Minggu, 17 Juli 2011

Djogdja Tempo Doeloe - BRANDWEER: PEMADAM KEBAKARAN DI JOGJA MASA LALU

Kita telah mengenal dan akrab dengan apa yang dinamakan Dinas Pemadam Kebakaran. Dinas ini beperanan vital dalam pengendalian api dan penyelamatan. Generasi tua di Jogja (Jawa) sering menyebut dinas pemadam kebakaran atau mobil pemadam kebakaran dengan istilah Blangwir, Blamwir, Blambir. Begitulah lidah orang Jawa memang malas mengucapkan kata-kata atau kalimat yang dianggap sulit dilafalkan. Sesungguhnya istilah yang disebut di atas itu berasal dari bahasa Belanda, Brandweer yang artinya adalah Dinas Pemadam Kebakaran.

Berikut ini disajikan tipologi mobil pemadam kebakaran yang dioperasikan di Yogyakarta di masa lalu. Gambar atau foto dimuat dalam sebuah buku laporan pemerintah Hindia Belanda di Yogyakarta dengan judul ”Gegevens over Djokjakarta 1926 A”, halaman 109. Wujud dari mobil pemadam kebakaran tersebut sangat berbeda dengan mobil pemadam kebakaran yang kita kenal sekarang. Kelihatan bahwa mobil pemadam kebakaran masa lalu itu begitu sederhana bahkan terkesan lucu. Seperti sebuah mobil biasa yang mengangkut sebuah tangki air biasa juga.

Perhatikan juga pakaian petugas pemadam yang mengoperasikan mobil tersebut. Tampak bajunya model jas tutup warna putih. Pantalonnya berwarna hitam (gelap). Salah satu petugasnya bahkan memakai ikat kepala (destar). Saat itu Yogyakarta telah memiliki 550 titik keran untuk menyalurkan air demi kepentingan pemadam kebakaran. Saat ini kita tidak tahu, berapa titik keran (hydrant) yang ada di Yogyakarta untuk antisipasi kebakaran.

Pada masa lalu Brandweer ini sering juga ditugaskan untuk melakukan pekerjaan seperti menyirami jalan-jalan protokol, alun-alun, dan lain-lain. Maklum, jalan-jalan di masa lalu banyak yang belum dibangun dengan lapisan aspal. Apalagi aspal hotmix. Oleh karena kondisi yang demikian, maka jalanan atau alun-alun sering berdebu. Untuk menjinakkan debu maka diperlukan penyiraman air. Brandweer inilah yang ditugaskan untuk melakukannya. Tugas ini umumnya dilakukan jika akan ada kunjungan tamu yang melewati jalan-jalan protokol. Agar perjalanannya tidak diganggu oleh taburan dan kepulan debu, maka jalanan perlu disirami air terlebih dahulu. Tugas semacam ini tentu saja bukan merupakan tugas pokoknya selaku pemadam kebakaran. Hal ini hanya merupakan tugsa sampingan saja.

Lepas dari semuanya itu hal yang patut dicatat adalah bahwa ternyata pemerintah Hindia Belanda telah berpikir begitu jauh ke depan. Bahwa bahaya kebakaran sejak awal mula memang telah dan perlu dipikirkan dan diantisipasi sekalipun di masa itu listrik belum marak, gas belum untuk bahan bakar nyaris tidak ada, rumah masih jarang, pemikiran bangsa pribumi (inlander) masih sangat sederhana. Barangkali kita perlu belajar banyak dari bangsa yang pernah menjajah kita itu. Mempelajari segala kemajuan, etos kerja, kedisipilinan, ketekunan, dan kesungguhannya dalam berkarya dan bekerja. Tidak main-main, tidak celelekan.

a.sartono
Sumber: Gegevens over Djokjakarta 1926 A, 1926, Djogjakarta, Pengantar oleh L. F. Dingemans (Resident van Djokjakarta).