheek, 1970, De Javansche Vorstenlanden in Oude de Ansichten, Amsterdam: De Bussy Ellerman Harms n.v., halaman. 157.